Rabu, 07 April 2010

MENGENAL DAN MENGENANG TAN MALAKA


Tan Malaka (lengkapnya Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka) lahir di Suluki, Nagari Pandan Gadang, Sumatera Barat dengan nama Ibrahim. Menurut Harry A. Peoze, tahun kelahiran Tan Malaka secara tepat tidak diketahui. Pada waktu itu belum ada register (daftar) penduduk bagi orang Indonesia. Peoze menemukan data tahun kelahiran Tan Malaka yang berbeda: 1893, 1894, 1895, 2 Juni 1896, 2 Juni 1897, dan 1897. Ia sendiri mengatakan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1894, dan pada tahun 1896. Poeze cenderung untuk menganggap tahun 1897 sebagai tahun kelahiran Tan Malaka yang paling tepat; melihat fakta bahwa pada tahun 1903 ia mengikuti pendidikan di sekolah rendah. Maka, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa ketika itu ia berusia kurang lebih 6 tahun. Tan Malaka menyatakan bahwa keluarganya beragama Islam dan beradat asli Minangkabau. Ia lahir dalam kultur yang peduli terhadap pendidikan dan memiliki tradisi keagamaan yang kuat. Keluarganya adalah tergolong taat kepada agama Islam.Tan Malaka memiliki beberapa nama dalam perjalanan hidupnya baik di dalam maupun luar negeri dengan alasan, karena nama Tan Malaka sudah dikenal di seluruh Sumatera dan pemerintah Belanda, nama tersebut tidak dapat mengadakan perjalanan dan juga untuk menyembunyikan identitas. Ketika memasuki Manila dan Hongkong (1927) Tan Malaka merubah namanya menjadi Elias Fuente. Bernama Oong Soong Lee ketika memasuki Hongkong dari Sanghai (1932), Ramli Husein saat kembali ke Indonesia dari Singapura melalui Penang terus ke Medan, Padang dan Jakarta (1942). Ketika berada di Bayah (Banten), Jawa Barat sebagai pekerja yang membantu romusha di masa revolusi, ia menggunakan nama Ilyas Husein. Namanya yang lain Cheng Kun, Tat, Elisoe, dan Howard Law. Extille adakalanya ditambah dengan Kiang Mai. Ketika menulis karangan untuk pers Komunis, harian Njali yang terbit di Batavia sejak bulan September 1925 sampai Mei 1926.Ia menggunakan, Haji Hasan dalam beberapa surat-surat yang ditulis buat kawan-kawannya, dan nama Nadir. Tan Malaka menyamar sebagai Tan Ho Seng, ketika belajar dan bekerja sebagai guru bahasa di Nanyang Chinese Normal School, Singapura. Adapun riwayat hidup Tan Malaka secara urutan waktu, sebagai berikut: 1897 Tan Malaka lahir, bermain dan sekolah di Kweekschool.1913 Setelah tamat Kweekschool Bukit Tinggi, atas bantuan gurunya dengan pinjaman biaya dari Engkufonds, meneruskan pelajarannya ke Rijks Kkweekschool di Haarlem, Nederland. Selain menuntut ilmu di sekolah, beliau sudah aktif mempelajari keadaan masyarakat Eropa sejak meletus dan selesainya Perang Dunia ke-1 (1914-1918) serta pecah dan selesainya Revolusi Sosial di Rusia (Oktober 1917) yang bersambung dengan mulai berdiri dan mengumandangnya suara Internasionale III. 1918 Atas permintaan Ki Hadjar Dewantara yang mendatangi Tan Malaka bersama Dr. Gunawan di Nederland, mewakili Indische Vereeniging, dalam Kongres Pemuda Indonesia dan Pelajar Indologie di Deventer, memberikan prae-advies tentang pergerakan Nasional. 1919 Kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru sekolah untuk anak-anak kaum buruh perkebunan Senembah, di Sumatera Timur. 1921 Terjun dalam lapangan pendidikan rakyat yang didirikan oleh Serikat Islam Semarang, dan VSTP (Serikat Buruh Kereta Api) yang dipimpin oleh Semaun di Semarang. - Tan Malaka menjadi penganjur utama tentang pentingnya persatuan antara kaum Komunis dan Islam dalam menentang kolonialisme/imperialisme. Hal ini dikemukakan dalam sebuah rapat SI di Semarang bersama dengan Semaun. - Tan Malaka menjadi Wakil Ketua Serikat Buruh Pelikan (Tambang) Cepu yang didirikan oleh Semaun. - Dalam Kongres PKI dipilih menjadi ketua, mewakili Semaun yang sedang berada di luar negeri (Moskow), di dalam Kongres beliau berpidato tentang pentingnya Persatuan Islam-Komunis dan memperingatkan bahayanya politik ‘pecah & adu’ (devide et impera) yang di kala itu sedang digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk melumpuhkan gerakan-gerakan rakyat Indonesia. Ide Tan Malaka tersebut mendapat dukungan penuh dari seorang tokoh SI, Kyai Tubagus Hadikusumo. 1922 Tan Malaka mewakili Vaksentral-Revolusioner pemimpin pemogokan kaum buruh penggadaian (PPPB) di Jogjakarta dan mengatur solidaritas serta aksi yang dilancarkan oleh serikat buruh anggota Vaksentral-Revolusioner (VSTP., Pelabuhan, Pelikan, Gula, dan lainnya). - Tanggal 2 Maret ia ditangkap dan dibuang ke Kupang (Timur), kemudian dalam bulan itu juga mendapat externing ke Eropa (Nederland). Tan Malaka ditangkap dan diasingkan pemerintah kolonial ke luar negeri. Dari Belanda, ia pergi ke Moskow (Uni Sovyet) melalui Polandia. Ia dikejar-kejar intel dan spionase kolonial Belanda, Inggris, Jepang, Amerika Serikat, Perancis, rezim nasionalis Kumintang. Di mata mereka, Tan Malaka adalah buronan politik “kaliber kakap.” - Berbicara dalam Perayaan 1 Mei yang diselenggarkan oleh kaum buruh dan Partai Komunis Holland (CPH), kemudian dipilih sebagai calon dalam pemilihan umum parlemen. - Menuju Jerman dan terjun langsung di tengah-tengah rakyat Jerman yang masih dalam keadaan penderitaan hidup karena harus menanggung seluruh hutang perang Serikat yang dibebankan kepada rakyat Jerman sebagai negeri kalah perang (Perang Dunia ke-1, tahun 1914-1918).Me wakili Indonesia dalam Kongres Komunis Internasional (Komintern) IV, kemudian diangkat sebagai Wakil Komintern di Asia dan berkedudukan di Canton, di mana daerahnya meliputi Seksi-seksi Partai Komunis yang sudah ada atau akan didirikan di daerah ‘Selatan’ yang oleh Tan Malaka disebut ASLIA ialah: Burma, Siam, Annam, Filipina, Malaya dan Indonesia. Berhasil bertemu dengan Dr. Sun Yat Sen, Presiden Republik Tiongkok pertama yang daerahnya waktu itu baru meliputi Tiongkok Selatan berpusat di Yenan. 1924 Diangkat sebagai Ketua Biro Buruh Lalu Lintas dalam sebuah Konferensi Pan-Fasifik yang diselenggarakan oleh utusan-utusan Komintern dan Provintern (Serikat Sekerja Internasional Merah) yang dikunjungi oleh utusan-utusan dari Tiongkok Utara & Selatan, Indonesia dan Filipina. - Memimpin Majalah berbahasa Inggris The Dawn (Fajar) sebagai suara dari Biro tersebut. 1925 Masuk Filipina dengan nama Elias Fuentes dan berhasil menghubungi salah seorang sahabat Semaun di sana, selanjutnya mendorong didirikannya Partai Komunis Filipina. 1926 Masuk Singapura dengan nama Hasan Gozali, bertemu dengan Subakat, Sugono dan Djamaluddin Tamim yang berhasil meloloskan diri dari Indonesia. 1927 Bersama Subakat, Sugono dan Djamaluddin Tamim mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) untuk meluncurkan kembali langkah-langkah menyusun kekuatan Partai Komunis di Indonesia yang lumpuh akibat pemberontakan Madiun pada akhir tahun 1926. - Masuk lagi ke Filipina tetapi tertangkap oleh Dinas Rahasia Amerika, di mana dalam perkara tersebut Tan Malaka dibela oleh parlemen dan presiden pertama Republik Filipina, Manuel Quezon. hakim Filipina atas permintaan pemerintah Amerika memutuskan mengeluarkan Tan Malaka dari Filipina ke Amoy. 1932 Berhasil masuk Hongkong dengan nama Ong Soong Lee, kemudian tertangkap oleh Polisi Rahasia Inggris. Setelah lebih kurang 2 ½ bulan ditahan dalam penjara Hongkong, Tan Malaka mendapat keputusan dikeluarkan ke Syanghai. 1936 Mendirikan dan mengajar pada School for Foreign Languages di Amoy, Cina. 1937 Ketika Jepang mulai mengarahkan serangannya menuju Amoy, Tan Malaka masuk Burma kemudian ke Singapura, bekerja sebagai guru bahasa Inggris di Sekolah Menengah Tinggi Singapura. 1942 Setelah mengalami pertempuran-pertempuran di sekitar Benteng Seletar antara tentara Jepang dan Inggris di Singapura, Tan Malaka masuk Penang menuju Medan, Padang dan akhirnya tiba di Jakarta. 1943 Menulis buku dan menyusun kekuatan di bawah tanah (ilegal) dengan merupakan dirinya sebagai buruh (roomusha) pada tambang batu bara di Bayah (Banten) dengan nama Husein, mengikuti jalannya tempo untuk dicetuskannya kelahiran Republik Indonesia Merdeka melalui revolusi. 1945 Pendorong para pemuda yang bekerja di bawah tanah di waktu pendudukan Jepang (Sukarni, Chairul Saleh, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Maruto, dan lain-lain) untuk mencetuskan revolusi yang kemudian terjadi dengan Proklamasi Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. 1946 Promotor Persatuan Perjuangan yang mengikatkan persatuan antara sejumlah 141 organisasi terdiri dari pimpinan partai, serikat-serikat buruh, pemuda, wanita, tentara, laskar dan lain-lain, di atas dasar program revolusi yang dikenal dengan nama 7 Pasal Minimum Program, menolak politik kompromi dengan imperialis Belanda yang dimulai dengan politik 1 November dan 3 November 1945. 1947 Menentang politik kompromi Linggarjati tahun 1947. 1948 Menentang politik kompromi Renville tahun 1948. - Pendiri Partai Murba yang melanjutkan Program Persatuan Perjuangan. - Pendiri Gerilya Pembela Proklamasi (GPP) yang berpusat di Jawa Timur. 1949 Tangggal 19 Februari hilang karena diciderai (ditembak mati dan jenazahnya dilempar ke sungai Brantas) di Kediri, Jawa Timur, di saat beliau sedang memimpin revolusi melawan agresi Belanda, di saat itu pula para pemimpin pemerintahan pusat di Jogja sudah banyak yang ditangkap dan ditawan Belanda.Tan Malaka mati terbunuh di hadapan senapan sekelompok tentara republik sendiri atas perintah gubernur militer Jawa Timur.
Karya-karya Tan Malaka Tan Malaka termasuk penulis yang cukup produktif dalam menuangkan alam pikirannya. Berikut ini adalah karya-karyanya:

