GALLERI ARTIKEL
Jumat, 15 Oktober 2010
Kamis, 27 Mei 2010
KUJANG_ANTARA FALSAFAH DAN MITOLOGI SUNDA
Kujang adalah salah satu senjata khas dari daerah Jawa Barat, tepatnya di Pasundan (tatar Sunda). bentuk senjata ini cukup unik, dari segi desainnya tak ada yang menyamai senjata ini di daerah manapun, senjata ini di Jawa Barat. Tidak adanya kata yang tepat untuk menyebutkan nama senjata ini ke dalam bahasa International, sehingga Kujang dianggap sama pengertiannya dengan “sickle” (= arit/sabit), tentu ini sangat menyimpang jauh karena dari segi wujudnyapun berbeda dengan arit/sabit. Tidak sama juga dengan “scimitar” yang bentuknya cembung. Dan di Indonesia sendiri arit/sabit sebetulnya disebut “chelurit” (celurit). Mungkin untuk merespon kendala bahasa tersebut, tugas dan kewajiban budayawan sunda, dan media cetak lokal di tatarsunda yang harus lebih intensif mempublikasikannya senjata Kujang ini ke dunia International.
Asal muasal istilah Kujang berasal dari kata "Kudihyang" dengan akar kata "Kudi" dan "Hyang". "Kudi" diambil dari bahasa Sunda Kuno yang memilii pengertian senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan benda pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406) Sedangkan "Hyang" dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”. Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.
BAGIAN BAGIAN KUJANG
1. Papatuk (Congo); bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.
2. Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.
3. Waruga; nama bilahan (badan) kujang.
4. Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya lubang- lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisasnya berupa lubang lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata, malah ada pula kujang tak bermata, disebut “Kujang Buta”.
5. Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk memperindah bilah kujangnya juga untukmematikan musuh secara cepat.
6. Tonggong; sisi yg tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat juga mengiris.
7. Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama dengan bagian punggungnya.
8. Tadah; lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
9. Paksi; bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang.
10. Combong; lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang).
11. Selut; ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).
12. Ganja (landéan); nama khas gagang (tangkai) kujang.
13. Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang.
Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Séba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika
hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka,yaitu Neraka.
SEJARAH PERKEMBANGAN KUJANG
Kujang sangat identik dengan Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala itu. Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang belum ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan rinci. Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara) yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal (pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan sekitarnya. Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan” atau melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana” dsb. Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga diberitakan bersulamkan gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawaréh bodas sawaréh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan
di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di museum-museum.
Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk kujang pada lambang-lambang daerah, pada badge badge organisasi kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan), sebagai benda aksesori atau cenderamata.
Selain keberadaan kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang dalam pranata hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” (tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak – Provinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi – Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat “Sunda Wiwitan Urang Kanékés” (Baduy) di Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Dalam lingkungan budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada upacara “Nyacar” (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun Kujang”, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh, pertanda musim “Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas) masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).
BENTUK DAN JENIS KUJANG SERTA FUNGSINYA
Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya:
1. Kujang Ciung; yaitu kujang yang bentuknya dianggap menyerupai burung Ciung.
2. Kujang Jago; kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago.
3. Kujang Kuntul; kujang yang menyerupai burung Kuntul.
4. Kujang Bangkong; kujang yang menyerupai bangkong (kodok).
5. Kujang Naga; kujang yang bentuknya menyerupai naga.
6. Kujang Badak; kujang berbadan lebar dianggap seperti badak.
7. Kudi; perkakas sejenis kujang.
Berdasarkan jenisnya, kujang memiliki fungsi sebagai:
1. Kujang Pusaka; yaitu kujang sebagai lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan lainnya dengan kadar kesakralannya sangat tingi seraya memiliki tuah dan daya gaib tinggi.
2. Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang dikala diserang musuh.
3. Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang seperti tombak sebagai alat upacara.
4. Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat pertanian (perladangan).
KELOMPOK PEMAKAI KUJANG
Meskipun perkakas kujang identik dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun berita Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa alat itu dipakai oleh seluruh warga masyarakat secara umum. Perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom (putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, para kokolot. Sedangkan rakyat biasa hanya menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sunduk, dsb. Kalaupun di antaranya ada yang menggunakan kujang, hanya sebatas kujang pamangkas dalam kaitan keperluan berladang.
Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai para kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing. Bentuk kujang untuk para raja tidak boleh sama dengan milik balapati. Demikian pula, kujang milik balapati mesti berbeda dengan kujang miliknya barisan pratulup, dan seterusnya.
1. Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
2. Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
3. Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan;
4. Kujang Jago: dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
5. Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan
Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar,
Mantri Karang, dan Mantri Jero);
6. Kujang Bangkong: dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
7. Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan;
8. Kujang Badak: dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.
Selain diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”. Kujang Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang bermata-9, sama dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita bermata-7, para Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang Ciung bermata-1.
Di samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama menyimpan pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang yang gunanya khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana, Upacara Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa saja dipakai untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi utama seluruh kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh isi negara.
Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para Sukla Mayang (Dayang Kaputrén). Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena bentuknya yang langsing, tidak terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria.
Untuk membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama dengan untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan yang dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan.
Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan kujang ada pula yang memakai perkakas “khas wanita” lainnya, yaitu yang disebut Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran “Kujang Bikang” (kujang pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang memamai mata.
PROSES PEMBUATAN KUJANG
Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata kujang, ada patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya:
1. Patokan Waktu
Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan “Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi”, artinya ‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda masanya kujang digunakan untuk “nyacar” (mulai berladang). Demikian pula jika Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda tajam dari logam (besi-baja)’. Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy).
2. Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang)
Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut “olah tapa” (berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang bertuah. Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna seraya mampu menentukan “Gaib Sakti” sebagai tuahnya.
3. Bahan Pembuatan Kujang
Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:
a. Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
b. Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
c. Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
d. Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah.
e. Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb. Gunanya
untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
f. “Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan
racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para “Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.
4. Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang
Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan.
Seperti dalam lakon Pantun Bogor kisah “Kalangsunda Makalangan” terdapat ungkapan yang menggamvarkan kemiripan rupa tokoh Kumbang Bagus Setra dan Rakean Kalang Sunda dengan kalimat berbunyi: “Yuni Kudi sa-Gosali, rua Kujang sa-Paneupaan”, ungkapan tersebut mengindi-kasikan bahwa istilah “Paneupaan” benar-benar berupa nama untuk tempat pembuatan perkakas kujang. Hal ini lebih diperjelas lagi dengan sebutan “Guru Teupa” bagi si pembuat kujang, yang mungkin sederajat dengan “Empu” pembuat keris di lingkungan masyarakat Jawa.
CARA MEMBAWA KUJANG
Membawa perkakas kujang tidak hanya satu cara, namun tergantung kepada bentuk dan ukuran besar kecilnya dan kadar kesakralannya.
a. Disoren;
yaitu digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang diikatkan ke pinggang. Yang dibawa dengan cara disoren ini, Kujang Galabag (berbadan lebar) seperti Kujang Naga dan Kujang Badak sebab kowaknya (sarungnya) cukup lebar.
b. Ditogel;
yaitu dengan cara diselipkan pada sabukdi depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang yang dibawa dengan cara ini yaitu Kujang Bangking (kujang berbadan kecil) seperti Kujang Ciung, Kujang Kuntul, Kujang Bangkong, Kujang Jago, Kudi yang ukuran kowaknya pun lebih kecil. Demikian pula kujang yang termasuk “Kujang Ageman” (bertuah) selalu dibawa dengan cara ditogel.
c. Dipundak;
yaitu dengan cara dipikul tangkainya yang panjang, seperti membawa tombak. Yang dibawa dengan cara demikian hanya khusus Kujang Pangarak, karena memiliki tangkai panjang.
d. Dijinjing;
yaitu dengan cara ditenteng, dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara ini hanya Kujang pamangkas, sebab kujang ini tidak memakai sarung (kowak) alias telanjang.
CARA MENGGUNAKAN KUJANG
Tersebar berita, bahwa cara menggunakan kujang konon dengan cara dijepit ekornya (paksi-nya) yang telanjang tanpa “ganja” (tangkai) menggunakan ibu jari kaki. Sedangkan cara lain, yaitu dengan dijepit menggunakan telunjuk dan ibu jari kemudian ditusuk-tusukan ke badan lawan. Alasan mengapa cara menggunakannya demikian, sebab katanya kujang memang berupa senjata “telanjang” tanpa tangkai dan tanpa sarung (kowak).
Jika para Guru Teupa penempa Kujang Pajajaran sengaja membuatnya demikian, hal itu merupakan pekerjaan tanpa perhitungan. Sebab dilihat dari bentuk ekor (paksi) kujang yang banyak ditemukan, bentuknya sama seperti ekor senjata tajam lainnya yang lazim memakai gagang (tangkai) seperti golok, arit, pisau, dsb. Dengan cara menggunakannya seperti diutarakan tadi, sedikitnya ia akan terluka jari jemari kakinya ataupun jari jemari tangannya. Lain halnya jika bentuk ekornya tadi dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk dijepit dengan jari jemarinya.
KESIMPULAN
1. Kujang adalah salah satu senjata khas dari daerah Jawa Barat, tepatnya di Pasundan (tatar Sunda) sangat identik dengan Sunda Pajajaran masa silam.
2. Dalam masa perkembangan awal kujang berfungsi sebagai alat pertanian, perkembangan
selanjutnya kujang cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral, yang hanya di gunakan pada golongan bangsawan kerajaan saja.
3. Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai para kokolot, dalam
pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing.
4. Dalam proses pembuatan Kujang ada etika etika di perhatikan menyangkut waktu, kesucian guru, dan bahan bahan khususyang di gunakan.
5. Terdapat tata cara dalam membawa dan menggunakan kujang.
6. Dewasa ini kujang di gunakan sebagai koleksi, hiasan, simbol simbol organisasi dan pemerintahan Jawa Barat, juga monumen seperti Tugu Kujang di Bogor sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.
LANGIT BIRU PAJAJARAN (NARATAS JALAN PAJAJARAN ANU SAESTU)
ku : Tabiin / Adik Nuryadin
KIDUNG PAJAJARAN
MUASAL PUNCAK JAYA PAJAJARAN
PRABU WASTU KANCANA ANU JADI RAJA PAJAJARAN
Dina mangsa Pajajaran diujung kaancuran, Prabu Wastu Kancana teu wasa ningali kaayaan Pajajaran awut-awutan, bade kasaha sareng rek dikamanakeun eta karajaan, saha jalmana anu tiasa mingpin eta karajaan, putrana, Raden Wastu Dana Citra alim narima tahta karajaan, sabab anjeuna leuwih milih pikeun nyucikeun diri diajar kanu arti hirup sabenerna, sabab tahta henteu bakal ngajamin bahwa dirina bakal meunang sawarga anu jadi tempat tujuan hirupna manusa, anjeuna leuwih milih cicing ditempat anu tenang, sareng gentos nami jadi Pandita Arya Darma Gandi.
Kusabab kaayaan karaton anu riweuh, putra Pandita Arya Darma Gandi nyaeta Raden Walangi, ngiring sareng rama na katempat anu teu batur apaleun, mung saukur uwana, rakana Pandita Arya Darma Gandi, nyaeta Raden Surya Kancana anu uninga dimana ayana, mingkin lila Pajajaran mingkin jauh tina kasajahtraan, mingkin loba serangan tiditu-tidieu, ampir tiap dinten kakacauan aya di Pajajaran.
SURYA KANCANA DIANGKAT JADI RAJA PAJAJARAN
Paciweuh mingkin riweuh, kabingung anu ngagunung, Prabu Wastu Kancana ngarasa teu sanggup mingpin karajaan, bade dikamanakeun ieu tahta, da putrana sorangan alim jadi raja, da padumukanana ge anjeuna teu uningaeun, lajeng weh Prabu Wastu Kancana gempungan sareng pinisepuh karajaan, anjeuna ngikrarkeun diri teu sanggup mingpin Pajajaran, sabab nu dilawan lain musuh nu kadeuleu, tapi musuh nu teu mangrupa nu aya di jero karajaan keneh, anu ngudag-ngudag tahta pajajaran. Nya akhirna diputuskeun ku Prabu Wastu Kancana masihkeun kujang Pajajaran ka putrana nu kahiji nyaeta Raden Surya Kancana, tapi Raden Surya Kancana oge nolak, sabab dina pamadegannana ti awal anjeuna alim pikeun jadi raja, anjeuna ngan saukur siap ngabantu kana pamarentahan, ngawangun pajajaran, teras Prabu Wastu Kancana nyarios ka Raden Surya Kancana :
“Naha hidep teu nyaah kanagara .. ?, naha hidep teu bakti kanagara….?, lamun hidep teu sanggup narima tahta karajaan, mana jangji hidep nu diucapkeun bakal ngawangun Pajajaran, dimana tanggung jawab hidep salaku kulawarga karaton ? .”
Dina pamikiran Raden Surya Kancana tiasa wae anjeuna nyaurkeun, ngabejakeun dimana ayana Raden Wastu Dana Citra rayina, tapi anjeuna tos jangji moal ngabejakeun kasasaha dimana ayana. Nya ahirna anjeuna narima pikeun jadi raja Pajajaran, narima tahta karajaan, anjeuna sanggup narima tahta karajaan pikeun nengtremkeun deui pajajaran, tapi janji kadirina, saparantos Pajajaran tengtrem, makmur sapertos biasana, teu aya pemberontakan, gangguan dimana-mana, anjeuna bade nyerahkeun tahta karajaan ka rayina Raden Wastu Dana Citra, sabab saenyana rayina anu hak narima tahta karajaan, dirina ngan saukur jadi pamuka jalan pikeun ngajugjug karaharjaan sabab dina pamikirna anging rayina anu mampu, bersih hate jeung pikirna teu ngudag tahta teu ngumbar hawa napsu ngarti kana tujuan hirup nu sabenerna.
OBROLAN PRABU SURYA KANCANA SARENG RADEN WASTU DANA CITRA
Saatos Raden Surya Kancana ngadeg janten raja Pajajaran, kaayaan Pajajaran jauh tina harepan ku hamba rahayat sakabeh, naon-naon nu dilakukeun ku Prabu Surya Kancana, teu katarima ku sakabeh nu aya di Pajajaran, kabingung kurasa hariwang kudu kumaha nyanghareupan anu model kitu, kudipikiran, ahirna anjeuna mutuskeun pikeun nepangan rayina, anjeuna miang nepangan rayina sareng Putra rayina nyaeta Raden walangi, Prabu Surya Kancana nyaritakeun kaayaan Pajajaran ayeuna ka rayina, maksad bade mundut rayina pikeun narima tahta karajaan Pajajaran.
“ Pun rayi, naha hidep teu kagugah, naha hate hidep teu boga kanyaah, naha hidep teu boga tanggung jawab kanagara ngadangu kaayaan Pajajaran anu riweuh ku bancang pakewuh, anu ngaharepkeun ayana jalma anu bersih hate jeung pikirna, anu lancip pikirna sareng anu gaduh wibawa”.
“ Pun raka, pamikiran model kitu dikarajaan teh lain hiji atawa dua jalma, tapi rebuan bahkan jutaan, naha sakabehna bakal turut kakaula, sabab kaula ge jalma biasa, naha pun raka ngajamin mun kaula ngadeg jadi raja, naon nu diharepkeun ku pun raka Pajajaran jauh tina bancang pakewuh, Pajajaran raharja bisa kalaksana, namung sing inget, lamun jalma nu ngartina ngan sorangan apa nu lain na bakal ngarti kanu sabenerna, moal ujug-ujug kaula jadi raja heug nagara jadi aman, lamun sadayana jalma teu ngarti kanu hak sareng kawajiban manusa nu saenyana, sabab ridona hyang widi anu bisa nyieun Pajajaran raharja, pinuh deui ku wibawa, sajahtra, aman santosa.”
Kaemut ku Prabu Surya Kancana geningan dirina ngarti, dirina tos kabawa ku hawa dunya, sabab ku ambisi hayang nyieun karaharjaan, tapi teu emut yen sadayana tos aya nu ngatur, mereun tos kahendakna hyang widi Pajajaran ngalaman bancang pakewuh, naha dirina bet kabawa ku nafsu, kuhayang salilana Pajajaran jaya, padahal mereun geus waktuna Pajajaran di uji ku nu jiga kieu, dirina ngarasa leutik dipayuneun rayina, geningan, sanajan pamaksudan dirina bener, gening aya nu leuwih bener, sanajan dirina ngarti, gening aya nu leuwih ngarti, aya nu leuwih jero jalan pipikiranana, henteu ngalakukeun tindakan dibawa ku nafsu dunya. Teras deui Raden Wastu Dana Citra nyarita : “ Pun raka.. lamun urang ngalakukeun tindakan tampa dipikir sabab jeung akibatna, naon nu bakal dilakukeun ku urang salah, sing inget Trisula, hate jeung pikir, pikir jeung ucap sadayana kedah sarua, tong nepi ka benten antara hate jeung pikir, pikir jeung ucap, ucap jeung lampah”.
Mingkin lami ngadangu ucap rayina, Prabu Surya Kancana mingkin ngarasa leutik dirina, dugi ka reumbay cisoca, dugi ka nangis batinna, geningan pangarti nu aya didirina jauh keneh dinu kecap sampurna, teras anjeuna naros, “ Pun rayi kedah kumaha jalana ngawangun nagara nu jiga kieu ?”.
“ Teu kumaha-kumaha, mun Hyang Widi ngaridoan nagara sejahtra pasti sejahtra, mun Hyang Widi ngaridoan Pajajaran jaya, pasti jaya, kumaha carana..?, mangga pun raka emut kanu harti lampah manusa didunya, nyaeta lampah ngumpulkeun kahadean, lampah ngumpulkeun amal, nyaeta ibadah, apal kasajatina Hyang Widi, tapi lain saukur ku salira, tapi kusadayana, ku rahayat, ku tokoh masarakat, ku pinisepuh karajaan, ku pajabat-pajabat karajaan, ku prajurit karajaan, ku raja anu ngarti kana wangi nu sajati, nyaeta raja nu nyeungitan ka rahayatna, rahayat nyeungitan ka rajana, jadi kudu silih emutan antara pamingpin sareng rahayatna, hampura kaula teu tiasa narima eta tahta, hiji mangsa pasti kapanggih, hiji mangsa pasti datang, datang ka Pajajaran budak nu ngarana Munding Wangi”.
“ Saha ari Munding Wangi teh” ? saur Prabu Surya Kancana .
“ Eta ngan saukur siloka, ari munding teh ingon ingon, ari wangi teh seungit, nyeta sanajan manehna ngarti, sanajan manehna apal, manehna teu ngarumasakeun bahwa dirina geus sampurna, sabab manehna ngarti saenyana dirina oge jalma biasa”. Ngadangu kitu, dirina Prabu Surya Kancana yakin jeung percaya, mudah-mudahan Hyang Widi nepangkeun dirina sareng jalma nu dimaksud ku rayina, mingkin kabuka hatena, anging pitulung sareng kersana Hyang Widi anu tos ngabuka Pajajaran jaya, ahirna anjeuna wangsul deui ka Pajajaran.
PRABU SURYA KANCANA MIANG KA TANAH ARAB
Saatos nepangan rayina, saparantos dugi deui ka Pajajaran, Prabu Surya Kancana emut deui kadirina, kagagahan, kakuatan, sareng pangarti anu aya dina diri anjeuna masih keneh jauh tinu kasampurnaan, mingkin ngarumasakeun yen dirina teu sanggup pikeun nyepeng tahta karajaan, sabab sanajan bener, manehna teu tiasa ngabebener, ahirna anjeuna mutuskeun pikeun nyerahkeun tahta karajaan kasaha bae anu hayang, anu ngarasa dirina mampu, bade dikumahakeun ge mangga teh teuing, ahirna anjeuna miang ngumbara ka tanah Arab, sabab diditu saurna aya hiji jalmi anu ngarti kanu arti tujuan hirup anu sabenerna, anu ngandung harti, anjeuna hayang diajar deui pikeun ngadeukeutan kasampurnaan hirup, rek di diajar jeung rek guguru ka eta jalmi, nyaeta sayidina Ali, ahirna anjeuna diajar di tanah arab, nyaeta diajar pamadegan nu disebut Islam nu ngandung harti salamet.
Kaayaan Pajajaran mingkin kacau, perang baraya parebut kakawasaan, parebut tahta karajaan, huru hara dimana-mana, lami-lami pihak luar oge ngadanggu yen Pajajaran kaayaan nuju perang baraya, ahirna pihak ti luar oge ngiring perang, pada-pada hayang nyepeng Pajajaran, sahengna jagat Pajajaran ngalunturkeun wibawa Pajajaran .
Di tanah Arab, Prabu Surya Kancana teras diajar ku bimbingan Sayidina Ali sareng ngikrarkeun yen Prabu Surya Kancana lebet Islam, ahirna kabuka jalan pikirannana, leuwih lancip hate jeung pikirna sabab Islam ngajarkeun salamet keur dirina, kitu deui jeung ka batur, mingkin kuat akidahna, nyaeta akidah anu anyar nu dianggem ku dirina. Saatos dirina ngartos, kanu saenyana, Prabu Surya Kancana mulang deui ka Pajajaran, ku kasaktian, ku kabersihan hate jeung pikiranana anjeuna mampu ngalawan pamberontakan ti jero sareng tiluar, saatos rengse sadayana, anu parebut kakawasaan saking ku sieun ningali pangarti sareng kasaktian Prabu Surya Kancana, maranehna teu wantun pikeun nandinganana, teu sanggup nandingan kagagahanana, maranehna caricing bari jeung saenyana dina hatena teu narima ku wangsulna Prabu Surya Kancana. Pajajaran teu aya nu nyepeng teu aya raja di Pajajaran sabab Prabu Surya Kancana sateuacana oge tos nyoplokeun tahta karajaan, tapi sanaos kitu, anjeuna ngajalankeun roda pamarentahan dirojong ku pini sepuh, sareng pajabat karajaan, sanaos teu aya rajana Pajajaran tetep aya, anjeuna nembongkeun Islam nu sajati, sabab anjeuna gaduh maksad pikeun nyebarkeun Islam di Pajajaran.
PRABU SURYA KANCANA NEPANGAN DEUI KA RADEN WASTU DANA CITRA SARENG RADEN WALANGI
Prabu Surya Kancana sanajan anjeuna tos nyoplokeun tahta karajaan tapi, ku para pini sepuh karajaan sareng ku para pajabat karajaan anjeuna masih keneh dianggap raja Pajajaran, sabab di Pajajaran teu aya nu mingpin, tapi di Pajajaran pamarentahan dicepeng ku senopati Buana Reksa, dina hiji mangsa anjeuna miang deui ka tempat Raden Wastu Dana Citra sareng Raden Walangi .
“ Assalamualaikum …. “ saur Prabu Surya Kancana ka rayina, rakana nyucapkeun kitu Raden Wastu Dana Citra ngahuleng naroskeun ka rakana kalimah naon eta, “ ucapan naon eta ? “, Prabu Surya Kancana ngawaler : “sanes nanaon etamah ucapan salam, mudah-mudahan pun rayi aya dina kasalametan sareng kasajahtraan kasadayana, hampura bilih paham nu ku kaula dianggem benten sareng paham nu ku pun rayi di cepeng,” anjeuna nyaritakeun pangalamanana ka rayina miang ka tanah Arab.
“mangga bae etamah pun raka, kaula moal ngulahkeun, sabab mun enya kirana eta anggeman pun raka teh sajalan, sajulur, sareng tiasa ngartikeun jati diri manusa nu sabenerna, mangga teh teuing, sabab tadi kaula ngdangu caritaan pun raka intinamah ngabebener laku lampah urang di dunya, mung cara ibadah wungkul anu benten, sabab, etamah balik deui kana kayakinan masing-masing jalmi”.