1. Materialisme-Dialektika-Logika (Madilog) Tebal kitab ini, 462 halaman, yang ditulis di Rajawati, dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta dengan waktu yang dipakai lebih kurang 8 bulan, dari 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943 (berhenti 15 hari), 720 jam. Jadi, menurut Tan Malaka, kira-kira 3 jam sehari. Dalam seminggu empat hari ia pergunakan untuk menulis, yaitu dari pukul 6 sampai pukul 12. Setelah itu berjalan-jalan di desa. Tiga kali seminggu ke perpustakaan di Gambir dengan berjalan kaki yang memakan waktu 4 jam. Kitab ini ditulisnya dengan tulisan tangan dengan hurup kecil supaya aman dari mata polisi dan tongkat kempetai Jepang. Tidak ada catatan bahan referensi, karena buku-bukunya telantar cerai berai dan lapuk atau hilang di berbagai tempat atau negara, - walaupun demikian menjelang habis Madilog ditulis, ia berjumpa dengan beberapa buku tentang logika dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Spanyol- sehingga ia mengandalkan ingatan Tan Malaka; jembatan keledai (ezelbruggetje). Maksud penulisan Madilog menurut Tan Malaka, adalah pertama sebagai cara berpikir. Bukanlah suatu Weltanschauung atau pandangan dunia; walaupun, menurutnya, hubungan antara cara berpikir dan pandangan dunia atau filsafat adalah seperti tangga dengan rumah. Rapat sekali. Dari cara orang berpikir, dapat diduga filsafatnya dan dari filsafatnya dapat diketahui dengan cara dan metode apa sehingga sampai ke filsafat itu. Kedua, Madilog juga diharapkannya sebagai bacaan penghubung kepada filsafat proletar Barat. Karena, menurutnya, otak proletar Indonesia tak bisa mencernakan paham yang berurat dan tumbuh pada masyarakat Barat yang berbeda sekali dengan masyarakat Indonesia dalam iklim, sejarah, keadaan jiwa dan cita-citanya. Ketiga, untuk mengupas dan mengobati penyakit penjajahan, keterbelakangan dan kolonialisme, Tan Malaka menyajikan landasan pandangan yang beralaskan pada materialisme, dialektika dan logika. yang dituangkannya dalam sebuah buku Madilog. Dari sinilah kemudian, Tan Malaka memandang realitas lokal, nasional dan internasional dalam aneka lini kehidupan, termasuk di dalamnya keberadaan agama yang ia masukkan ke dalam kelompok kepercayaan. Karya terbesar dari Tan Malaka ini diniatkannya sebagai upaya untuk merombak sistem berpikir bangsa Indonesia, dari pola berpikir yang penuh dengan mistik kepada satu cara berpikir yang rasional. Tanpa perombakan cara berpikir, sulit rasanya bangsa Indonesia untuk maju dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialistik. MADILOG sebagai konsep berpikir yang memadukan ketiga unsurnya, yaitu MAterialisme, DIalektika dan LOGika, merupakan kesatuan dan tidak boleh dipecah-pecah.

2. Dari Pendjara ke Pendjara Ditulis tahun 1946-1947 di penjara Ponorogo. Berisi tentang riwayat hidup (otobiografi). Ia menguraikan perjalanannya dari suatu negara ke negara lain untuk menghindar dari kejaran agen-agen kolonial. Ia juga memaparkan pandangan tentang kepercayaan, filsafat dan tentang negara. Dari buku inilah kebanyakan para pemerhati mendapat gambaran kehidupan Tan Malaka yang revolusioner.

3. Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) Ditulis di penjara Madiun 1948. Berisi tentang ajarannya dalam melakukan gerilya politik maupun ekonomi. Uraian tentang cara bergerilya dalam politik dengan strategi militer, maupun dengan penguatan ekonomi dengan merebut seluruh kekayaan asing. Keduanya menjadi satu dan saling menguatkan.

4. Sovyet atau Parlemen Ditulis tahun 1921 di Semarang. Berisi tentang uraian sistem pemerintahan yang dikenal saat itu seperti sistem parlemen di Inggris mulai abad ke-12, juga di Perancis, Jerman dan lain-lain. Intinya menurut Tan Malaka, parlemen dengan sistem perwakilan yang dikenalnya hanya akan menjadi perkakas dari yang memerintah. Bersamaan dengan mulai menguatnya kapitalisme dengan ujung imperialisme, parlemen pada akhirnya hanyalah alat dari kapitalisme. Kemudian dengan tegas Tan Malaka membedakan parlemen dengan sovyet (Dewan Rakyat) yang menurutnya parlemen adalah alat untuk mengekalkan perburuhan dan kapitalisme, sedangkan sovyet (Dewan Rakyat) adalah alat sementara guna menghilangkan pengaruh kapitalisme (modal) untuk mendatangkan sosialisme.

5. Toendoek Kepada Kekoesaan, Tetapi Tidak Toendoek Kepada Kebenaran Ditulis di Berlin tahun 1922. Berisi tentang pembelaannya ketika ditangkap di Bandung tanggal 13 Februari 1922 dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum, membuat keonaran dan yang terberat adalah adalah usaha menggerakkan rakyat untuk mengadakan pemberontakan guna mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia. Ia menyatakan bahwa tuduhan itu tidak benar dan penguasa kolonial hanya berusaha untuk mematikan aktivitas pergerakan nasional saat itu.

6. Goetji Wasiat Kaoem Militer Ditulis tahun 1924 di Saigon. Diterbitkan dengan nama Sumendap dan Daniel, tetapi menurut Poeze mungkin ditulis Tan Malaka.

7. Indonesiai ejo mesto na proboezjdajoesjtsjemsja vostoke Diterbitkan di Moskow tahun 1924. Pada brosur ini tertulis Sukindat, tetapi menurut Poeze mungkin ditulis Tan Malaka. Poeze mengatakan, brosur ini berisi tentang thesis bagi keadaan sosial dan ekonomi serta tuntutan untuk berorganisasi yang mengembangkan strategi dan taktik untuk diterapkan di Indonesia.

8. Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) Diterbitkan di Canton, April 1925. Berisi tentang uraiannya akan kondisi dunia, pertentangan dua sistem antara kapitalisme dan komunisme yang diyakininya akan dimenangkan oleh komunisme. Dilanjutkan dengan dengan situasi di Indonesia di mana penjajah Belanda melakukan penjajahan dengan biadab, namun Tan Malaka yakin suatu saat penjajah akan kalah apabila semua organisasi perjuangan yang ada terutama PKI, dapat menyusun tujuan revolusionernya.

9. Massa Actie Ditulis di Singapura tahun 1926. Secara umum brosur ini berisi tuntutan bagaimana melakukan sebuah revolusi di Indonesia. Sebuah revolusi terutama di Jawa dan Sumatera adalah sesuatu yang tak dapat dihindarkan. Baginya tidak ada sikap yang netral, yang ada adalah berpihak pada penjajah Belanda atau rakyat terjajah Indonesia. Dari sini kemudian baru Tan Malaka beralih pada bagaimana menjalankan revolusi yang benar, dan massa aksi bukan putch, tidak bisa dicapai oleh pemberontakan atau kudeta secara anarkis.

10. Manifesto PARI (Manifesto Bangkok) Ditulis di Bangkok 1927. Berisi uraian tentang perlunya membentuk partai baru dan menamakannya PARI (Paratai Republik Indonesia) yang dibentuk semata-mata untuk kepentingan Indonesia serta akan memberikan yang terbaik untuk itu. Manifesto ini mengoreksi kesalahan PKI, yaitu pemberontakan 1926/1927 yang menyebabkan hancurnya partai dan mereka tidak bermaksud memunculkan partai ini lagi, karena beranggapan tidak mungkin jika mendirikan partai-partai yang telah melakukan cukup kesalahan. Kemudian manifesto juga menyatakan pemutusan dengan Internasionale (Comintren) yang menurutnya tidak akan baik di Indonesia. Dengan mengambil contoh
dari Jerman, Italia, Bulgaria dan China dinyatakannya kepemimpinan Moscow gagal untuk negeri lain. Seluruh Internasionale Ketiga (Comintern) dibangun demi kepentingan Rusia dan terutama pemimpin-pemimpin komunis dari Timur cenderung akan terjebak kepada ketaatan buta dan kehilangan kemandirian mereka, akibatnya mereka akan kehilangan hubungan dengan rakyat mereka sendiri yang tentunya berlainan dengan suasana kejiwaan rakyat Rusia.