“ Pun rayi kaula hayang tepang sareng Raden Walangi” saur Prabu Surya Kancana, Raden Wastu Dana Citra nyauran Raden Walangi, teras Prabu Surya Kancana nyarios deui karayina, : “ pun rayi naha hidep ngaridoan lamun paham nu dicepeng ku kaula di ajarkeun ka Raden Walangi ? “
“ Mangga wae taros ka Raden Walangi, kaula moal bisa nangtukeun jalan kahirupanana, bade kamana-mana bae oge anu penting mah laku lampahna bener, jujur, tong leupas tina pamadegan, bade pamadegan salira atanapi pamadegan kaula, mangga wae Walangi bade nyepeng pamadegan anu mana terserah,” Raden Walangi ngawaler, “ kaula tetep bade ngiring sareng pun bapa, bade nyepeng pamadegan pun bapa, sabab dina hate kaula tos kuat kayakinanana kana kitab weda”, ngadangu kitu mah Prabu Surya Kancana teu tiasa maksa Raden Walangi pikeun nyepeng pamadegan dirina, sabab dina pamadeganana, teu aya paksaan pikeun maksa kamanusa nyepeng pamadegannana, sabab dina kitab Al Qur’an anu tos dipelajari kudirina, anging jalma anu kabuka panto hate jeung pikirna anu diridoan ku gusti Alloh, salamet hirupna di dunya sareng diaherat, lami-lami Prabu Surya Kancana nyaritakeun tujuan dirina dongkap kadinya pikeun nyuhunkeun ka Raden Walangi pikeun narima tahta karajaan Pajajaran, tapi Raden Walangi nolak, alim anjeuna jadi raja, sabab anjeuna ningali teu yakin kadirina sorangan, naha bakal sanggup nyepeng tahta karajaan, sareng tujuan hirupna teu ngagaduhan niat pikeun ngudag tahta, tapi hayang nulung kasasama, ngumpulkeun amal ibadah pikeun nyorang ka sawarga. Prabu Surya Kancana bingung ngadangu sasauran Raden Walangi sabab teu aya deui jalma anu hak narima tahta karajaan iwal ti dirina putrana putra mahkota Pajajaran.
Prabu Surya Kancana nyarios deui ka rayina : “ pun rayi, kedah kumaha, bade dikamanakeun ieu tahta, naha pun rayi rido lamun Pajajaran dipingpin ku jalma-jalma nu ngudag tahta, anu teu ngarti kanu sajatina pamingpin, anu teu ngarti kanu kujang raga kusumah atawa ku kaula bade di bebeskeun wae eta karajaan, mending leungit sakalian tibatan aya ninggalkeun tapak nu teu hade”.
Raden Wastu Dana Citra reuwas ngadangu sasauran rakana anu model bieu, ahirna anjeuna nyarios ka putrana, : “ Walangi, ngahaja kaula embung jadi raja, kaula embung jadi raja teh lain saukur embung, tapi kaula boga pamaksudan pikeun ngagemleng hidep jadi raja, anu ngarti kana artina raga kusumah, nyaeta pamingpin anu beresih hate jeung pikirna, anu teu dikendalikaeun ku hawa napsu dunya, mudah-mudahan ku kaula di doakeun hidep tiasa pikeun ngagaduhan gelar Sri Baduga Maha Raja, nyaeta raja nu ngarajaan raja, naha hidep ngarti kana pamaksadan kaula, hidep dibawa heula sangsara ku kaula ngarah hidep ngarti kumaha kaayaan nu di handap, kaayaan rahayat, ngarah hidep teu sawenang-wenang marentah.”
Raden Walangi ngahuleng ngaraga meneng, sareng ahirna anjeuna mutuskeun, anjeuna nyarita ka Prabu Surya Kancana : “ heug, kaula narima pikeun jadi raja tapi kaula menta sakabeh rahayat Pajajaran timimiti pajabat nepi ka rahayat, tong aya nu ngagung-ngagung kaula, sabab kaagungan ngan saukur milikna Hyang Widi, tapi ayeuna kaula moal waka narima, sabab kaula masih keneh deet ku pangarti, masih deet ku pangabisa, masih keneh aya hal anu kudu di apalkeun ku kaula, mangga wae ayeunamah pimpin heula karajaan sabab kaula keur diajar keneh,” ngadagu kitu Prabu Surya Kancana ngarasa bagja jeung sugema, ahirna Pajajaran bade dicepeng deui kunu hakna, nya ahirna, Prabu Surya Kancana mulang deui ka Pajajaran.
GEUNJLEUNG KARATON PAJAJARAN
Kusabab teu aya anu jadi raja di karaton Pajajaran, pihak-pihak anu hayang ngarebut tahta karajaan mingkin wani pikeun ngeundeuk-ngeundeuk karajaan bari jeung ayeunamah teu susulumputan, sanjata diangkat, nepi ka kajadian perang di alun-alun pasundan, loba rahayat nu sangsara, loba rahayat nu cilaka ku polahna jalma anu ngudag-ngudag tahta, rahayat mingkin sangsara, kedah kumaha, kamana sareng kasaha neang jalma anu bisa mawa Pajajaran raharja, iwal ti saha ?, nyaeta Raden Walangi, anu diharepkeun ku hamba rahayat sakabeh, tapi arinyana teu uninga dimana ayana Raden Walangi, tapi arinyana yakin jeung percaya bari ngadu’a jeung usaha pikeun neang Raden Walangi mulang ka karaton, sanajan keur eta masih keneh budak, arinyana uninga ayeunamah pasti geus dewasa, Prabu Surya Kancana kagugah hatena ku kahayang rahayat pikeun enggal-enggal nyandak Raden Walangi ka karaton.
TANYA JAWAB PRABU SURYA KANCANA SARENG RADEN WALANGI
Kusabab ningali kaayaan rahayat nu model kitu, Prabu Surya Kancana dongkap deui ka tempatna Raden Walangi sareng Raden Wastu Dana Citra, saparantos aya di tempatna Raden Walangi di barengan ku ramana, Raden Walangi sareng Prabu Surya Kancana silih tempas ngeunaan pamadegan Raden Walangi sareng Prabu Surya Kancana.
“ Uwa, kaula bade naros, naon kawajiban manusa di dunya ?”
“ Tugas utamana manusa di dunya ibadah, nyuhunkeun karidoan gusti Alloh pangeran kaula, naon laku lampah jelema sagalana diniatan ku lillahitaala, ku ihlas teu aya pamrih nanaon, sanajan jasa manehna gede ka nagara jeung bangsana, kawajiban manusa di dunya pikeun ngumpulkeun amal ibadah, pikeun engke jaga di yaumil ahir, “ kitu jawaban Prabu Surya Kancana.
“ Kumaha upami kaula jadi raja, nagara rek di bawa sarua jeung pamadegan kaula,”
“ Nagara mah rek dicandak ku pamadegan saha bae oge mangga teh teuing, tapi sing emut, perbedaan sanes jalan mumusuhan, sabab dina pamadegan kaula, teu aya pikeun jalma kudu nurut kakaula, sadayana kudu balik deui kadirina sewang-sewangan, ayeuna lamun pamadegan kaula beda sareng pamadegan salira, kaula teu menang aya di pajajaran kaula rek miang bilih kaula mumusuhan jeung salira kusabab beda pamadegan, sabab bisi mamawa kanagara nu nyieun nagara teu santosa, teu aman ku akibat beda paham, kaula leuwih milih mangkat leuwih milih ngelehan, sabab kaula ngajaga bisi aya hal-hal anu teu diharepkeun, da kawajiban kaula salaku warga nagara ngajaga nagarana.”
“ Kumaha carana pamadegan salira ka sasama, etika nu aya dina pamadegan salira kasasama “
“ Silih tulungan, silih asuh, silih asah, silih asih, nulungan kasasama anu ngabutuhkeun pitulung, nyaah ka sasama sanajan beda pamadegan, sabab anjeuna oge sami-sami jalmi ciptaan gusti Alloh, anu ngalaksanakeun hak jeung kawajibanana saperti pamadegannana, da etamah hubungan antara nu nyiptakeun sareng nu diciptakeun, mangga bae hidep nyepeng pamadegan hidep, kaula oge nyepeng pamadegan kaula, sabab intinamah sarua ngabimbing kanu lampah anu enya, sarua nitah bener da soal ibdahmah masing-masing balik deui ka jalmana.
Raden Walangi nangis ngadangu sasauran uwana, teras ngagabrug ka uwana, “ hampura uwa kalakuan kaula bieu, sanes rek ngajak mumusuhan ka uwa kusabab beda pamadegan, tapi kaula hayang uninga bilih dina mangsa kaula jadi raja, aya pihak-pihak anu dirugikeun ku kaula ku sabab beda pamadegan, kaula embung mimpin nagara sagalana kudu kumaha kaula, kaula oge kudu ngarti adat, etika kana pamadegan jalmi-jalmi nu benten sareng kaula sapertos uwa, ku kaula ditarik benang gedena intinamah teu aya perbedaaan, hayu uwa kaula siap pikeun narima tahta karajaan, mung sing emut kana ucapan kaula harita, sakumaha jayana Pajajaran entong ngagung-ngagung kaula, sabab sadayana tos kersaning Hyang Widi, “
“Iraha mangsana ?, naha ayeuna keneh hidep siap pikeun narima tahta karajaan Pajajaran ?”
“Sanes ayeuna mangsana, tapi kaula hayang dongkap deui ka karaton Pajajaran sanes di candak ku uwa, mangga weh terserah uwa bade kumaha carana pikeun kaula dongkap deui ka karaton Pajajaran, mangga weh gempungan sareng nu aya di karaton Pajajaran, “ ahirna Prabu Surya Kancana mulih deui ka karaton Pajajaran.
GEMPUNGAN PRABU SURYA KANCANA SARENG PINISEPUH PAJAJARAN
Dikaraton Pajajaran Prabu Surya Kancana wawartos ka pini sepuh, senopati, sareng pajabat karajaan yen geus aya jalma nu bakal mawa Pajajaran jaya deui, jauh tina bancang pakewuh, jauh tina pambarontakan, tapi dirina alim dongkap kakaraton di candak ku anjeuna, maksad anjeuna ngempelkeun sadayana ayeuna, bade nyawalakeun kumaha carana eta jalma dongkap ka Pajajaran, sadaya nuaya didinya reuwas ngadangu sasauran Prabu Surya Kancana sareng dina hatena tumanya saha jalmana, timana asalna, naha tikulawarga karaton atanapi timana asalna. Senopati Lingga Jaya ngusulkeun ka Prabu Surya Kancana pikeun nyandak eta jalma ku cara dipaksa, di iming-iming ku harta, tahta, sareng bade nyumponan sagala kahayangna.
Ngadangu kitu Prabu Surya Kancana gumujeng, lajeng nyarita, “ upama kitumah anjeuna ngadeg jadi raja teh sabab dipaksa, sanes kahoyong gereteg hatena, bari jeung bade di iming-iming harta, kaula yakin anjeuna pasti alimeun, sabab anjeuna sanes jalma anu ngudag-ngudag harta jeung tahta, kunu sanes, ku jalmi-jalmi nu ngudag tahta sareng tahta mah pasti bakal di tarima, iraha rek ngurus nagara lamun anu di udag-udagna ngan saukur tahta, pasti ngahalalkeun sagala cara, sabab dina pamikiranana nu penting mah aing kawasa, ieu upami dipaksa ngurus nagarana oge sakadaek, sabab saenyana dirina embung pikeun jadi raja.
“ Teras kedah kumaha atuh supaya jalmi eta dongkap ? “ taros Senopati Lingga Jati deui,
“ Kaula oge teu acan gaduh cara kumaha carana pikeun nyandak eta jalmi. “ nusanesna ngahuleng ngaraga meneng, milarian cara kedah kumaha,
“Mangga nu sanes bilih gaduh cara ? “ saur Prabu Surya Kancana, Senopati Buana Reksa ngagaduhan usul, pikeun ngayakeun bae saembara, mung ku dirina teu kapikir naon anu bade di saembarakeunana, ahirna Prabu Surya Kancana naroskeun ka Begawan Wastu Kancana kedah kumaha carana.
“ Naon anu bade di saembarakeunnana kanjeng rama, pasti kanjeng rama gaduh rencana, da kanjeng rama mah kantos mimpin Pajajaran, uninga ka Pajajaran nu saenyana.”
Begawan Wastu Kancana gumujeng bari jeung reumbay cisoca anjeuna nyarita ”saembarakeun bae ata kujang Pajajaran, nyaeta kujang Raga Kusumah, sing saha jalma anu tiasa ngangkat eta kujang Pajajaran sareng ngarti kanu arti raga kusumah, timana bae asalna ti rahayat atawa pajabat nagara, tah eta anu bisa mawa Pajajaran jaya deui,” ahirna ku sadayana disatujuan pikeun nyaembarakeun kujang Pajajaran.