11. Lokal dan Nasional Aksi di Indonesia Diterbitkan di Singapura 1926. Menurut Poeze, brosur ini diterbitkan dalam bagian yang terpisah, secara rahasia disebabkan dengan cara menyalinnya dengan mesin ketik. Bagian pertama dikenal juga dengan judul “Soerat Rahasia boeat lokal aksi di Minangkabau”, 20 September 1926.

12. SI Semarang dan Onderwijs Ditulis di Semarang tahun 1921 pada saat Tan Malaka berusaha merumuskan tujuan pendidikan dari sekolah Serikat Islam yang mulai dibangunnya (dikenal juga dengan sekolah Tan Malaka). Berisi pokok-pokok pikiran yang akan dikembangkan/diajarkan dalam sekolahnya.

13. Asia Bergabung (Gabungan Aslia) Ditulis tahun 1943. Menurut Poeze hanya selesai separuh.

14. Semangat Moeda Ditulis di Manila tahun 1926, namun oleh Tan Malaka dikatakan di Tokyo sebagai tempat penerbitannya.

15. Politik Ditulis di Surabaya pada tanggal 24 November 1945. Berisi tentang percakapan antara Godam (simbolisasi kaum buruh), Pacul (petani), Toke (pedagang), Den Mas (ningrat) dan Mr. Apal (wakil kaum intelektual). Menguraikan tentang bagaimana caranya merdeka, maksud dan tujuan kemerdekaan, serta bagaimana mengisi kemerdekaan itu dan yang tak kalah penting adalah Indonesia Merdeka harus berdasarkan sosialisme.

16. Rentjana Ekonomi Ditulis di Surabaya pada tanggal 28 November 1945. Berisi tentang percakapan dengan simbolisasi yang sama seperti yang ada dalam politik. Menguraikan tentang rencana pembangunan ekonomi, yang menurutnya ekonomi sosialislah yang dapat membawa kemakmuran bagi Indonesia kelak. 1. Moeslihat
Ditulis di Surabaya pada tanggal 2 Desember 1945. Berisi tentang percakapan dengan simbolisasi yang sama seperti yang ada dalam politik. Menguraikan tentang strategi dan taktik dalam perjuangan untuk membawa Indonesia ke arah kemerdekaan.


17 Manifesto PARI (Manifesto Jakarta) Ditulis di Jakarta tahun 1945. Menguraikan tentang pertentangan sistem yang ada di dunia, antara kapitalisme dengan komunisme yang menurutnya akan dimenangkan oleh komunisme serta penolakan atas percobaan pendirian Republik Indonesia yang kapitalis dan membatalkan semua upaya dari luar untuk menjajah kembali Indonesia dengan cara apa pun.

18 Thesis Ditulis tahun 1946 di Lawu. Berisi tentang ajarannya mengenai pembentukan negara sosialistis. Uraian tentang perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia seratus persen. Juga pembelaannya terhadap tuduhan Trotsky yang selalu dituduhkan kepadanya, berkenaan dengan pemberontakan PKI 1926 yang gagal dan oleh pihak PKI kegagalan itu selalu dialamatkan kepada Tan Malaka sebagai orang yang menyabotnya.

19. Koehandel Di Kaliurang (Perdagangan Sapi di Kaliurang) Ditulis tanggal 16 April 1948 dengan nama samaran Dasuki. Berisi tentang penolakan terhadap perjuangan diplomasi yang tidak berprinsip, yang dilakukan oleh pemerintah saat itu. Perjuangan lewat diplomasi hanya akan merugikan Indonesia dan menjual Indonesia kepada kaum kapital asing, oleh karena itu perundingan harus dibatalkan atau dihandel dan mempersiapkan kaum MURBA untuk berjuang.

20. Surat Kepada Partai Rakyat Ditulis 31 Juli 1948 di penjara Magelang sebagai sambutan tertulis dalam pembentukan Kongres Partai Rakyat tanggal 10-11-12 Agustus 1948. berisi tentang bagaimana mengorganisasikan Partai Rakyat agar menjadi partai yang memperhatikan dan memperjuangkan rakyat MURBA.

21. Proklamasi 17-8-1945, Isi dan Pelaksanaannya Pidato tertulis pada Kongres Rakyat Indonesia Desember 1948. Berisi tentang penolakan perundingan yang dilakukan Indonesia saat itu dan persiapan perang kemerdekaan dalam menghadapi agresi militer Belanda.