RESTU PANDITA ARYA DARMA GANDI KA PUTRANA RADEN WALANGI
“ Walangi, aya tilu hal anu kudu dipikaharti ku hidep anu bakal mawa diri hidep salaku jalma biasa sareng mawa nagara, regepkeun, nu kahiji nyeta Ngabaur, ngahiji, ngarakyat,”
“Naon hartosna kanjeng rama “ Raden Walangi nempas,
“Ngabaur keur diri hidep kudu bisa asup kasadaya golongan, kudu tiasa napak sancang, sing bisa siga cai, anu tiasa asup kana wadah naon wae oge, ngahiji nyeta ngahijikeun antara hate, pikiran jeung ucapan lakonan ku lalampahan, ngarakyat hartina tong mandang jalma tinu tahta atanapi rakyat biasa, saenyana sadayana manusa teu aya anu ngabedakeun dipayuneun Hyang Widi. Anu kadua nyaeta Ngabuka, ngaluarkeun ngasupkeun, bukakeun hate jeung pikiran hidep, tong dihalangan ku hawa nafsu dunya, kaluarkeun jati diri hidep anu saenya-enyana, jati diri manusa nu sajati, asupkeun sagala pangarti kanu hate jeung pikiran, tapi sing inget dina ngasupkeunana tong dibarengan ku hawa nafsu dunya, sabab lamun pangarti diasupkeun dibarengan ku hawa napsu dunya, dina mangsa hidep ngaluarkeunana dibarengan kurasa uzub, jeung takabur, asa aing pang pinterna, asa aing pang bisana, nganggap leutik kanu sanes, sabab diluhureun anu bisa aya anu leuwih bisa, diluhureun anu ngarti aya anu leuwih ngarti, tinu gede, aya anu leuwih gede, ahirna kasombongan anu bakal jadi jati diri hidep, anu katiluna, Ngajaga, Dijaga, Siaga. Hidep kudu bisa ngajaga pamadegan anu jadi dasar lampahna manusa, kudu tiasa dijaga ucapan, lalampahan, sabab ucapan jeung lalampahan katembong ku jalmi sanes, saenyanamah kedah diawalan dinu hate, ku kabersihan hate sabab mimiti kaluarna ucapan teh tina hate tapi etamah teu katembong ku jalmi sanes, tapi nu saestuna hate, pikir jeung ucap, sadayana kedah sami. Lajeng hidep kudu bisa siaga sabab godaan pikeun manusa anu bakal mawa jalma sangsara lamun teu tiasa nahan godaaan, kudu tiasa kapikir sabab sareng akibat dina mangsa hidep bade ngarencanakeun naon oge, atanapi bade ngalakukeun naon oge, ngajaga diri sorangan, ngajaga batur, ngajaga hate sorangan, ngajaga hate batur, sabab hirup urang di dunya teu sorangan, jadikeun eta kitab weda dadasar anu tilu eta.”
Raden Walangi ngahelas ngadangu ucapan ramana dugi ka rambay cisocana, sareng nyarios karamana, “ naon namina anu tilu eta teh kanjeng rama?” Sanes nanaon etamah, saukur pamikiran kaula anu ku kaula disebut Trisaka, anu hartosna tilu pusaka pikeun manusa, simpen eta trisaka dina hate anu pang jerona.”
“ Upami pikeun nagara kumaha hartosna kanjeng rama, sabab saur kanjeng rama trisaka eta tiasa oge nyandak nagara raharja…?”
“ Sok wae lah pikiran ku hidep, da hidep nu baris ngalakonkeun, mudah mudahan hyang widi ngaridoan hidep, sing tiasa ngarti kanu harti trisaka pikeun nagara, jig… geus waktuna hidep lalampahan, geus waktuna hidep nulung kasasama, hidep bakti kanagara, jadikeun dina ngurus nagara niatan ku ibadah, jadikeun amal pikeun nyorang ka sawarga, restu kanjeng rama aya di sagigireun hidep”.
Raden Walangi nangis, batin jeung pikirna nangis, nangis nu saenyana…
SAEMBARA KUJANG PAJAJARAN
Raden Walangi pamit ka ramana pikeun lumampah bade angkat ka Pajajaran “ kanjeng rama, kaula bade pamit bade lumampah pikeun ibadah, pikeun amal kaula bekel ka sawarga “.
“ Jig nindak, tapi tong ngalieuk katukang, nu tukang mah jadikeun eunteung pikeun hidep diajar, jang kahareupna, sabab waktu moal mungkin balik deui katukang,” ahirna, Raden Walangi lumampah ngajugjug ka Pajajaran bari dibarengan ku tekad bade bakti kanagara anu diniatan ku ibadah.
Di alun alun Pajajaran nyaeta alun-alun Pasundan, dinten eta saembara kujang Pajajaran dilaksanakeun, kusaha bae anu bade ngiringan, ti rahayat biasa dugi ka para pajabat karajaan kenging ngiringan saembara, eta saembara kujang Pajajaran, sadayana masyarakat Pajajaran kumpul dialun-alun pasundan pikeun nyaksian saha jalmi anu tiasa nyandak Pajajaran jaya anu saestu,
Prabu Surya Kancana anu ditugaskeun ngabuka saembara kujang Pajajaran, anjeuna nyarita kasadaya anu aya di alun-alun pasundan, “ kasadaya baraya sanagara, dinten ieu ku kaula dibuka saembara kujang Pajajaran sing saha jalma anu tiasa ngangkat ieu kujang nu tos dicecebkeun di tengah alun-alun Pajajaran, sareng anu tos tiasa ngabuka arti sabenerna kujang, sing saha wae jalmana boh ti rahayat boh tikaraton eta jalma anu bakal narima tahta karajaan Pajajaran “
Saatos saembara dibuka ku Prabu Surya Kancana, Raden Panca Buana, raden Widayana, Raden Lingga Jaya, ti karaton Pajajaran , Wisnu Jaya, Arya Santana, Kalingga Suta, Darma Jaya, raja Baka, eta ti pihak ksatria, sareng pandita, sadayana hayang kuhayang pikeun ngiringan saembara, ahirna saparantos dipasihan kasempetan pikeun nyoba, pikeun nyabut kujang Pajajaran, ku sadayana teu tiasa kaangkat eta kujang Pajajaran, mung hiji nu tiasa ngangkat, nyeta Raden Panca Buana, tapi dirina teu tiasa ngabuka arti kujang Pajajaran, ahirna sadayana teu aya nu tiasa ngangkat sareng ngabuka arti kujang Pajajaran.
Saparantos kitu Prabu Surya Kancana nyarita deui, geuningan teu aya jalmi teh nu narima tahta karajaan, bilih aya nu sanesna bade nyoba-nyoba mangga wae, saha wae, timana wae asalna, rek pangkat naon-naon wae gaduh hak pikeun ngiringan saembara,” sanaos Prabu Surya Kancana tos nyarios kitu rahayat teu aya deui nu wantun pikeun ngiringan saembara, ahirna aya jalmi anu bade ngiringan saembara, katingalna jalma biasa dongkap kapayuneun Prabu Surya Kancana sabari nyarita : “ naha kaula kenging ngiringan ieu saembara,”
“Mangga bae da ieu saembara kanggo saha bae” Prabu Surya Kancana ngajawab bari jeung dina hatena bagja bari jeung sugema, da dirina mah tos uninga saha ieu jalmi teh anu sabenerna, tapi dirina teu wani pikeun ngumumkeun kasadayana nu aya di alun-alun Pasunda, yen ieu jalmi teh saenyana putrana putra mahkota Pajajaran nyaeta Raden Walangi.
“ Naha hidep bakal sanggup pikeun nyabut sareng ngabuka arti kujang Pajajaran anu saenyana, “
“ Mudah mudahan Hyang Widi ngersakeun ka kaula pikeun tiasa nyabut , ngangkat sareng ngabuka arti kujang Pajajaran nu saenyana. “
Ahirna eta kujang di tengah alun-alun pasundan di cabut sareng diangkat ku Raden Walangi, sadayana kaget, geningan kujang Pajajaran tiasa kaangkat ku jalmi biasa, jalmi anu teu apal timana asalna, sabab pamikiran sadayana nu aya di alun-alun pasundan, yen jalmana teh aya di pihak karaton asalna, tapi geningan sanes tikaraton, anu katingali ku masyarakat Raden Walangi teh jalmi biasa, jalmi bodo, anu teu mungkin tiasa mawa Pajajaran jaya.
Raden Walangi ngabantun eta kujang kapayuneun Prabu Surya Kancana sareng Begawan Wastu Kancana bari ucapna, : “ kaula tos tiasa ngangkat ieu kujang Pajajaran, teras naon deui nu kudu dilakukeun ku kaula ayeuna, “ saur Raden Walangi.
Saha ari ngaran hidep, saur Begawan Wastu Kancana,
“ Ngaran Kaula Arya Darma Gandi “ jawab Raden Walangi, Prabu Surya Kancana reumbay cisoca teu kuat nahan rasa kabungah sareng rasa kasedih, anu hak narima tahta karajaan Pajajaran, kudu ngaliwatan cara model kieu pikeun narima tahta Pajajaran, padahal dirina gaduh hak pikeun jadi raja Pajajaran, bari jeung dongkapna kadieu teu ngangge nami dirina, malah ngangge nami ramana.
“ Sok terangkeun arti kujang Pajajaran dipayuneun sadayana anu aya di alun-alun pasundan ieu !” ahirna Raden Walangi ngabuka arti kujang pajajaran anu saestu.
“ Namina raga kusumah anu ngandung harti raga teh awak, kusumah teh bersih jadi anging jalma anu beresih hatena anu tiasa mawa pajajaran jaya, mawa Pajajaran raharja, bari ngarti kanu harti kabersihan hate, pikir ucap jeung lampah sadayana kudu saenyana, sabab loba jalma anu ngaku beresih tapi lampahna jauh jeung kabersihan, hatena pinuh ku hawa nafsu dunya, Ieu kujang ngabentuk kembang anu lancip tungtungna sareng lancip deui kajero, kembang ngandung harti pamingpin kedah tiasa nyengitan karakyatna tapi lain saukur ku pamingpin nyeungitan karakyatna tapi rakyat oge kedah tiasa nyeungitan ka pamingpina ngarojong pamaksudan pamingpin, kitu oge lamun pamingpina henteu kaluar tina kawajibanana salaku pamingpin, lancip ujung jeung jerona ieu kujang ngandung harti pamingpin kedah lancip pikir jeung hatena dina ngalakukeun lalampahan atawa tindakan, emut kana sebab sareng akibatna, sabab hate jeung pikiran anu beresih anu bakal nyieun jalma bener lalampahanana, ieu tilu liang tinu kujang ngandung harti hate pikir jeung ucap manusa, ngandung harti lahir hirup jeung maot manusa sabab saenyana manusamah ngan saukur dilahirkeun, hirup ngalalampahan nyieun amal ibadah dina kahirupanana, tapi dina kahirupanana saenyana Hyang Widi anu ngatur sadayana, manusamah ngan saukur ngagunakeun akal jeung pikiran bari jeung usaha pikeun nuju kana pamaksadanana, ditungtungan ku ngarana maot.”
Begawan Wastu Kancana ngagabrug ka Raden Walangi reumbay cisocana, nangis dipayuneun sadayana nuaya di alun-alun pasundan, sadayana nuaya di alun-alun pasundan gerentes hatena nangis, geuningan masih keneh aya jalma anu tiasa, anu ngarti kana harti wangi anu sajati, anu ngarti silih seungitan antara pamingpin sareng rahayatna, kitu deui rahayat sareng pamingpina sadayana rahayat nu aya dialun-alun Pasundan ngaluarkeun sora-sora, ngaluarkeun ucapan-ucapan masihan nami ka Raden Walangi ku sebatan Siliwangi anu ngandung harti silih seungitan, sadayana anu aya di alun-alun pasundan nyebat-nyebat siliwangi ka Raden Walangi.
Begawan Wastu Kancana nyarios ka Raden Walangi “ Arya Darma Gandi, sok pake ku hidep ngaran siliwangi pikeun mimpin ieu karajaan Pajajaran, ti ayeuna ku kaula sareng hamba rahayat sadayana hidep dipasihan nami Siliwangi.”
Prabu Surya Kancana ngagabrug ka Siliwangi atanapi Raden Walangi di payuneun Begawan Wastu Kancana bari cumarios ka Begawan Wastu Kancana yen saenyana ieu teh Raden Walangi putrana Raden Wastu dana Citra, anu tegesna ieu teh incuna Begawan Wastu Kancana, ngadangu kitu Begawan Wastu Kancana kaget anu teu disangka-sangka moal balik deui ka Pajajaran ayeuna datang deui ka Pajajaran, Raden Walangi nangis tos lami nembe patepang deui sareng akina Begawan Wastu Kancana, ahirna ku Begawan Wastu Kancana di uningakeun kasadayana nu aya di alun-alun pasundan, saenyana ieu teh putrana putra mahkota Pajajaran anu tos lami miang ti karaton Pajajaran, nyaeta putrana Raden Wastu Dana Citra, sadayana teu sangka, sadayana teu percaya kunaon raden walangi kedah ngiringan ieu saembara padahal Prabu Surya Kancana tos uninga yen Raden Walangi gaduh hak pikeun narima tahta Pajajaran, didieu mulai kabuka hate jeung pikiran hamba rahayat sadayana, yen rahayat biasa oge lamun enya dirina tiasa jadi raja jeung ngarti kanu harti pamingpin anu saenyana, teu aya salahna sanajan rakyat biasa komo ieu ngarti anu saenyana, eukeurmah-eukeur dirina nu gaduh hak tahta karajaan tapi cara ngadegna sami sareng peraturan hukum saembara kujang Pajajaran.