22. Uraian Mendadak Merupakan salinan tertulis dari pidato yang diucapkan di depan Kongres peleburan tiga partai (Partai Rakyat, Partai Buruh, dan Partai Rakyat Jelata) menjadi Partai Murba. Berisi tentang reorganisasi partai dan uraian untuk tetap mempertahankan Republik Proklamasi 17 Agustus 1945.
Karya-karya tulis Tan Malaka meliputi semua bidang kemasyarakatan dan kenegaraan-politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran, terlihat benang putih keilmiahan dan ke-Indonesiaan, serta benang merah orsinalitas, kemandirian, kekonsekuenan, dan konsistensi yang direnda jelas dalam gagasan-gagasannya dan perjuangan implementasinya dalam rumusan konsepsional dan penjabaran operasionalnya. Setting Sosial Politik Tan Malaka Latar kehidupan Tan Malaka berada dalam ruang dan waktu dengan sosiopolitikkultural yang melingkupinya. Paling tidak, ada tiga situasi dan kondisi penting yang mewarnai pandangan serta perjalanan hidup Tan Malaka yaitu, keadaan internasional, Minangkabau dan alam pikir Barat. Pertama. Keadaan internasional. Menurut Tan Malaka: Tahun 1918, terjadi perjanjian Versailles. Pada waktu itu dunia sedang gemuruh. Satu negara besar dan baru dalam di segala-gala timbul, ialah Sovyet Rusia. Pada jaman itu saya masih muda, masih belajar di Eropa Barat. Dalam usia Sturm und Drang periode itu, dalam usia sedang bergelora itu saya dilondong topan yang bertiup dari Eropa Timur itu. Dunia Barat sendiri pada masa itu seakan-akan mengikuti Sovyet Rusia. Dari dunia Eropa Timur itulah saya mendapatkan semua ilham dan petunjuk yang saya rasa perlu buat perjuangan politik, ekonomi dan sosial kita. Di bidang politik di Eropa, terjadi dampak pergolakan politik Pascaperang Dunia I di Eropa pada umumnya dan di Belanda pada khususnya. Revolusi Oktober 1917 di Rusia yang disusul oleh gerakan revolusioner kaum sosial-demokrat Belanda yang dipimpin oleh Troestra memberi inspirasi kepada unsur-unsur progresif Indonesia yang tergabung dalam ISDV untuk menuntut pemerintahan sendiri dan perwakilan hak-hak yang luas. Di bidang ekonomi, Perang Dunia I mengakibatkan kemacetan pengangkutan hasil perkebunan sehingga pengusaha perkebunan mengurangi produksinya sehingga berakibat rakyat banyak kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Penderitaan rakyat bertambah besar lebih-lebih karena gubernemen membebankan pajak yang lebih berat kepada rakyat. Perkembangan politik kolonial Belanda adalah politik kolonial konservatif (1800-1848), cultuurstelsel (1830-1870), permulaan politik kolonial liberal (1850-1870) dan politik ethis (1900), yakni edukasi, irigasi dan emigrasi. Tan Malaka lahir pada akhir abad ke-19, ketika diberlakukannya politik etis Belanda. Politik etis ini merupakan politik balas budi bangsa Belanda kepada Hindia Belanda oleh keuntungan yang diperolehnya selama dasawarsa-dasawarsa yang lalu. Kebijakan politik ini adalah terbukanya kesempatan yang makin luas di kalangan pribumi untuk memperoleh pendidikan modern ala Belanda. Pendidikan ini juga untuk memenuhi kebutuhan atas tenaga-tenaga terdidik untuk birokrasi. Dari sinilah munculnya beberapa intelektual muda yang bersentuhan dengan pemikiran Barat, termasuk tentang nasionalisme. Kedua, alam Minangkabau. Secara sosiologis, nagari -kesatuan masyarakat lokal dalam masyarakat Minangkabau- merupakan konsep kosmologis yang di dalamnya terkandung kehidupan religius yang bersifat kontemplatif transenden. Secara holistik, dalam nagari tidak saja diurus masalah teknis pemerintahan, malahan sampai pada hal-hal yang bersifat transenden seperti kehidupan surau. Surau pada jaman dahulu merupakan kelengkapan suku dan tempat berkumpulnya anak-anak muda serta remaja dalam upaya menimba ilmu pengetahuan. Surau sekaligus juga digunakan sebagai tidur bersama, membahas berbagai ilmu agama, dan juga dimanfaatkan sebagai tempat penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi oleh suku melalui musyawarah bersama yang merupakan inti demokrasi kultural nagari.Daerah Minangkabau pada permulaan abad ini mengenal tiga paham yang pada umumnya berpengaruh pada diri penduduknya. Ketiga paham itu adalah paham Islam, adat dan kolonialisme serta berbagai implikasi yang dikandungnya. Ketiganya mempunyai pendukung walaupun para pendukung ini juga terpengaruh oleh ketiganya. Bentrokan paham, negosiasi dan saling memanfaatkan dari interaksi pendukung tersebut sering terjadi. Daerah Minangkabau merupakan daerah terbuka dari lalu lintas dunia internasional untuk melakukan aktivitas politik, ekonomi, agama dan budaya. Sifat pragmatis dari sebagian penduduk cepat mengambil manfaat dari perkembangan yang berlaku. Kemudian dalam mengambil manfaat dari administrasi perdagangan, administrasi pemerintahan dan juga dalam bidang pendidikan. Bukit Tinggi menjadi pusat pendidikan se-Sumatera. Sekolah Raja, yaitu sekolah guru berbahasa Belanda (Kweekschool) yang berada di kota itu merupakan tempat melatih pada tingkat menengah anak-anak Indonesia dari seluruh Sumatera. Sekolah ini adalah tempat penampungan bagi anak-anak kalangan bangsawan dan orang-orang besar lainnya di pulau tersebut. Merantau merupakan bagian dari tradisi Minangkabau. Kedudukan perantau begitu mulia dalam masyarakat. Pergi merantau, menurut visi falsafah Minangkabau dapat membuka mata untuk mengenal dunia luar yang luas, di mana mereka akan mendapatkan hal-hal baru yang nanti akan dibawanya pulang. Merantau, bukanlah semata mencari uang atau harta, melainkan juga menuntut ilmu atau mengaji. Berdasarkan batasan ini, menurut Alfian, Tan Malaka adalah seorang perantau, baik fisik maupun mental (pemikiran). Rantau pertama yang dialami Tan Malaka ialah ketika dia meninggalkan desa tempat lahirnya pergi menuntut ilmu ke “Sekolah Raja” di Bukit Tinggi. Walaupun masih berada di alam Minangkabau, tapi alam asalnya adalah Nagari Pandan Gadang. Sewaktu dia tamat belajar di Bukit Tinggi, ia diberi gelar Datuk Tan Malaka oleh kaum atau sukunya, sebagai kepala adat mereka. Ini berkait erat dengan ilmu yang diperolehnya di rantau. Tidak lama sesudah itu, dia pergi lagi melanjutkan studinya ke negeri Belanda, perantauan yang amat jauh bagi anak muda yang baru berumur 16 tahun. Ruang lingkup alamnya lambat laun berubah dari Nagari Pandan Gadang yang kecil meluas menjadi Minangkabau dan kemudian Indonesia. Modal ini dikembangkan Tan Malaka untuk memahami dan menginterpretasikan permasalahan-permasalahan masyarakat Indonesia. Visi adat dan falsafah Minangkabau dari merantau untuk mengontraskan atau membandingkan dunia rantaunya dengan realitas alam asalnya, sehingga dapat melihat mana yang baik dan yang buruk dari keduanya. Hal ini mengundang orang berpikir kritis dan dialektis. Oleh karena itu kontradiksi atau konflik dianggap wajar, terutama karena suasana tersebut akan selalu dapat diintegrasikan atau diselesaikan secara memuaskan atau harmonis melalui proses pemilihan mana yang baik dan buruk dengan akal, yaitu kemampuan berpikir secara rasionil. Dengan demikian, visi itu mendorong orang untuk berpikir secara kritis, dinamis atau dialektis. Cara berpikir demikian dengan sendirinya menolak dogmatisme atau parokhialisme. Karena menolak dogmatisme, maka dengan sendirinya menghendaki kebebasan berpikir. Dalam perantauan, mental Tan Malaka berhasil melepaskan diri dari keterikatan terhadap salah satu dari berbagai corak nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang bercorak lain, berbobot dan orisinal. Ini karena mempunyai idealisme untuk membangun manusia dan masyarakat Indonesia baru, menghargai kebebasan berpikir dan memiliki sikap kritis yang tajam serta mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri yang kuat sehingga mendorong untuk memiliki keberanian mengembangkan pemikiran sendiri. Ketiga, alam pikir Barat. Pada usia sekitar 23 tahun, Tan Malaka mengalami pergulatan batin dan pikiran tentang agama yang bekaitan dengan mistik. Dalam satu suratnya Tan Malaka menulis untuk salah seorang temannya, Dick: “…aku pun masih mencari-cari, atau yang lebih tepat, masih menyelidiki. Aku sudah memilih arah pokok dalam kehidupan sosial dan agama, bila yang belakangan ini dapat kusebut demikian. Pertanyaan berikut kini sedang mendapat perhatianku: ‘Yang disebut kejadian di luar hukum alam (gaib) itu, apakah memang benar-benar ada?’ aku hidup di tengah bangsa yang gemar akan mistik. Hari ini atau lusa aku akan berjumpa dengan ahli mistik...” Tan Malaka memberikan penilaian terhadap agama dan pilihannya marxisme: “…gereja itu, Dick, benar-benar suatu organisai ekonomi…gereja Katolik kupandang sebagai eksploitasi kapitalistis yang paling rendah, karena nama tuhan dipakai. ...tentang Islam lebih baik kita diam saja. Dalam agama itu pun ajaran lebih penting daripada praktik. Setiap praktik kebanyakan masih diarahkan pada pemilihan harta benda, tercapainya kedudukan yang lebih baik, atau kekayaan. ….kulihat dengan kepalaku sendiri apakah artinya mistik Islam. Berhari-hari kuserahkan diriku kepada suatu bimbingan. Kesimpulan akhirnya adalah sebagai berikut: mistik itu mungkin sekali omong kosong saja, atau penipuan, atau kedua-duanya sekaligus. Ah, aku sungguh muak melihat penipuan itu di manapun agama menyelinap di dalam masyarakat! Bukannya aku menolak kebajikan itu sendiri yang juga menjadi tujuan, misalnya Islam. Tetapi itu berlaku pada jaman dulu sekali ketika Muhammad sendiri masih hidup sangat sederhana… ... Jadi, kebajikan dan perdamaian itu kupandang hanya mungkin dapat tercapai melalui revolusi. Begitulah seorang Marxis yang materialistis sesungguhnya mempunyai latar belakang yang idealistis...” Kelak pada perkembangan kehidupannya Tan Malaka memiliki pandangan bahwa Islam memiliki kekuatan revolusioner dan dapat menjadi alat untuk melawan kolonialisme dan imperialisme dengan melakukan pembelaan dan menganjurkan PKI untuk bekerja dengan terhadap Serikat Islam. Di bidang agama perhatiannya besar sekali pada soal-soal mistik: tetapi di bidang sosial ia sudah memilih gagasan komunisme. Kepergiannya ke negeri Belanda bisa disebut sebagai jendela awal perkenalannya pada dunia luar. Berkenalanlah dirinya dengan paham sosialisme dan menjadikannya berkenalan dengan pemikiran Nietzche dan karya-karya Th. C. Arlyle, yang membuatnya berada dalam semangat dan paham revolusioner.Tan Malaka menyerap secara kritis alam pikir Hegel, Lenin, Karl Marx, Engels dan Charles Darwin. Ini ditandai dengan banyaknya rujukan kepada tokoh-tokoh tersebut sebagai kerangka acuan pemikirannya, terutama dalam bukunya, Madilog. Selanjutnya adalah persentuhan pemikiran Tan Malaka dengan berbagai kalangan sampai para aktivis, pemikir dan tokoh dunia Barat. Dengan didukung modal minat, semangat
dan kecerdasan yang dimilikinya untuk belajar; jaringan pergaulan, berorganisasi ditambah kemampuan penguasaan bahasa yang banyak, menjadi bekal perjuangannya di dalam maupun luar negeri. Menurut pengakuan Tan Malaka, ia menguasai berbagai bahasa seperti, Belanda, Jerman, Inggris, Melayu, Jawa, Perancis, Tagalog, Siam, dan sedikit bahasa Cina. Dari kemampuan bahasa ini, Tan Malaka mendirikan sekolah bahasa di Amoy, School for Foreigen Languages yang berkembang pesat kemajuannya. Dari sebagian tulisannya, basis pandangan tentang realitas, Tan Malaka memilih menggunakan materialisme dan rasionalisme dan paham komunisme sebagai ideologi perjuangan politik, meski Tan Malaka melakukan penafsiran ulang demi penyesuaian situasi dan kondisi Indonesia. Alam pikir Barat berperan dalam perjalanan kehidupan Tan Malaka. Alam dan kerangka pikir Barat diselami, akan tetapi dalam penggunaannya disaring secara kritis dan dinamis. Dari latar keadaan internasional, adat Minangkabau dan alam pikir Barat, tidaklah aneh jika dia dijuluki nasionalis, sosialis dan komunis yang beragama Islam. Berikut beberapa komentar atas sosok Tan Malaka: Pokoknya di dalam sekujur tubuhnya mengalir sederas-derasnya, darah anti-Imperialisme, anti-Kolonialisme, sedang setiap denyut jantungnya membersihkan nafas perjuangan kemerdekaan Tanah Air dan Bangsanya. Saya kenal almarhum Tan Malaka. Saya baca semua ia punya tulisan-tulisan. Saya berbicara dengan beliau berjam-jam, dan selalu di dalam pembicaraan-pembicaraan saya dengan almarhum Tan Malaka ini, kecuali tampak bahwa Tan Malaka adalah pecinta tanah air dan bangsa Indonesia, ia adalah sosialis sepenuh-penuhnya. Tan Malaka adalah tokoh yang mewakili komunis di Timur Jauh. Ia adalah pemimpin komunis yang paling berhasil dan berpengalaman.Perjalanan hidup Tan Malaka, pahlawan kemerdekaan nasional Republik Indonesia ini, seringkali diwarnai kegulitaan dalam kesejarahannya. Seperti kepastian kapan Tan Malaka lahir dan kematiannya yang tragis; tidak ada kuburan Tan Malaka, rencana penyerahan kepemimpinan nasional dari Bung Karno kepada Tan Malaka, pandangan terhadap Tan Malaka hendak melakukan kudeta terhadap Soekarno-Hatta dan perpecahan di kalangan kader PKI hingga kematian Tan Malaka penuh teka-teki dan mengenaskan. Kemungkinan nama Tan Malaka berasal dari nama She China (suku Tan) seperti nama Tan Ho Seng, sedangkan nama Malaka dinisbahkan kepada Malaka, nama sebuah selat dan wilayah. Prof. Hamka mengulas seputar Malaka dalam Dari Perbendaharaan Lama, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), Cet. Ke-3, Muhammad Yusoff Hashim, Kesultanan Melayu Melaka, (Kuala Lumpur: Maziza Sdn. Bhd, 1990) pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963. Riwayat • Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda. • Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda. • Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik • Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai. • Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang. • Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda. Perjuangan Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat. Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda. Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta
ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya. Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar. Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh. Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”. Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI. Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan
penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun. Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925. Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…." Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu. Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya[1]. Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa
Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional. Tidak kurang dari 500 kilometer jarak ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah Pacitan, lalu ke Utara, sebelum akhirnya mereka, antara lain Amir Sjarifuddin, ditangkap di wilayah perbatasan yang dikuasai tentara Belanda. Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada ”Paduka Tuan” Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis ”saya menjamin keselamatan Pak Djoko”. Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun. Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Madilog Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia. Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya. LOGIKA SI MISTERIUS LELAKI berwajah tirus itu memiliki banyak nama alias: Ong Soong Lee, Elias Fuentes, Ramli Husein, Ilyas Husein, Cheng Kun Tat, Eliseo Rivera, dan Howard Law. Tentu bukan tanpa sebab bila Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka melakukan penyamaran. Nama-nama itu merupakan tameng pria kelahiran 2 Juni 1896 ini dari kejaran intel kolonial yang selalu memburunya. Dia juga kerap hidup berpindah tempat. Tidak mengherankan jika tak banyak orang mengenalnya secara dekat. Kisah tentang pria kelahiran Suliki, Sumatera Barat, itu pun kerap bercampur antara mitos dan fakta. Tak ubahnya cerita legenda yang banyak beredar di berbagai pelosok Tanah Air. Kendati kisah hidupnya menyimpan banyak misteri, tidak dengan karya intelektualnya. Sejak terjun ke dunia politik pada 1921 hingga kematiannya yang misterius pada 19 Februari 1949, sudah beberapa buku lahir dari tangannya, di antaranya Menuju Republik Indonesia (1925), Massa Actie (1926), Madilog (1943), dan Dari Penjara ke Penjara (1948). Menuju Republik Indonesia ditulis Tan Malaka saat berada di pembuangan dan menjadi salah seorang agen Komintern di Kanton, Cina. Ia menuangkan pemikirannya tentang program politik, ekonomi, sosial, dan militer yang diperlukan untuk memerdekakan Indonesia. Dalam Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka menuangkan pandangan dan perjalanan hidupnya. Berawal dari kepulangannya dari sekolah di Belanda sampai penangkapan dirinya di Madiun, 1948. Dari empat buku itu, Materialisme-Dialektika-Logika (Madilog) dianggap menempati posisi istimewa.
”Madilog memang merupakan karya terbaik Tan Malaka. Paling orisinal, berbobot, dan brilian,” tulis peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr Alfian (almarhum), dalam kata pengantar buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925 karya Harry A. Poeze. Madilog ditulis di sebuah rumah berdinding bilik bambu yang sudah reyot di Rawajati, Cililitan, Jakarta Timur. Penulisannya makan waktu kurang-lebih delapan bulan sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. Dalam buku Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian (LP3ES, 1988), Dr Alfian menyatakan, meski Tan Malaka kerap memakai terminologi Marxis-Leninis, yang ditekankannya adalah ”kekuatan ide sebagai perangsang perubahan sosial, bukan kekuatan dinamis dari pertentangan kelas”. Sementara Massa Actie merupakan kritik atas kegagalan pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926-1927, Madilog merupakan refleksi atas nasib buruk bangsa Indonesia yang dinilainya tak pernah keluar dari belenggu perbudakan. Sebelum diperbudak penjajah, bangsa ini juga diperbudak sistem feodal. Feodalisme ini yang menyebabkan orang takut atau malas berpikir dan mudah menyerah. Untuk keluar dari krisis, Tan Malaka menawarkan perubahan mental dengan mengembangkan pola pikir baru yang diperkenalkannya dengan formula materialisme-dialektika-logika. ”Inti Madilog adalah mengajarkan cara berpikir logis,” kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam. Buku yang tergolong berat bagi orang awam itu amat mempengaruhi aktivis Partai Musyawarah Rakyat Banyak alias Murba yang didirikan Tan Malaka pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Bahkan pengaruh buku yang ditulis pada 1943 itu masih terasa berpuluh-puluh tahun sesudahnya. Bagi Andi Irawan, aktivis mahasiswa Surabaya pada 1990-an, Madilog cukup populer di kalangan aktivis, meski tak semua bisa mendapatkan buku itu, apalagi membacanya. ”Kami mendapatkannya dalam bentuk fotokopian. Diterimanya pun dengan sembunyi-sembunyi seperti orang bertransaksi narkoba,” ujarnya. Pada 1990-an, kata Tri Agus Siswomihardjo, popularitas buku Tan Malaka di kalangan aktivis lebih-kurang sama dengan karya-karya sastrawan kiri Pramoedya Ananta Toer dan karya pemikir pendidikan bagi kaum tertindas, seperti Ivan Illich dan Paolo Freire. ”Tan Malaka populer karena aksi dan pemikirannya dinilai lebih progresif dibanding tokoh pergerakan di masanya,” kata bekas editor majalah Kabar dari PIJAR ini. (BUKAN) SEORANG DALAM ARUS UTAMA REVOLUSI Bonnie Triyana : Sejarawan—cum—wartawan TAN Malaka adalah legenda. Pada 1950-an, di berbagai kota dan desa di Minangkabau, setiap orang tua menceritakan kepada anak-anaknya kehebatan Tan Malaka, yang konon bisa menghilang secara gaib dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, yang jaraknya terpaut ratusan kilometer, hanya dalam satu