PUNCAK JAYA PAJAJARAN
RADEN WALANGI DIISTRENAN JANTEN RAJA PAJAJARAN SARENG GENTOS NAMI JANTEN PRABU SILIWANGI
Saparantos Raden Walangi disahkeun anu kenging saembara, kujang Pajajaran, Raden Walangi teras di candak kakaraton Pajajaran, teras dirina di istrenan ku Begawan Wastu Kancana sareng sah pikeun nganggem ngaran Prabu Siliwangi.
“ Siliwangi, ayeuna mangsana, ti ayeuna mimitina hidep mingpin karajaan Pajajaran,” kitu sasauran Begawan Wastu Kancana.
“ Kaula narima pikeun jadi raja Pajajaran, nyuhunkeun restu ti sadayana, ti sadaya pinisepuh nu aya dikaraton Pajajaran, kaula jangji ka diri kaula, pangniatan kaula saenyana sanes hoyong janten raja, tapi kaula hayang mawa nagara ka puncak jaya anu didadasaran pikeun ibadah, ngamalkeun kahadean, kajujuran, kabersihan hate, ucap jeung lampah pikeun muka jalan ka sawarga, mudah mudahan hyang widi ngaridoan ka pamaksadan kaula saenyana, kaula nyuhunkeun kasadayana upami Pajajaran dugi ka puncak jayana anu dicita-citakeun ku sadayana, subur ma’mur gemah ripah loh jinawi, jadi nagara anu pinuh ku wibawa, karta jeung raharja, tong nepi ka ngagung – ngagung kaula, sabab saenyana nagara dugi ka puncak jaya sanes saukur ku kaula tapi ku sadayana, timimiti rahayat dugi ka pupuhu nagara, ieu sadayana para pajabat nu aya di karaton sing inget nu saenyana, yen pajabat nagara teh lain jalma nu kudu di sembah-sembah, nu kudu diagung-agung ku hamba rahayat sakabeh, tapi sabalikna para pajabat teh kudu nyembah ka rahayatna, ngagugu kahayang rahayatna, nyaangan ka rahayatna, muka jalan pikeun rahayatna raharja, sajahtra salalamina, sabab moal aya pamingpin lamun teu aya rahayatna, moal aya nagara lamun teu aya rahayatna, tapi upami mung saukur aya rahayatna pasti bakal aya pamingpina, conto kaula jadi raja kaula moal bisa ngayakeun rahayat, tapi rahayat tangtu bisa ngadegkeun rajana.
Sadayana ngahuleng ngaraga meneng ngadangu sasauran Prabu Siliwangi, nyeceb ucapna kana dada sadayana anu aya didinya, teras Begawan Wastu Kancana nyarios, “tah ayeunamah atur ieu karajaan Pajajaran ku hidep, mangga bae terserah hidep.”
“Nya tiayeuna ku kaula di putuskeun ngangkat pun uwa Surya kancana janten patih karajaan, “uwa.. hayu urang babarengan pikeun ngurus Pajajaran, pikeun nuju karajaan Pajajaran puncak jaya, mudah-mudahan hyang widi ngaridoan sanajan kaula sareng uwa beda pamadegan, hayu urang paheuyeuk-heuyeuk leungeun paantai-antai panangan pikeun gawe nu rancage pikeun ngabdi karajaan Pajajaran karahayat, kabangsa jeung ka nagara”. Sareng Prabu Siliwangi masihan gelar ka Surya Kancana, Raga Mulya Surya Kancana sabab nu ditingal ku Prabu Siliwangi di diri uwana ku kagagahan, kukabersihan hate jeung pikirna, ku kasaktianana, ku kamulyaan hate jeung pikirna anu jadi pribadi keur dirina, timimiti harita Prabu Siliwangi sareng sadayana pajabat karajaan ngamimitian ngurus karajaan Pajajaran.
PRABU SILIWANGI NIKAH KA DEWI KUMALA ATANAPI SUBANG LARANG
Dina mangasa Prabu Siliwangi muru uncal dileuweung antara Pajajaran eujeung karajaan Sumedang Larang, nyaeta karajaan anu di pimpin ku Prabu Jaya Wangsa, anjeuna ngadangu di karajaan Sumedang Larang ngayakeun saembara pikeun milarian jodo kangge Dewi Kumala putrina Prabu Jaya Wangsa, ahirna Prabu Siliwangi teras ngajugjug maksad bade ngiringan saembara, sabab dina pamikiranana mudah-mudahan karajaan Sumedang Larang tiasa pikeun nguatkeun tali silaturahmi antawis karajaan Pajajaran jeung karajaan anu sanesna. Teras Prabu Siliwangi ngiringan saembara , gancang carita ahirna Prabu Siliwangi nu kenging eta saembara, teras anjeuna dicandak sareng ditepangkeun ka Dewi Kumala ku Prabu Jaya Wangsa, bari sasauran ka putrina, “nyimas putri, nyimas tos kenging jalmina, tah ieu jalmina anu kenging saembara teh, namina munding wangi”.
“ Assalamualaikum,…” saur Dewi Kumala, Prabu Siliwangi mung saukur imut dina pameunteuna, teu tiasa ngajawab ka ucapan salam Dewi Kumala ku kata-kata.
“ Saha ari salira teh….” Timana asalna..” saur Dewi Kumala
“ Kaula Munding Wangi, kaula teu puguh padumukanana, hirup saukur ku ngalalana, nepi ka kaula nepi kadieu, teras ngiringan saembera ieu “
“ Kunaon salam abdi teu di jawab, ku ngan saukur ku imut salira”
“ Kaula teu uninga ku salam samodel kitu”
“ Upami kitumah, salira benten pamadegan sareng kaula, benten kayakinan, naha bakal sauyunan dina ngajalankeun rumah tangga pikeun hirup babarengan sareng kaula, ngandung harti nikah sareng kaula”
“Da saenyana sanajan beda pamadegan, urang gaduh niat pikeun hirup sauyunan, pikeun ngahiji pasti tiasa wae, tapi urang kedah tiasa ngarti kana pamadegan masing-masing, tapi upami ceuk pamadegan salira teu kenging ngahiji sareng jalmi anu benten pamadegannana, wios keun bae teu ngahiji age sanajan kaula kenging eta saembara, sok..! yakin kana pamadegan salira upami enya mah dilarang ceuk pamadegan salira, keun bae teu janten nikah oge sabab kaula teu tiasa maksa, da salira oge gaduh pamadegan sorangan”.
Ngadangu ucapan Prabu Siliwangi Dewi Kumala teu tiasa nyarios naon-naon, masrahkeun sagala rupa ka ramana nyaeta Prabu Jaya Wangsa, “ nyimas Putri, hampura kanjeng rama teu tiasa mutuskeun kedah kumaha carana, naha salira gaduh rasa kacinta ka ieu munding wangi, kitu deui sabalikna naha munding wangi gaduh rasa kacinta ka dewi kumala “
“ Saenyana kaula kudu turut ka pamadegan kaula, hoyong mah gaduh caroge teh ka jalmi anu sapamadegan, tapi kaula ge kudu turut ka peraturan nagara, da ceuk pamadegan kaula oge diwajibkeun pikeun turut ka paraturan nagara, saenyana saembara oge tos kaasup paraturan nagara, nya mangga wae teu langkung ka salira munding wangi, naha salira narima gaduh istri anu pamadeganana benten sareng pamadegan salira “ saur Dewi Kumala.
“Nya kaula narima, tapi urang kedah emut pikeun ngajaga ka pamadegan masing-masing, saling silih hargaan, silih asuh da saenyanamah soal pamadegan keur diri masing-masing manusa”
Ahirna Prabu Siliwangi ditikahkeun sareng Dewi Kumala ku Prabu Jaya Wangsa, saparantos ditikahkeun Prabu Siliwangi ngabukakeun anu saenyana ka Prabu Jaya Wangsa saenyana dirina nyaeta Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Saterasna Dewi Kumala janten permaisuri Prabu Siliwangi, teras Prabu Siliwangi mulang deui ka Pajajaran disarengan ku Dewi Kumala atanapi Subang Larang.
PRABU SILIWANGI NGAGAGALKEUN PAMBARONTAKAN NU NYIEUN NAGARA DI JERO WEWENGKON PAJAJARAN
Waktu Pajajaran dipimpin ku Prabu Siliwangi, saeutik-saeutik pajajaran nuju ka puncak jayana, rahayat sugema dipimpin ku raja anu bijaksana, anu ngarti kanu wangi anu sajati, sanajan Pajajaran jaya, aya oge anu resep tapi oge anu ngewa, anu iri, dugi ka timbul hayang nyaingan Pajajaran, hayang ngarusak Pajajaran nepikeun rek ngadegkeun nagara di wewengkon Karajaan Pajajaran, nyaeta anu dipupuhu ku adipati Kalingga nu jenenganana Adipati Suraman, manehna hayang ngadegkeun karaton di belah wetan Karajaan Pajajaran nu masih keneh wewengkon wilayah Karajaan Pajajaran. Manehna ngahasut ka rahayat nu aya didinya pikeun ngarojong pamaksadanana, sareng ngahasut ka urang-urang Pajajaran nu di belah wetan sasaurana “ tingali kumaneh, nu dipajukeun jeung dijayakeun ngan saukur di karaton hungkul, jeung disabudeureunana, geningan didieu mah diculkeun diantepkeun, padahal ieu teh masih keneh wewengkon Pajajaran anu kudu dipajukeun ku maranehanana, lain saukur dipuseur dayeuh Pajajaran, upami kitumah kumaha urang ngadegkeun karajaan di ieu tempat, urang pajukeun ieu tempat sabab percuma urang ngahiji jeung manehna oge, kumaranehna ieu tempat mang sabodo teuing teu diurus”. Kitu sasauran adipati kalingga tapi rahayat aya nu kagagas pikeun ngarojong pamaksadan adipati kalingga, aya oge anu tetep satia ka Pajajaran nyaeta jalma –jalma anu ngarti kanu wangi nu sajati anu kudu nyeungitan antara rahayat jeung pamingpina.
Ahirna kabar nu kitu dugi ka Prabu Siliwangi, dijero karaton Pajajaran Prabu Siliwangi nyarita ka para senopati sareng sadayana nu aya didinya anjeuna ngabahas soal eta “ uwa patih, kumaha carana pikeun nyanghareupan hal nu jiga kieu, oge ka para pinisepuh sadayana, kedah kumaha carana nyanghareupanana. “ kaula percaya ka nak Prabu, mangga bae terserah didinya kedah kumaha nyanghareupanana, uwa patih mah ngan saukur ngajalankeun tugas naon nu kudu dijalankeun jeung dilaksanakeun ku kaula” saur patih Surya Kancana.
“Nya ayeunamah ondang wae sadaya adipati nu aya di wewengkon Pajajaran”, saatos nampi parentah kitu, mahapatih Surya Kancana sareng nu sanesna anu dipasihan tugas ku Prabu Siliwangi pikeun ngondang ka para adipati nu aya di wewengkon Pajajaran pikeun dongkap ka puseur dayeuh Pajajaran, suparantos nampi parentah kitu sadayana miang naglaksanakeun parentah Prabu Siliwangi.
Saparantos nampi ondangan ti Prabu Siliwangi, para adipati sadayana dongkap ka karaton Pajajaran, dipayuneun sadaya adipati Prabu Siliwangi “ wilujeng sumping sadayana adipati di karaton Pajajaran kaula ngadangu kabar, yen aya hiji wewengkon Pajajaran anu bade ngadegkeun karajaan di wewengkon Pajajaran, alasana ngarasa diculkeun ku kaula, teu diurus ku kaula, ngarasa teu diperhatikeun ku kaula, manehna hayang ngadegkeun karajaan sorangan didinya dari pada ngahiji ejeung Pajajaran, hampura lain kaula teu merhatikeun eta wewengkon, tapi kaula oge nembe ngadeg jadi raja, anyar keneh kaula teh jadi raja, kaula oge gaduh rencana, rencana kaula hayang sadayana jaya timimiti puseur dayeuh dugi kasadayana wewengkon age jaya, sejahtra, sugema kasadayana.”
Ahirna ku para adipati kauninga sareng emut deui pikirna, meureun enya can mangsana mereun, ngamimitian mah ngamajukeun heula puseur dayeuh, saeutik-saeutik sadayana bakal dibina jeung diwangun sadayana wewengkon Pajajaran, saparantos sadayana macangkrama di karaton Pajajaran, sadaya adipati marulih deui ka wewengkon masing-masing.
Sanajan sasauran Prabu Siliwangi nu jiga kitu kauninga ku sadayana adipati, tapi kusabab adipati Kalingga mah disateuacana tos gaduh niat pikeun ngacaukeun Pajajaran, kusabab anjeuna gagal dina ngiringan saembara kujang Pajajaran, anjeuna teras-terasan ngahasut ka hamba rahayat nu aya di wewengkona pikeun ngadegkeun karajaan sorangan, anu misah ti Pajajaran, anjeuna teras nyusun kakuatan, nyuhunkeun bantuan timana wae, pikeun ngawangun karajaan sorangan, sanaos kitu rahayat mah emut kanu arti wangi nu sajati nyaeta silih seungitan antara rahayat sareng pamingpina, aya rencana naon wae oge kabarna dugi ka Prabu Siliwangi.
Di karaton Pajajaran, Prabu Siliwangi nampi kabar yen , adipati kalingga teh keukeuh peuteukeuh hayang ngadegkeun karajaan di wewengkon Pajajaran, ahirna anjeuna nugaskeun senopati Buana Reksa miang ka Kalingga, maksad pikeun ngalawan pambarontakan nu aya diditu, sareng nyandak adipati Kalingga kapayuneun Prabu Siliwangi, nya ahirna senopati Buana Reksa disarengan ku para prajurit Pajajaran miang pikeun ngajalankeun tugas ti Prabu Siliwangi.
Saparantos senopati Buana Reksa dongkap deui ka karaton Pajajaran bari nyandak adipati Kalingga, adipati kalingga dicandak kapayuneun Prabu Siliwangi di hiji tempat Tirta Wening, nyaeta nami bangunan nu aya di karaton Pajajaran, Prabu Siliwangi naros ka adipati Kalingga, : “ naon pamaksadan salira nu saenyana hayang ngadegkeun karajaan di wewengkon Pajajaran, kaula ngadangu kabar mah sabab kaula teu merhatikeun ka wewengkon anu di pimpin ku salira.”
“ Muhun gusti prabu, kaula ngarasa teu di perhatikeun, abong keneh wewengkon eta ayana di pasisian meuni teu ditingali ku salira gusti prabu “
“ Sateuacana oge ku kaula parantos dicaritakeun nuju kaula ngodang sadaya adipati nu aya di wewengkon Pajajaran, kaula nata nagara teh hiji-hiji, saeutik-saeutik, meureun kanu disisimah can mangsana pikeun kaula ngamajukeunana, sanes teu diperhatikeun tapi can mangsana dugi kadinya, hampura lamun pamaksadan kaula teu sajalan sareng pamaksadan salira, ayeuna didinya nu saenyana gaduh maksad nu model kumaha ? “
“Gusti Prabu kaula hayang nu sisi oge jaya, raharja, sugema, sapertos kaayaan puseur dayeuh Pajajaran”
“ Kaula oge hayang siga kitu sadayana, sugema, sugih mukti jeung sajahtra, tapi nu kaemut kaula mah pamikiran salira hayang sadayana jaya, tapi salira gaduh pamikiran hayang ngadegkeun karajaan sorangan, kapan sadayana warga nagara diwajibkeun ngajaga, dijaga, siaga, nyeta ngajaga hubungan antara rahayat sareng rajana, adipati sareng rajana, intinamah sadayana kedah silih asah, silih asuh, silih asih, sareng sadayana warga nagara diwajibkeun ngajaga kautuhan pikeun ngajaga kautuhan nagarana, ngarah teu aya nu leungit sanajan sajeungkal oge tanahna, ayeuna emut ku salira lamun didinya ngadegkeun karajaan sorangan misah ti Pajajaran, kaula sieun wewengkon-wewengkon Pajajaran nu sanesna miluan pikeun misah ti Pajajaran, anu ahirna Pajajaran teh jadi nagara leutik, sareng gaduh ngaran goreng ka kaula teu tiasa ngajaga wilayahna, lamun salira keukeuh hayang ngadegkeun karajaan di wewengkon Pajajaran, mangga salira jadi raja Pajajaran, sabab ku kajadian nu jiga kieu geningan kaula teu tiasa nyugemakeun kasadayana, mangga pimpin ku salira ieu karajaan Pajajaran, ku kaula dibikeun ieu tahta Pajajaran dari pada kaula kaleungitan wilayah Pajajaran sabab kaula ngarumasakeun teu tiasa ngajaga kadaulatanana, daripada salira mingpin karajaan anyarmah, mending mingpin karajaan nu tos aya, anu keur nuju ka puncak jaya.”
Adipati Kalingga kaget ngadangu sasauran Prabu Siliwangi, “ampun gusti Prabu, kaula teu sanggup pikeun mimpin Pajajaran “
“Kunaon salira teu sanggup pikeun mimpin Pajajaran?”
“Sabab kaula teu tiasa pikeun bijaksana sapertos gusti prabu, kaula ngarasa hina salaku warga karajaan Pajajaran teu tiasa ngajaga kadaulatan “
“Mangga wae pimpin ieu Pajajaran ku salira, kaula sieun sanajan salira ayeuna tos sadar, parantos uninga kanu arti kadaulatan anu saenyana tapi namina oge manusa anu dilingkung ku nafsu, bisi hiji mangsa salira gaduh pamaksadan pikeun misah deui ti Pajajaran.”
Adipati Kalingga ngahuleng ngaragameneng, dirina teu wasa mayunan hiji raja anu bijaksana sapertos Prabu Siliwangi, sabab tiawal pamaksadannana nu saenyana bade ngaruntuhkeun Pajajaran, ahirna dipayuneun Prabu Siliwangi adipati Kalingga ngabukakeun pamaksadannana anu saenyana pikeun ngaruntuhkeun Pajajaran, sadayana senopati anu aya didinya kaget ngadangu sasauran adipati Kalingga, nya ahirna kusabab kalakuanana anu jiga kitu saparantos gempungan sadayana anu aya didinya, Prabu Siliwangi mutuskeun pikeun ngahukum adipati Kalingga ku hukuman rogahala, sabab upami teu dirogahala bilih pambarontakan di Karajaan Pajajaran sawaktu-waktu datang deui.
PUTRA KA HIJI PRABU SILIWANGI SARENG SUBANG LARANG
Buah kanyaah, kawelas asih Prabu Siliwangi sareng Dewi Kumala atanapi subang Larang tea dugi ka Dewi Kumala kakandungan, hiji mangsa ditempat lelesona Prabu Siliwangi Dewi Kumala nyarios ka Prabu Siliwangi.
“ Kang mas prabu, tadi wengi kaula ngimpen jabang bayi anu di kandung ku kaula medal kaalam dunya dibarengan ku seungit anu nyababkeun sadayana milarian sumber asalna eta kaseungit, anu saenyana asalna tina jabang bayi anu ku kaula dilahirkeun, sareng deui aya bentang anu lebet ka jabang bayi anu ngakibatkeun si jabang bayi cahayaan, anu mere caang kanu aya di sagigireunana, tah kitu kang mas prabu impenan kaula teh.”
“Nyimas putri lahirna dibarengan ku seungit, kuwawangi, mudah-mudahan si jabang bayi jadi jalmi anu ngarti kanu harti seungit jeung wangi anu sajati, sareng lebetna bentang kajabang bayi mudah mudahan kawibawaaan Pajajaran aya didirina, mere caang kasadayana, mugi-mugi si jabang bayi jadi jalma anu suci, lancip pikirna hade laku lampahna.”
“Mudah-mudahan bae sapertos kitu engke ayana, anu ngajadi ciri Pajajaran anu saestu,” saur Dewi Kumala.
Nepi ka hiji mangsa si jabang bayi medal ka alam dunya, naon nu kaimpen ku Dewi Kumala sadayana janten kanyataan, lahir dibarengan ku wawangi, sareng aya hiji cahaya sapertos bentang lebet kadirina jabang bayi, nu ahirna ku Prabu Siliwangi dipasihan nami Walang Sungsang, Walang nyandak ti nami dirina, sungsang ngandung harti mugi-mugi tiasa ngabuka nu saenyana.
SUGIH MUKTI, BAGJA JEUNG SUGEMA PAJAJARAN
Dijero karaton Pajajaran, Prabu Siliwangi ngayakeun gempungan sareng para pajabat karaton, para pinisepuh karaton, para adipati nuaya diwewengkon Pajajaran dugi ka tokoh masarakat Pajajaran. Prabu Siliwangi ngajak kasadayana babarengan pikeun gawe nu rancage, paheuyeuk-heuyeuk leungeun, pantai-antai panangan pikeun ngawangun Pajajaran, Prabu Siliwangi nyarita kasadayana,: “sanajan kaula raja, da saenyana anu mawa nagara raharja, sugema, pinuh ku wibawa, sanes ku kaula sorangan, da saenyana anu mawa nagara pinuh kuwibawa, ku tokoh masarakatna anu ngaping karahayat sadaya, anu mere pangarti ka rahayat sadayana da saenyana pamarentah mah ngan saukur nyadiakeun waragad pikeun sadayana, pikeun ngatur hukum, aturan-aturan nagara nu kedah sadayana tanamkeun, pelakeun kanu hate rahayat sadayana yen, sagalana niatan ku ibadah, da saenyana anu mawa dirina bagja jeung sugema anging ku dirina sorangan ku lalampahan anu hade, ku kajujuran, ku kaikhlasan, ngajaga kahormatan dirina sorangan, nulung kasasama, hormat kasaluhureun, kasahandapeun, sareng kasasama, tanamkeun ku sadayana didieu anu gaduh tugas salaku pamingpin masarakat, anu ngaping rahayatna kana arti raga kusumah anu saenyana, nyeta samemeh ngajugjug nagara anu raharja, anu sugema anu pinuh ku wibawa, mimitian bersihan heula dirina sorangan, hate, pikir jeung ucapna. Kunaon kudu dimimitian tidirina sorangan, sabab saenyana teu aya pamingpin, teu aya rahayat, teu aya pajabat, teu ya rahayat, anu saestuna sami-sami jalma , anu keur ngajalankeun kahirupanana. Anu jadi tani, anu jadi kuli, anu jadi adipati, anu jadi senopati, anu jadi tamtama nagara, anu jadi patih dugi ka anu jadi raja saenyana sadaya teu aya bedana, sadayana kedah tiasa ngabaur, ngahiiji, ngarakyat, ieu nu jadi rahayat ulah sieun, ulah ngarasa leutik dipayuneun rajana, kitu oge sabalikna, raja ulah nganggap rahayat kabawahanana, kudu jadi ngahiji salaku warga nagara anu keur nyicingan nagara.
Saterasna kedah tiasa ngabuka, ngaluarkeun jeung ngasupkeun, timimiti rahayat biasa dugi ka rajana kedah tiasa ngabukakeun potensi dirina sagala kamampuan nu aya didirina, ngagunakeun hate jeung pikiran pikeun jadi pangabisa anu bisa nyukupan kahirupana, kitu deui kedah tiasa ngabuka potensi dirina salaku raja ngabuka potensi rahayatna, ngabuka potensi nagarana, ngaluarkeun sagala pangabisa jeung pangarti nu aya didiri rahayatna, sabab bakal katembong jati diri nagara Pajajaran, nyaeta ku kaluarna pangarti, pangabisa rahayat jeung rajana babarengan kaluar, raja kedah tiasa ngasupkeun pangarti kasadayana, boh elmu boh adat, tatakrama jeung sajabana, kitu deui rahayat ge kedah ngarti kanu saenyana, saterusna sagala rupa teh ulah ngandelkeun kabatur, ulah ningali kanagara batur, yakinkeun nagara urang sorangan oge pasti bisa, yakinkeun loba dinagara urang oge potensi nu can kabuka.