kedipan mata. Mitos yang hadir di tengah masyarakat itu tak lain karena ”riwayat hidupnya bagaikan cerita detektif yang penuh ketegangan,” kata Dr Alfian dalam tulisannya, ”Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang Kesepian”. Matu Mona alias Hasbullah Parinduri meminjam sosok Tan Malaka untuk karakter Pacar Merah dalam roman Pacar Merah. Muhammad Yamin menyebutnya sebagai Bapak Republik Indonesia yang dipersamakan dengan Washington yang merancang Republik Amerika Serikat jauh sebelum merdeka, atau dengan Rizal-Bonifacio yang meramalkan berdirinya Filipina sebelum revolusi terjadi. Rudolf Mrazek menyebut Tan Malaka sebagai manusia komplet. Ia begitu hebat: pemikir yang cerdas dan aktivis politik yang lincah. Dengan sederet puja-puji itu, kenapa justru ia tidak mendapat posisi penting di republik ini? Setelah melalui 20 tahun masa pengasingan di luar negeri, Tan Malaka memasuki kembali gelanggang politik saat situasi Republik tak menentu dan nasib para pemimpinnya di ujung tanduk. Soekarno dan Hatta disebut-sebut akan diadili oleh Sekutu dengan tuduhan penjahat perang kolaborator Jepang. Ketangkasan dalam mengatur strategi berpolitik telah membuat Soekarno terkesan dan menunjuk Tan Malaka sebagai pengganti presiden apabila sesuatu terjadi pada Soekarno. Kecurigaan untuk menerima kembali Tan Malaka dalam percaturan politik Republik ditunjukkan oleh sikap Hatta yang mendesak Soekarno menambah tiga orang lain dalam testamen politik itu: Sjahrir, Wongsonegoro, dan Iwa Koesoema Soemantri. Ada dua kesempatan emas untuk tampil di panggung politik yang kemudian ditolaknya. Tan Malaka menolak tawaran Soekarno untuk sebuah jabatan tak resmi di luar kabinet pertama yang telah dilantik pada 4 September 1945. Pertimbangannya, status pemerintahan Republik masih belum jelas, masih berkolaborasi dengan Jepang. Kedua, menurut versi Tan Malaka, ia menolak tawaran Sjahrir cum suis untuk menjadi Ketua Partai Sosialis dengan alasan ”tidak ingin menjadi teman separtai kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imperialis itu”. Ia pun mengatakan, ”Belum sampai waktunya saya untuk keluar berterang-terangan memimpin sesuatu partai pula.” Pengalaman hidup puluhan tahun diburu agen rahasia negeri-negeri imperialis membuatnya, ”Jadi orang yang selalu waspada dan tertutup,” kata penulis biografi Tan Malaka, Harry A. Poeze. Dan ia lebih berhati-hati dalam bertindak untuk mewujudkan (mengutip Ben Anderson) ”khayalan-khayalan tertentu... dalam proses revolusi yang sedang berkembang itu”. Tan Malaka ”bergairah” kembali ketika menyaksikan heroisme para pemuda dalam pertempuran Surabaya. Semangat itulah yang dilihatnya sebagai modal untuk menjalankan revolusi total menuju kemerdekaan seratus persen dengan kekuatan aksi massa. Dalam brosur Moeslihat yang ditulis tiga minggu setelah pertempuran, ia mengajak semua pihak bersatu melawan serangan musuh dari luar, membentuk laskar
rakyat, membagikan tanah kepada rakyat jelata, memperjuangkan hak buruh dalam mengontrol produksi, membuat rencana ekonomi perang, dan melucuti senjata Jepang. Kepemimpinan yang kuat dan organisasi perjuangan yang solid adalah dua hal yang, menurut dia, sangat dibutuhkan rakyat Indonesia. Gagasan-gagasan Tan Malaka mengundang simpati beberapa kelompok dari berbagai aliran yang kecewa terhadap kinerja kabinet Sjahrir. Pada 3 Januari 1946, untuk pertama kalinya sejak meninggalkan Indonesia pada 1922, Tan Malaka menjadi pembicara utama dalam sebuah kongres besar Persatuan Perjuangan yang menaungi 141 organisasi perjuangan. Melalui Persatuan Perjuangan, Tan Malaka berhasil menyatukan sejumlah besar golongan yang berbeda keyakinan, taktik, dan garis politik. Dalam waktu singkat, Persatuan Perjuangan berhasil menjadi kelompok oposisi terkuat. Program minimum yang dikemukakan Tan Malaka pada kongres pertama Persatuan Perjuangan mencakup tujuh inti pokok, antara lain berunding atas pengakuan kemerdekaan 100 persen, melucuti tentara Jepang, menyita aset perkebunan milik Belanda, dan menasionalisasi industri milik asing yang beroperasi di Indonesia. Tujuh inti pokok adalah respons Tan Malaka terhadap kinerja Sjahrir yang terkenal akomodatif terhadap keinginan Belanda. Tan Malaka terombang-ambing di antara permainan politik penguasa dan oportunisme politik yang menghinggapi sebagian besar pengikut Persatuan Perjuangan. Ia tak sempat mendidik kader-kadernya sendiri untuk berkomitmen tinggi pada perjuangan sebagai akibat terlalu lama berada di pengasingan. Sekelompok kecil anak muda di sekelilingnya lebih cenderung menampakkan diri sebagai simpatisan daripada memenuhi syarat untuk disebut sebagai kader. Ketika Sjahrir mengumumkan Lima Program Pokok, yang kemudian disebut sebagai Lima Pokok Soekarno (isinya antara lain mengakomodasi tujuh inti pokok), beberapa organisasi anggota Persatuan Perjuangan—antara lain Pemuda Sosialis Indonesia, Gerakan Rakyat Indonesia, Barisan Tani Indonesia, dan Partai Katolik—mulai berbalik mendukung Sjahrir. Masyumi, yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan, pun menerima posisi Menteri Penerangan yang dijabat oleh M. Natsir pada kabinet Sjahrir II. Intrik demi intrik disusun demi menjatuhkan Tan Malaka dari panggung politik yang baru dilakoninya. Atas tuduhan mengacau keadaan dan berbicara serta bertindak menggelisahkan, Tan Malaka ditangkap pada 17 Maret 1946. Selang empat bulan kemudian, beberapa gelintir anggota Persatuan Perjuangan juga ditangkap terkait dengan keterlibatan mereka dalam upaya kudeta yang gagal pada 3 Juli 1946. Insiden itu sekaligus menandai bubarnya Persatuan Perjuangan. Sjahrir menuduh Tan Malaka berada di balik aksi kudeta. Tapi, sampai pembebasannya dua tahun kemudian, tuduhan itu tak pernah bisa dibuktikan. Selama dua setengah tahun masa penahanannya, Tan Malaka menulis beberapa buku, termasuk otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara. Praktis ia tak bisa turut mewarnai jalannya revolusi Republik yang telah dirancangnya sejak 1925 seperti dalam karyanya, Naar de Republiek Indonesia. Tan Malaka
dibebaskan pada September 1948 semasa pemerintah Perdana Menteri Hatta. Harry A. Poeze berpendapat pembebasan itu tak lepas dari taktik politik Hatta untuk mengimbangi kekuatan Musso yang baru saja datang dari Moskow pada Agustus 1948. Sekelompok kecil pengikut Tan Malaka yang dipimpin dr Muwardi telah terlebih dulu mendirikan Gerakan Revolusi Rakyat untuk menandingi gerak politik Front Demokrasi Rakyat pimpinan Amir Sjarifuddin yang di kemudian hari bergabung dengan Musso. Keluar dari penjara, Tan Malaka mendirikan Partai Murba untuk merealisasi gagasan-gagasannya. Tapi partai ini terlalu kecil dengan jumlah pendukung yang terbatas dan kurang lincah bermanuver di tengah iklim politik yang fluktuatif. Ia kembali menjadi orang yang bergerak di balik layar dengan tak menjadi Ketua Partai Murba. Tan Malaka lebih memilih menggalang kekuatan tentara dan rakyat di Kediri, Jawa Timur, untuk menghadapi Agresi Belanda II berdasarkan bukunya, Gerilya Politik Ekonomi. Ada dilema yang dihadapi Tan Malaka yang menyebabkan dia tak menjadi seseorang dalam arus utama revolusi pada republik yang baru ini. Ia seorang tokoh terkenal, sekaligus tidak terkenal. Namanya dikenal dari karya-karya yang ia tulis semasa berada di luar negeri. Tapi nama Tan Malaka lebih banyak diperbincangkan sebagai sosok misterius yang dipenuhi mitos. Ia tak lagi memiliki relasi politik yang luas dan erat baik pada kelompok ”kolaborator”, terlebih pada kelompok ”bawah tanah” pimpinan Sjahrir. Aktor-aktor utama di panggung politik Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan telah terisi oleh mereka yang datang dari dua atau tiga generasi di bawahnya. Kemunculan Tan Malaka yang tiba-tiba di masa-masa awal kemerdekaan, legenda, bahkan mitos tentang kehebatannya, dan karier politik di masa lalu yang cemerlang tak banyak membantunya memenangi pertarungan politik di era revolusi. Pembungkaman Tan Malaka, menurut Ben Anderson, telah mengakhiri setiap harapan yang pernah ada bahwa Indonesia akan memilih jalan perjuangan daripada jalan diplomasi. Tan Malaka menawarkan sebuah jalan Merdeka 100 Persen, tapi itu mustahil terjadi dalam gelombang revolusi yang dahsyat saat itu. Dan hanya ia sendiri yang tahu betul apa yang harus dilakukannya untuk mewujudkan cita-cita itu. Kalau kesuksesan berpolitik diukur dari seberapa besar kekuasaan yang diperoleh, bukan di sana tempat Tan Malaka. Bukan pula pada pelajaran sejarah di sekolah-sekolah yang tak mencantumkan namanya, kendati dia pahlawan nasional yang dikukuhkan melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1963. Kesuksesan Tan Malaka terletak pada sikap konsisten dalam berpolitik dan orisinalitas pemikirannya yang berpihak kepada rakyat. Pentingnya ilmu pengetahuan untuk membangun masyarakat, seperti yang ditulisnya dalam Madilog dan beberapa brosurnya yang menganjurkan kemandirian bangsa, menjadi relevan bila melihat kondisi bangsa dewasa ini. Profil MITRA FM