Saterasna ngajaga, dijaga jeung siaga. Sadayana timimiti rahayat dugi ka raja kedah tiasa ngajaga kahormatan nagarana, kumaha carana, nya ku laku lampah anu hade, ku kajujuran, ku kaikhlasan narima ku kaayaan anu enya, di jaga kalestarian budaya nu aya di Pajajaran, jaga ka aslianana ngarah teu pahili ku budaya-budaya ti batur, bisi wae urang ngasupkeun ti budaya batur, tapi sing inget, budaya asli Pajajaran tong nepi ka leungit, teras kasadayana timimiti rahayat dugi ka raja, kedah tiasa ngajaga kadaulatan nagarana, ngarah teu aya nu leungit, ngarah nagara teu leungit, sabab bisa wae nagara leungit lamun dina pamikiran sadayana teu boga rasa kacinta ka nagara, teu boga rasa kanyaah kanagarana, teu boga tanggung jawab kanagarana, urang sadayana kedah tiasa ngajaga potensi-potensi nu aya dinagarana, boh ti bumi boh ti leuweung, ngarah potensina teu dibuka ku batur, tapi dibuka ku sorangan, tah didieu urang kudu pinuh ku pangarti, kudu loba ku pangabisa sabab nu saenyana pangarti jeung pangabisa anu bisa mawa nagara jaya, tapi nu leuwih utama sadayana ti rahayat dugi ka raja teh, kedah tiasa ngajaga ahlak pamadeganana, sabab eta nu jadi konci ngarah kahirupanana teu kabawa ku sakaba-kaba. Urang kedah siaga bisi aya hal-hal anu teu diharepkeun datang ngaruksak kanagara urang, nu saenyanamah kedah siap narima kanyataan boh nagara jaya, boh nagara keur seueur bancang pakewuh, urang kudu babarengan nyanghareupan, ulah silih salahkeun lamun nagara loba ku bancang pakewuh, tapi sadayana kedah balik deui kadiri sorangan, kadirina sewang-sewangan naha lampahna bener atawa salah. “
Sadayana nu aya di karaton kauninga pamaksadan Prabu Siliwangi nu saenyana pikeun ngajak gawe nu rancage ngawangun Pajajaran, teras Prabu Siliwangi neraskeun cariosanana, “ saterasna urang salaku rahayat Pajajaran di mimiti ku rahayat biasa dugi ka rajana, saenyana sadayana warga nagara Pajajaran teu dibedakeun ku rahayat, teu dibedakeun ku pangkat, teu dibedakeun ku raja, saestuna sami-sami jalma nu keur usaha pikeun ngadeukeutan kasampurnaan, tapi lain sampurna ngandung harti jaya, lain sampurna anu ngandung harti pinuh ku wibawa, tapi sampurna laku lampah dinu kahadean, sabab saenya-enyana lamun laku lampah geus sampurna, dicirian ku kajujuran, jeung karidoan hate, wibawa nagara bakal datang sorangan, jadi nu saenyana nagara pinuh ku wibawa datangna ku laku lampah sadayana, timimiti rahayat biasa dugi ka rajana ngarti kanu kabeneran, ngarti kanu kajujuran, ngarti kana kaikhlasan, naon sanjatana nyaeta trisula, tapi lain trisula pakarang, lain trisula sanjata, tapi trisula nu ngandung harti hate pikir jeung ucap. Hate jeung pikirna, pikir jeung ucapna, ucap jeung lalampahanana didadasaran ku kajujuran jeung kaikhlasan, tah didinya wibawa, karta jeung raharja bakal kapanggih, sabab nu saenya-enyana jayana nagara, reuntasna nagara sadayana tos kersaning hyang widi nu ngaturna.” Ahirna kauninga ku sadayana, ku para senopati, ku para pinisepuh, ku para pajabat, ku para adipati, ku para tokoh masarakat yen, nagara bakal jaya di mimitian ti diri jalma sewang-sewangan, ku kajujuran, ku kaikhlasan jeung ku kabeungharan hatena.
UCAPAN PRABU SILIWANGI KA PARA PANDITA SARENG KA PARA TOKOH AGAMA NU SANESNA
Prabu Siliwangi ngondang ka para pandita sareng ka para tokoh agama nu sanesna nu aya di wewengkon karajaan Pajajaran.
“ Ka para tokoh agama sadayana, kaula nyuhunkeun gawe nu rancage, ngaping karahayat sakabeh, sabab aranjeun anu leuwih ngarti, aranjeun anu leuwih uninga kedah kumaha lalampahan manusa di dunya, anu leuwih uninga kana kajujuran saestuna, jeung leuwih uninga kana kabeneran nu saenyana, sabab nu mimiti pikeun nyorang nagara sejahtra nyaeta ngabebener ahlak-ahlak warga nagarana, kaula nyuhunkeun kasadayana para tokoh agama, sabab aranjeun anu babarengan ngajalankeun kahirupanana sareng hamba rahayat sakabeh, sok aping ku aranjeun tepikeun elmu-elmu agama ceuk pamadegan masing-masing, ceuk kayakinan sewang-sewangan, sabab pamadegan naon wae oge saenyanamah nitah ka jalma supaya lakulampahna bener, da pamadegan naon wae oge saenyana teu nitah salah, sanajan urang didieu beda pamadegan, beda kayakinan, urang kedah hirup sauyunan sabab kaula yakin, sadaya pamadegan naon wae oge gaduh etika kumaha carana kasasama anu sapamadegan sareng anu benten pamadegan, henteu silih gorengkeun, henteu silih beubeutkeun, sabab ari pamadegan mah hubungan antara jalma jeung nu nyiptakeunana, anu diciptakeun jeung anu nyiptakeun.”
Sadaya para tokoh agama ngartos kana ucapan Prabu Siliwangi, geningan saenyana dirina anu gaduh peranan anu ageung pikeun ngajugjug nagara anu pinuh ku wibawa, sabab agama anu jadi dasar pikeun manusa ngajalankeun kahirupanana, lamun jalma geus ngarti kanu agama, anjeuna gaduh rasa sieun pikeun lalampahan anu salah, pasti manehna teras-terasan usaha pikeun ngumpulkeun amal ibadah, ngumpulkeun kabeneran anu didasaran ku kajujuran pikeun nyorang kahirupanana. Teras Prabu Siliwangi nyarios deui, “tah timimiti ayeuna heg aranjeun geura narindak, ngabebener lampahna manusa, lamun enya hayang nagara sajahtra anu pinuh ku wibawa.”
PRABU SILIWANGI NGONDANG PARA SODAGAR PAJAJARAN
Pikeun hamba rahayat sajahtra sadayana, Prabu Siliwangi ngondang ka para sodagar nu aya di wewengkon karajaan Pajajaran, dipayuneun para sodagar sadayana prabu siliwangi nguningakeun nagara ngajugjug kana kamakmuran teh di barengan ku peranan para sodagar, sabab arinyana anu tiasa nyukupan karahayat sadayana pikeun sajahtra, Prabu Siliwangi nyarita : “para sodagar sadayana, anjeun anu ngagaduhan peranan pikeun ngasejahtrakeun rahayat sadayana, kumaha carana, heug buka lapangan pagawean pikeun rahayat, sareng ngabuka potensi rahayat, ngabuka pangabisa rahayat, heug ku didinya bina, asah, pangabisana pikeun jadi karya, ngabuka potensi alam nu aya di Pajajaran, supaya bisa ngahasilkeun karya anu ngabogaan harga jual anu luhur, jeung ngabogaan pamikat sorangan anu dibere tanda-tanda anu ngabedakaeun hasil karya ti Pajajaran jeung ti karajaan lain, ngabuka lapangan pagawean teh kudu dibarengan bari ngagawekeun jalma ti Pajajaran heula, saturut kamampuan jeung pangabisana, mun di Pajajaran teu aya nu bisa ngabuka potensi-potensi nu aya di Pajajaran karek urang tiasa neangan jalma ti luar Pajajaran, eta oge anu bisa jeung ngarti kanu potensi anu aya di Pajajaran pikeun ngaluarkeun hiji barang anu hasilna bisa nyukupan kabutuhan jalma sapopoe.
Nya nu jadi utamana mah, aranjeun sadayana mere pagawean karahayat anu tetep, anu ngajadi pagawean tetep hamba rahayat sadayana sapopoe, jeung sadayana anu gaduh pangabisa, heug buka sebarkeun karahayat pangabisana nyaeta pangabisa pikeun usaha, contona mere pangabisa elmu dagang, mere pangabisa elmu tani pikeun ngagarap sawahna, pikeun nyuburkeun pepelakanana ngarah hasilna sugema, saterusna lamun hasil panen tos nyukupan pikeun rahayat Pajajaran, mangga wae sesana jual kakarajaan sejen tapi upami teu acan cekapmah tong waka hayang ngajual ka karajaan sejen, intinamah cukupan heula karajaan urang, cukupan heula pangabutuh nagara urang, samemeh ka karajaan batur.”
Sanggeus ngadagu sasauran Prabu Siliwangi ahirna para sodagar ngarti kana pamaksadan Prabu Siliwangi pikeun nyukupan heula pangabutuh rahayatna, nyaeta tong waka ningali kabatur, tingali mah rahayat Pajajaran heula, ngarah sadayana sugema kahirupanana, kacukupan kadaharanana, pamakena jeung tempat cicingna.
OBROLAN PRABU SILIWANGI JEUNG PARA TAMTAMA PRAJURIT PAJAJARAN
Prabu Siliwangi ngondang kasadaya para tamtama Pajajaran, di payuneun sadayana anjeuna nyarita : “ kapara tamtama sadaya, aranjeun anu ngagaduhan tugas pikeun ngajaga kaamanan karajaan anu di bere sanjata pikeun bela kanagara, ngajaga rahayatna tinu bahaya, ngajaga kadaulatan nagarana ngajaga wilayahna ngarah wilayah Pajajaran teh teu aya nu leungit, ngajaga dijaga, siaga, ngajaga aranjeun ku silih jagaan kasalametan salaku sasama tamtama nagara, dijaga kadaulatan nagarana ku anjeun, siaga bisi sawaktu-waktu aya bancang pakewuh di Pajajaran.”
GAWE RANCAGE PAMIMPIN, PARA TOKOH AGAMA, PARA SODAGAR JEUNG PARA TAMTAMA
Sugih muktina Pajajaran diwangun ku gawe nu rancage, kupaheuyeuk-heuyeuk leungeun, paantai-antai panangan antawis pamimpin, para tokoh agama, sodagar sareng para tamtama. Sadayana tiasa ngajalankeun tugasna masing-masing, para tokoh agama ngasupan pangabisa, pangarti ka hamba rahayat sakabeh, minuhan ku kajujuran, ku kabeneran, jeung kaikhlasan, para sodagar tiasa ngabukapotensi nu aya dialam Pajajaran, ngabuka potensi rahayat pikeun nunjang kana kahirupanana, hamba rahayat sadaya sugema sabab ngarasa damai, tengtrem sabab para tamtama nagara tiasa ngajaga kaamanan Pajajaran, sadayana dina ngajalankeun tugasna dipapayungan ku Prabu Siliwangi salaku rajana, tidinya Pajajaran muncul jadi nagara subur makmur nu gemah ripah loh jinawi pinuh ku wibawa, karta jeung raharja, Prabu Siliwangi ahirna tiasa ngabuka arti trisaka dina ngalaksanakeun jeung ngajalankeun pamarentahanana anu dibarengan ku kitab weda.
JAYA SUGEMA PAJAJARAN
Saparantos Prabu Siliwangi ngondang ka para adipati, ka para pandita sareng tokoh agama nu sanesna, ka para sodagar sareng ka para tamtama nagara, arinyana kupaheuyeuk-heuyeuk leungeun, paantai-antai panangan, ngahiji ngabahu reksa pikeun ngawangun Pajajaran anu di harepkeun Pajajaran teh sejahtra, pinuh ku wibawa, karta jeung raharja dugi ka ngawujud jadi nyata nyaeta Pajajaran anu gemah ripah loh jinawi anu silih asah, silih asuh, silih asih, antara rajana para pajabat nagara tug dugi ka rahayat sakabeh, dugi ka Pajajaran jadi nagara anu makmur anu didasaran ku ngartina pamingpin jeung rahayatna kanu wangi nu sajati.
Saterasna raja-raja nuaya disabudeureun karajaan Pajajaran ngarasa takjub ningali Pajajaran, ningali ka Prabu Siliwangi ngawangun Pajajaran dugi ka nepi jadi sajahtra, gampang nyandang murah pangan, seubeuh hakan pinuh ku kamakmuran, dugi ka ahirna para raja-raja disabudeureun karajaan Pajajaran dongkap pikeun ngajalin gawe nu rancage sareng Pajajaran.
Dikaraton Pajajaran Prabu Siliwangi nampi kasumpingannana para raja-raja tea teras nyarios “ wilujeng sumping para raja-raja sadayana ka karajaan Pajajaran anu sakieu ayana mugi dihapunten bilih panampiannana kirang nyugemakeun ka para raja sadayana.”