MADILOG SEBUAH SINTESIS PERANTAUAN Tuesday, 10 March 2009 04:31 Rizal Adhitya Hidayat : Bekerja di Universitas Indonusa Esa Unggul SAMPAI kematiannya yang tragis sebagai tumbal revolusi, lebih dari 20 tahun hidup Tan Malaka dihabiskan untuk merantau di negeri lain. Dari agen Komintern untuk Asia di Kanton sampai menjadi free agent bagi dirinya sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan jaminan finansial hingga hidup merdeka seratus persen. Dan Madilog, buku yang ditulisnya dalam persembunyian dari Kempetai, polisi rahasia Jepang (1943), adalah warisannya yang paling otentik. Tan menginginkan Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika—sebagai panduan cara berpikir yang realistis, pragmatis, dan fleksibel. Inilah warisan perantauannya yang berasal dari pemikiran Barat untuk mengikis nilai-nilai feodalisme, mental budak, dan kultus takhayul yang, menurut dia, diidap rakyat Indonesia. Mengapa? Sebab, Tan berpikir, mulai periode Yunnan sampai imperialisme Jepang, bangsa Indonesia tidak mempunyai riwayat kesejarahan sendiri selain perbudakan. Tak mengherankan bila budaya bangsa ini berubah menjadi pasif dan menafikan sama sekali penggunaan asas eksplorasi logika sains. Madilog adalah solusinya. Inilah sebuah presentasi ilmiah melalui serangkaian proses berpikir dan bertindak secara materialistis, dialektis, dan logis dalam mewujudkan sebuah tujuan secara sistematis dan struktural. Segala dinamika permasalahan duniawi dapat terus dikaji dan diuji sedalam-dalamnya dengan menggunakan perkakas sains; yang batas-batasnya bisa ditangkap oleh indra manusia. Namun, lebih dari sekadar Barat, Madilog adalah juga sintesis perantauan dari seorang Tan yang berlatar belakang budaya Minangkabau. Ini terjabarkan ke dalam dua sense of extreme urgency point pemikiran Tan Malaka demi membumikan Madilog dalam ranah Indonesia. Pertama, Madilog lahir melalui sintesis pertentangan pemikiran di antara dua kubu aliran filsafat, yaitu Hegel dengan Marx-Engels. Hegel dengan filsafat dialektika (tesis, antitesis, dan sintesis) dengan kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) hanya dapat tercapai melalui perkembangan dinamis, dari taraf gerakan yang paling rendah menuju taraf gerakan yang paling tinggi. Semua berkembang, terus-menerus, berubah tapi berhubungan satu sama lain. Hegel lebih memfokuskan pemikiran bahwa untuk mencapai kebenaran mutlak, pemikiran (ide) lebih penting daripada matter (benda). Sementara itu, bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok diterapkan dalam ranah matter melalui revolusi perpindahan dominasi kelas yang satu ke kelas yang lain sampai tercapai suatu bentuk kelas yang sebenarnya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Jadi matter bagi Marx-Engels lebih penting daripada ide. Nah, dalam Madilog, Tan Malaka mencoba mensintesiskan kedua pertentangan aliran filsafat ini untuk mengubah mental budaya pasif menjadi kelas sosial baru berlandaskan sains; bebas dari alam pikiran mistis. Melalui sains, mindset masyarakat Indonesia harus diubah. Logika ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif dieksplorasi dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan gerakan kelas sosial dari tingkatannya yang paling rendah sampai paling tinggi berupa kelas sosial baru yang berwawasan Madilog. Inilah proses
”merantau” secara pemikiran karena berbagai benturan ide yang terjadi. Kedua, identitas budaya Minangkabau tentang konsep rantau. Nilai penting konsep rantau dalam budaya Minangkabau adalah mengidentifikasi setiap penemuan baru selama merantau demi pengembangan diri. Karakter masyarakat Minangkabau adalah dinamis, logis, dan antiparokial. Konflik batin khas perantau ditepisnya dengan tradisi berpikir rasional, didukung dengan basis pendidikan guru, yang mengharuskan Tan menanamkan cara berpikir yang logis. Sementara itu, merantau adalah juga mencari keselarasan hidup; yang tersusun dari dinamika pertentangan dan penyesuaian. Pandangan kebudayaan Minangkabau yang umum berlaku di masa mudanya membuatnya memahami baik dinamisme Barat maupun dinamisme alam Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia yang terpisahkan (Mrazeck, 1999). Sebagai sintesis hasil perantauannya, Madilog merupakan manifestasi simbol kebebasan berpikir Tan Malaka. Ia bukan dogma yang biasanya harus ditelan begitu saja tanpa reserve. Menurut dia, justru kaum dogmatis yang cenderung mengkaji hafalan sebagai kaum bermental budak/pasif yang sebenarnya. Di sinilah filsafat idealisme dan materialisme ala Barat dan konsep rantau disintesiskan Tan Malaka. Lembar demi lembar ditulisnya di bawah suasana kemiskinan, penderitaan, dan kesepian yang begitu ekstrem. Namun Madilog-lah yang menjadi puncak kualitas orisinal pemikiran terbaik Tan Malaka yang dikumpulkannya dari Haarlem, Nederland (1913-1919), sampai kelahiran buah pikirnya itu di Rawajati (1943). TAN VS PEMBERONTAKAN Tuesday, 10 March 2009 04:36 Oleh Mestika Zed: Sejarawan Universitas Negeri Padang DI pagi buta yang becek, awal 1927, kaum pemberontak di Silungkang, Sumatera Barat, akhirnya mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Banten, yang meletuskan pemberontakan pada pertengahan November 1926. Mereka menyerang kedudukan pemerintah. Sasaran utama adalah menangkap dan membunuh pejabat pemerintah, pejabat pribumi, dan kulit putih. Mereka merusak sejumlah instalasi publik, seperti stasiun dan kantor pos. Juga berencana membakar instalasi tambang batu bara dan menyerang semua simbol rezim kolonial di kota itu. Gerakan pemberontak itu dapat dipatahkan. Hanya sebagian kecil sasaran yang terpenuhi. Selebihnya menyisakan prahara berkepanjangan. Sampai 12 Januari 1927, lebih dari 1.300 orang ditangkap. Ratusan bom dan senjata api disita. Kebanyakan mereka dibuang ke luar Sumatera Barat, termasuk ke Digul. Ada pula yang dihukum gantung. Pemberontakan yang gagal di dua tempat (Banten dan Sumatera Barat) pada 1926-1927 itu cukup mengguncang rezim kolonial di Batavia. Mereka pun memburu pemimpin PKI dan onderbouw-nya, juga kaum pergerakan secara keseluruhan. Sejak itu penguasa kolonial bertindak bengis dan makin represif. Setiap anasir pergerakan nasional ditindas, dan partai-partai politik yang tak mau bekerja sama dengan
pemerintah dilarang. Proses ini berjalan sampai akhir 1930-an. Orang-orang PKI menuduh Tan Malaka sebagai biang penyebab kegagalan pemberontakan. Ia dimusuhi dan dicap pengkhianat partai, Trotsky-nya Indonesia. Padahal, sejak semula Tan bukan saja tak setuju, melainkan juga berupaya mencegah rencana pemberontakan yang dirancang oleh kelompok Prambanan itu. Kelompok ini terdiri atas tokoh terkemuka PKI seperti Semaun (1899-1971), Alimin Prawirodirdjo (1889-1964), Musso (1897-1948), dan Darsono (1897-?), yang mendeklarasikan rencana pemberontakan di Prambanan, Solo, awal 1926. Sebagai pemikir yang cemerlang dan otentik sejak masa mudanya, Ibrahim Datuk Tan Malaka memiliki cukup alasan mengapa pemberontakan harus dikesampingkan. Salah satu argumennya ialah bahwa kekuatan pergerakan belum cukup matang. Masih diperlukan pembenahan organisasi partai guna menggalang basis massa yang kuat dan meluas, bahkan di luar kelompok komunis. Tan, sebagai pemimpin paling terkemuka PKI saat itu, menganjurkan untuk sementara waktu pemimpin-pemimpin gerakan memperkuat organisasi dan tetap melakukan aksi-aksi ”pemanasan” dan agitasi di tempatnya masing-masing. Pendirian ini telah diutarakannya kepada Alimin dan kawan-kawannya. Dari tempat persembunyiannya di Singapura, ia bahkan telah menulis pandangannya lewat sebuah risalah bertajuk Massa-Actie (1926, terbit ulang 1947). Dalam buku kecil itu ia menampik rencana kelompok Prambanan seraya menyimpulkan bahwa rencana pemberontakan itu merupakan tindakan blunder yang bisa menjadi bumerang terhadap partai sendiri, bahkan juga terhadap semua partai nasionalis. Nyatanya memang demikian. PKI, yang didirikan pada 1920, hancur, dan aktivis partai meringkuk dalam penjara atau dibuang ke Digul. Kondisi ekonomi Hindia Belanda saat itu juga sedang membaik. Buruh cukup mudah mendapat pekerjaan, sebagian pemuda mendapat kesempatan mempelajari bahasa Belanda dan menduduki kursi yang agak empuk sebagai juru tulis. Pelengah hidup seperti bioskop, sepak bola, dan dansa hula-hula mulai digemari. Ini berbeda dengan 1942-1945, ketika sebagian besar pabrik gula tutup, kebun-kebun binasa, mesin pabrik mati, rakyat tenggelam dalam penderitaan romusha Jepang. Pendek kata, gagasan pemberontakan di tengah situasi ekonomi yang membaik itu tak bakal laku. Namun kegagalan pemberontakan itu tak lantas membuat Tan memikirkan diri dan partainya sendiri. Baginya justru jauh lebih penting memikirkan perjuangan mencapai kemerdekaan nasional. Ini antara lain dapat diilustrasikan dari fakta berikut. Pertama, selepas dari penangkapan pada 1922, dan kemudian diusir ke luar Indonesia, ia sudah menjadi aktivis komunis yang tak kenal lelah ”menjual” gagasannya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hampir tak ada negara Asia Timur dan Asia Tenggara yang tak dijejakinya. Ia juga pergi ke Moskow, jantung komunisme. Ia hidup sengsara di tempat persembunyiannya dan selalu dikejar-kejar polisi rahasia. Ia baru kembali ke Tanah Air secara diam-diam pada zaman Jepang (1942). Kedua, baginya partai hanyalah alat untuk mencapai perjuangan, yakni kemerdekaan nasional bagi Indonesia. Selepas pemberontakan yang gagal itu, Tan Malaka keluar dari PKI dan mendirikan Partai