Sadayana para raja ajrih ningali pamor Prabu Siliwangi dina dirina teu gaduh rasa ieu aing geus bisa ngawangun nagara anu makmur, teu gaduh rasa ieu aing pang pinterna sareng teu gaduh rasa udzub takabur jeung teu gaduh rasa sombong na dirina, salah saurang wawakil ti raja-raja teh nyarios,” nuhun ku ditampina oge, kaula sadayana ku tiasa ningali kaendahan ieu karaton Pajajaran anu pinuh ku kaagrengan, pamaksadan kaula sadayana hoyong ngajalin gawe nu rancage sareng Pajajaran boh tina tata nagara sareng sajabana, ngajalin hubungan nu sae antawis karajaan kaula sadaya sareng karajaan Pajajaran. “
“ Kaula mah teu tias nanaon, jalmi biasa da nu ngawangun nagara raharja mah ku sadayana nu ngeusianana timimiti pamingpin dugi karahayat biasa, sadayana ngiring bagian pikeun ngawangun nagara sajahtra sareng raharja.”
“Muhun nanging kaula para raja sadayana nyuhunkeun bantosanana ti salira pikeun ngabimbing sadayana supados ngartos kanu saenyana janten pamingpin anu tiasa ngawangun nagara sajahtra sareng raharja,”
“Mangga bae, kaula oge nyuhunkeun dibimbing ku sadayana pikeun ngurus nagara, hayu urang gawe nu rancage dina hubungan antawis nagara, urang silih tukeur pikir nyawalakeun pasoalan-pasoalan hubungan antar nagara,”
Sadayana ajrih ku ningali pamor jeung wibawana Prabu Siliwangi dugi ka ahirna para raja-raja sadayana masihan gelar ka Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja, nyaeta raja anu ngarajaan raja, saterasna sadayana macangkrama di karaton Pajajaran.
Minggu, 02 Mei 2010
ATLANTIS_NEGERI YANG HILANG
Menurut Plato, Atlantis tenggelam 9.000 tahun sebelum masanya. Jadi, sekitar 11.600 tahun yang silam. Di dalam Critias dinarasikan, gempa dan banjir yang kejam telah menenggelamkan benua itu hanya dalam sehari semalam.
Bangsa Atlantis di ceritakan sebagi sebuah bangsa yang telah memiki peradaban yang luar biasa maju, mereka mempunyai negara berukuran seluas benua juga masyarakatnya telah mengenal tekhnologi pelayaran, perdagangan, menguasai ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi, dengan kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga.
Selanjutnya diceritakan bangsa Atlantis ini mula mula adalah bangsa yang terhormat dan pandai dengan kepandaian yang di miliki Bangsa Atlantis mereka menjadi hidup makmur dan kaya, mereka hidup penuh dengan kemegahan, kemudian berubah menjadi ambisius dan menetapkan aturan sesuai kehendak nafsu dan keinginan mereka sendiri. Yang kuasa kemudian menghukum mereka dengan mendatangkan banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi yang sedemikian dahsyatnya sehingga menenggelamkan seluruh
Kerajaan Atlantis adalah kerajaan termegah yang pernah ada di dunia, kerajaan ini di hiasi dengan emas, sehingga para sarjana arkeolog memberikan sebutan kerajaan Atlantis dengan kerajaan emas.
Sebagian ilmuan mengganggap cerita Atlantis ini sebagai mitos belaka, sebagian ilmuan lainnya tergerak kepenasarannya untuk melakukan penelitian tentang benar tidaknya tentang keberadaan Kerajaan Atlantis.
Timaeus dan Critias adalah sebuah buku yang ditulis dalam rupa dialog yang terjadi antara Timaeus, Critias, Hermocrates dan Socrates. Dalam buku itu, kisah Atlantis diceritakan oleh Critias yang mendengar kisah itu dari kakeknya yang juga bernama Critias. Sedangkan Critias (sang kakek) mendengarnya dari Solon. Dan Solon mendengarnya dari para pendeta Mesir.
Kalau dulu perbedaan pendapat itu mengenai Percaya atau tidak percaya, sekarang perbedaan pendapat dari ilmuan ilmuan yang percaya, adalah perbedaan pendapat mengenai letak atau tempat kerajaan Atlantis itu berada.
DIMANAKAH LETAKNYA
Yang lebih menghebohkan lagi adalah penelitian yang dilakukan oleh Aryso Santos, seorang ilmuwan asal
Prof. Santos mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama 29 tahun terakhir ini. Ilmu yang digunakan
“Pencarian dilakukan di Samudera Atlantik, Laut Tengah, Karibia, sampai ke kutub Utara. Pencarian ini sama sekali tidak ada hasilnya, sehingga sebagian orang beranggapan bahwa yang diceritakan Plato itu hanyalah negeri dongeng semata” Profesor Santos yang ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah. “ Lokasi yang benar secara menyakinkan adalah Indonesi”, katanya..
Kemudian Santos mengutip bukunya Plato yang menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu. Padahal zaman pada waktu itu adalah Zaman Es, dimana temperatur bumi secara menyeluruh adalah kira-kira 15 derajat Celcius lebih dingin dari sekarang.
Lokasi yang bermandi sinar matahari pada waktu itu hanyalah
Selanjutnya Santos masih dalam bukunya Plato menyebutkan bahwa luas benua Atlantis yang hilang itu “….lebih besar dari Lybia (Afrika Utara) dan Asia Kecil digabung jadi satu…”. Luas ini persis sama dengan luas kawasan
Menurut Santos, ukuran waktu yang diberikan Plato 11.600 tahun BP (Before Present), secara tepat bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es Pleistocene, yang juga menimbulkan bencana banjir dan gempa yang sangat hebat.
Bencana ini menyebabkan punahnya 70% dari species mamalia yang hidup saat itu, termasuk kemungkinan juga dua species manusia : Neandertal dan Cro-Magnon.
Sebelum terjadinya bencana banjir itu, pulau Sumatera, pulau Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara masih menyatu dengan semenanjung
Posisi Indonesia terletak pada 3 lempeng tektonis yang saling menekan, yang menimbulkan sederetan gunung berapi mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan terus ke Utara sampai ke Filipina yang merupakan bagian dari ‘Ring of Fire’.
Gunung utama yang disebutkan oleh
Bencana alam beruntun ini menurut
Letusan ini menimbulkan tsunami dengan gelombang laut yang sangat tinggi, yang kemudian menutupi dataran-dataran rendah diantara Sumatera dengan Semenanjung Malaysia, diantara Jawa dan Kalimantan, dan antara Sumatera dan Kalimantan. Abu hasil letusan gunung Krakatau yang berupa ‘fly-ash’ naik tinggi ke udara dan ditiup angin ke seluruh bagian dunia yang pada masa itu sebagian besar masih ditutup es (Zaman Es Pleistocene) .
Menurut Profesor Santos, para ahli yang umumnya berasal dari Barat, berkeyakinan teguh bahwa peradaban manusia berasal dari dunia mereka. Tapi realitas menunjukkan bahwa Atlantis berada di bawah perairan
Walau dikisahkan dalam bahasa mereka masing-masing, ternyata istilah-istilah yang digunakan banyak yang merujuk ke hal atau kejadian yang sama.
Semua suku bangsa ini sebelumya berasal dari Afrika 3 juta tahun yang lalu, yang kemudian menyebar ke seluruh Eurasia dan ke Timur sampai Auatralia lebih kurang 1 juta tahun yang lalu. Di Indonesia mereka menemukan kondisi alam yang ideal untuk berkembang, yang menumbuhkan pengetahuan tentang pertanian serta peradaban secara menyeluruh. Ini terjadi pada zaman Pleistocene.
Pada Zaman Es itu, Atlantis adalah surga tropis dengan padang-padang yang indah, gunung, batu-batu mulia, metal berbagai jenis, parfum, sungai, danau, saluran irigasi, pertanian yang sangat produktif, istana emas dengan dinding-dinding perak, gajah, dan bermacam hewan liar lainnya. Menurut Santos, hanya Indonesialah yang sekaya ini (!). Ketika bencana yang diceritakan diatas terjadi, dimana air laut naik setinggi kira-kira 130 meter, penduduk Atlantis yang selamat terpaksa keluar dan pindah ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, dan Amerika.
Suku Aryan yang bermigrasi ke
Catatan terbaik dari tenggelamnya benua Atlantis ini dicatat di
Suku Dravidas yang berkulit lebih gelap tetap tinggal di
Dari Indonesialah lahir bibit-bibit peradaban yang kemudian berkembang menjadi budaya lembah Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Junani, Minoan, Crete, Roma, Inka, Maya, Aztek, dan lain-lain. Budaya-budaya ini mengenal mitos yang sangat mirip. Nama Atlantis diberbagai suku bangsa disebut sebagai Tala, Attala, Patala, Talatala,
Itulah ringkasan teori Profesor Santos yang ingin membuktikan bahwa benua atlantis yang hilang itu sebenarnya berada di
Untuk bisa menghubung-hubungkan antara
1. Tanah Atlantis adalah tanah yang terbaik di dunia dan karenanya mampu menampung pasukan dalam jumlah besar (Critias)
2. Tanah ini juga mendapatkan keuntungan dari curah hujan tahunan, memiliki persedian yang melimpah di semua tempat (Cristias)
3. Orichalcum ( Tembaga dan Kuningan ) bisa di gali dibanyak wilayah di pulau itu. Pada masa itu Orichalcum lebih berharga dibanding benda berharga apapun kecuali emas. Di pulau itu juga banyak terdapat kayu untuk pekerjaan para tukang dan cukup banyak persedian untuk hewan-hewan ternak ataupun hewan liar, yang hidup di sungai ataupun darat, yang hidup di gunung ataupin daratan. Bahkan di pulau itu juga terdapat banyak gajah.(Cristias)
4. Kekuatan ini datang dari samudra Atlantik. Pada waktu itu, samudra Atlantik dapat dilayari dan ada sebuah pulau yang terletak di hadapan selat yang engkau sebut pilar-pilar hercules. Pulau itu lebih luas dibandingkan dengan gabungan Libya dan Asiakecil dan pilar-pilar ini juga merupakan pintu masuk ke pulau-pulau lain di sekitarnya, dan dari pulau-pulau itu engkau dapat sampai ke seluruh benua yang menjadi pembats laut Atlantik. Laut yang ada di dalam pilar-pilar Hercules hanyalah seperti debuah pelabuhan yang memiliki pintu masuk yang sempit. namun laut yang di luarnya dalah laut yang sesungguhnya, dan benua yang mengelilinginya dapat di sebut benua tanpa batas. Di wilayah Atlantis ini, ada sebuah kerajaan besar yang memerintah keseluruhan pulau dan pulau lain di sekitarnya serta sebagian wilayah di benua lainnya. (Timaeus)
5. Di tengah tengah pulau itu ada sebuah daratan yang dianggap terbaik dan memiliki tanah yang subur…(Cristias)
6. Banyak air bah yang telah terjadi selama 9000 tahun, yaitu jumlah tahun yang telah terjadi, yaitu jumlah tahun yang telah terjadi ketika aku berbicara. Dan selam waktu itu juga terjadi banyak perubahan. Tidak pernah terjadi dalam sejarah begitu banyak akumulasi tanah yang jatuh dari pegunungan di satu wilayah. Namun tanah telah berjatuhan dan menimbun wilayah Atlantis dan menutupinya dari pandangan mata.”
7. Karena hanya dalam semalam, hujan yang luar biasa lebat menyapu bumi dan pada saat yang bersamaan terjadi gempa bumi. Lalu muncul air bah yang menggenang seluruh wilayah.” (Critias)
8. “Masing-masing daratan memiliki sirkumferen yang berjarak sama dari tengah pulau tersebut. Jadi tidak ada satu orang dan satu kapalpun yang dapat mencapai pulau itu. Poseidon lalu membuat dua mata air di tengah-tengah pulau, satu air hangat dan satu lagi air dingin. ia juga membuat berbagai macam makanan muncul dari tanah yang subur.” (Critias)
9. Pasukan yang satu dipimpin oleh kota-kota Athena. Di pihak lain, pasukannya dipimpin langsung oleh raja-raja dari Atlantis, yaitu seperti yang telah aku jelaskan, sebuah pulau yang lebih besar dibanding gabungan Libya dan Asia, yang kemudian dihancurkan oleh sebuah gempa bumi dan menjadi tumpukan lumpur yang menjadi penghalang bagi para penjelajah yang berlayar ke bagian samudera yang lain. (Critias)