Republik Indonesia (Pari) di perantauan Bangkok pada 1927. Pari kemudian mati suri. Pada masa perang kemerdekaan (1947), ia mendirikan Partai Murba. Alasan keluar dari PKI lalu mendirikan Pari sangat jelas, yakni karena tak lagi sehaluan dengan rekan-rekan separtainya yang lama. Di lain pihak ia menentang kebijakan Komunis Internasional (Komintern) di Moskow. Sejak 1920-an Moskow tampak lebih peduli memanfaatkan Komintern bagi kepentingan ”hegemoni” internasional Uni Soviet ketimbang kepentingan perjuangan kaum nasionalis di daerah-daerah jajahan. Komintern bahkan juga cenderung mencurigai Pan Islamisme sebagai pesaing internasionalnya, sesuatu yang tak bisa diterima oleh Tan Malaka. Maka jelas kelihatan bahwa warna nasionalisme dalam diri Tan Malaka jauh lebih kental daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Kedekatannya dengan kelompok Islam sebagian karena pola asuhan masa kecilnya sebagai orang Minang; sebagian lain, karena memang kelompok Islamlah yang lebih diandalkannya sebagai mitra pergerakan ketimbang kelompok nasionalis sekuler yang menurutnya cenderung berperilaku borjuis. Ketiga, Tan Malaka dianggap sebagai satu dari tiga tokoh nasionalis yang pertama-tama menuangkan konsepsi tentang konstruksi masyarakat bangsa yang dibayangkan (the imagined community) di masa depan. Lewat sebuah risalah berjudul Naar de Republiek Indonesia (Kanton, 1925) ia sudah membentangkan betapa pentingnya persatuan dan betapa berbahayanya perpecahan. ”Ini harus kita cegah,” tulisnya. ”Akan tetapi tidak dengan [cara] memberi khotbah tentang hikmah-hikmah yang kosong. Hanya satu program yang benar-benar ingin memajukan kepentingan-kepentingan materiil dari seluruh rakyat dan dilaksanakan secara jujur, yang dapat membentuk solidaritas nasional, suatu solidaritas yang tidak hanya menggulingkan imperialisme, tetapi juga dapat menjauhkan segala gangguan untuk selama-lamanya...” (halaman 26, 28). Meskipun tak menyembunyikan pendirian Marxisnya, Tan Malaka memilih mengabdikan diri dan intelektualitasnya sebagai nasionalis sejati yang ikut merajut gagasan tentang the imagined community itu. Pemikirannya lebih dini juga lebih radikal daripada Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928). Kemudian juga Soekarno yang menulis MIM (Menuju Indonesia Merdeka, 1933). Dalam pemikiran ketiga tokoh ini, gambaran tentang masa depan Indonesia itu memang belum utuh. Ia baru merupakan anggitan yang masih memerlukan penyempurnaan sampai ”cetak-biru” Indonesia Merdeka dapat dirumuskan, yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 beberapa dasawarsa kemudian. Dan Tan Malaka menyadari itu, sebab ”aksi untuk mencapai kemerdekaan nasional ini,” tulis Tan dalam Naar de Republiek Indonesia, ”akan berlangsung lama, tetapi pasti membawa kemenangan (1925: 65). Sayangnya, Tan Malaka tak sempat melihat tahap akhir perjuangan kemerdekaan, karena ia tewas secara tragis. Ironis, karena setelah malang-melintang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri Indonesia, ia lalu ”dihujat dan dilupakan” oleh bangsanya sendiri.
WARISAN TAN MALAKA Monday, 09 March 2009 03:20 Oleh Asvi Warman Adam: Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia MENGAPA Tan Malaka tidak berhasil membesarkan Partai Murba? Jawabnya jelas, karena ia ditembak mati di Kediri tiga bulan setelah mendirikan partai itu. Pilihan hari pembentukan partai itu, 7 November 1948—bertepatan dengan hari revolusi Rusia—tentu tak sembarangan. Murba muncul setelah Partai Komunis Indonesia tersingkir pasca-Peristiwa Madiun, September 1948. Karena itu Murba dicitrakan sebagai partai komunis baru atau semacam pengganti PKI. Itu pula yang kemudian menyebabkan keduanya bukan hanya bersaing sebagai organisasi kiri melainkan bermusuhan. Pertikaian paham mengenai pemberontakan PKI 1926/1927 antara Tan Malaka dan Musso berdampak panjang. Ketika Musso pulang ke Indonesia pada 1948, program politiknya memiliki berbagai kesamaan dengan Tan Malaka. Namun, ketika ditanya wartawan apakah mereka akan bekerja sama, Muso menjawabnya sinis. Bila ia punya kesempatan, katanya, yang pertama dilakukannya adalah menggantung Tan Malaka. Sejak awal sudah terjadi perdebatan apakah Murba akan dijadikan partai kader atau partai massa. Namun yang jelas partai ini lahir dalam kancah revolusi karena dikembangkan sambil bergerilya. Ada Chaerul Saleh di Jawa Barat dengan Barisan Bambu Runcing. Sukarni dan kawan-kawan yang menyebar dari Yogya ke Jawa Tengah, dan Tan Malaka sendiri di Jawa Timur yang bergabung dengan batalion yang dipimpin Mayor Sabarudin. Ketiga upaya itu akhirnya gagal. Chaerul Saleh ditangkap, lalu diperintahkan Presiden Soekarno untuk studi ke Jerman. Dan sebelum gerakan kelompok Tan Malaka terkristalisasi, terjadilah agresi militer II Desember pada 1948. Setelah Tan Malaka tewas, Murba masih memiliki banyak tokoh seperti Iwa Kusumasumantri, Chaerul Saleh, Adam Malik, Sukarni, Prijono. Walaupun terdiri dari pemuda yang bersemangat, dalam organisasi mereka kurang andal. Kisah dan nama besar Tan Malaka dijadikan legenda, tetapi pemikirannya tidak dijabarkan dalam bentuk aksi. Mesin (pengkaderan) partai di berbagai sektor tidak jalan. Partai tidak memiliki penerbitan serius, kecuali Pembela Proklamasi yang terbit 20 edisi. Upaya mendekatkan Murba dengan PKI seperti dirintis Ibnu Parna dari Acoma (Angkatan Communis Muda) ditolak elite PKI. M.H. Lukman menulis ”Tan Malaka Pengkhianat Marxisme-Leninisme” (Bintang Merah, 15 November 1950). Pemilu 1955 adalah pengalaman pahit sekaligus kehancuran partai (yang kemudian tidak pernah bangkit lagi). Murba hanya beroleh 2 dari 257 kursi yang diperebutkan. Dalam pemilu selanjutnya partai ini bahkan tak berhasil masuk parlemen. Demokrasi terpimpin memberikan peluang bagi Murba. Soekarno menjadikannya penyeimbang posisi PKI. Kongres Murba kelima, Desember 1959, dihadiri Presiden. Chaerul Saleh dan Prijono masuk kabinet, Adam Malik dan Sukarni menjadi Duta Besar di Moskow dan Beijing.
Puncaknya, Tan Malaka diangkat menjadi pahlawan nasional pada 1963. Pertentangan antara Murba dan PKI menajam. Ketika PKI semakin kuat, Murba bekerja sama dengan militer dan pihak lain menjegal dengan membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Namun BPS dibubarkan Bung Karno. Sukarni dan Syamsudin Chan ditahan pada awal 1965. Murba dibekukan dan kemudian dibubarkan pada September 1965 karena dituduh menerima uang US$ 100 juta dari CIA untuk menggulingkan Presiden. Pada 17 Oktober 1966 Soekarno merehabilitasi partai Murba melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966. Pada awal Orde Baru, Adam Malik menjadi Menteri Luar Negeri dan kemudian Wakil Presiden. Namun posisinya ini tidak berpengaruh bagi Partai Murba. Dalam pemilu pertama era Orde Baru, Juli 1971—dua bulan setelah wafatnya Sukarni, tokoh partai ini—Murba beroleh 49 ribu suara (0,09 persen pemilih). Tetapi kegagalan utama Murba disebabkan oleh stigma rezim Orde Baru terhadap seluruh golongan kiri. Orde Baru menabukan sosok Tan Malaka. Gelar pahlawannya tak pernah dicabut, tetapi namanya dihilangkan dari buku pelajaran sejarah di sekolah. Dalam pemilu selanjutnya Murba berfusi dengan Partai Demokrasi Indonesia. Setelah Soeharto jatuh, Murba, yang menyebut dirinya ”Musyawarah Rakyat Banyak” itu, ikut pemilu pada 1999. Sayang, mereka hanya mendapat 62 ribu suara (0,06 persen pemilih). *** Tan Malaka membentuk jaringan revolusioner yang hebat dalam perjuangannya, tetapi bukan partai yang awet. Ia merantau 30 tahun, dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, Amsterdam, Berlin, Moskow, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hong Kong, Singapura, Rangoon, sampai Penang. Meskipun sempat memimpin Partai Komunis Hindia Belanda pada 1921, Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI pada 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Murba dalam berbagai hal bertentangan dengan PKI. Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok pada 1 Juni 1927. Walaupun bukan partai massa, organisasi ini hidup selama sepuluh tahun pada saat partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati. Pari dianggap berbahaya oleh intel Belanda, dan para aktivisnya diburu. Kemudian tibalah saatnya Tan Malaka berselisih jalan dengan Komunis Internasional (Komintern). Bagi Komintern, Pan-Islamisme sebuah bentuk imperialisme, padahal gerakan ini menentang imperialisme, kata Tan Malaka. Setelah melanglang buana dua dekade, pascakemerdekaan, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang-surut. Ia memperoleh testamen Bung Karno untuk menggantikan bila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas. Namun sejak 1946 Tan Malaka menentang diplomasi yang merugikan Indonesia. Sebagai pemimpin Persatuan Perjuangan yang terdiri dari 142 organisasi sosial politik, ia menuntut agar perundingan baru
dilakukan bila Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen. Posisi ini membuat Tan Malaka berhadapan diametral dengan Perdana Menteri Sjahrir sehingga di kalangan sosialis pun narasi tentang Tan Malaka bernada negatif (lihat Kilas Balik Revolusi, karya A.B. Lubis, 1992). Bila Tan Malaka dikategorikan sebagai penganut Trotsky, apakah Persatuan Perjuangan itu merupakan front bersatu untuk revolusi permanen? Tampaknya tidak. Motivasi organisasi-organisasi itu hanyalah menolak dominasi Partai Sosialis dalam kabinet. Setelah tawar-menawar kekuasaan gagal, Persatuan Perjuangan menjadi raksasa berkaki tanah liat. Tan Malaka ditangkap pada Maret 1946 dan tetap ditahan sampai September 1948. Ironis, ia dipenjarakan di dalam negeri dua setengah tahun—lebih lama daripada waktu ditahan pihak Belanda, Inggris, Amerika, dalam pergerakan selama puluhan tahun pada era kolonial. Dalam situasi krusial, Tan Malaka tidak bisa mempengaruhi jalannya revolusi. Pengikutnya juga banyak yang ditahan, terutama setelah peristiwa 3 Juli 1946. Soekarno mengakuinya sebagai seorang guru, dalam hal pengetahuan revolusioner dan pengalaman. Entah kebetulan atau kurang beruntung, Tan Malaka yang sudah berjuang puluhan tahun di mancanegara tidak punya peran sama sekali saat proklamasi. Posisi terhormat itu ditempati Soekarno-Hatta. Meski Harry Poeze punya dokumentasi yang menunjukkan bahwa Tan Malaka berada di belakang gerakan pemuda, seraya memobilisasi massa mengikuti rapat akbar di Ikada pada 19 September 1945. Ada beberapa foto yang membuktikan kehadiran Tan Malaka di lapangan Ikada, Jakarta. Di dalam foto Tan tampak berjalan seiring dengan Bung Karno (tinggi mereka berbeda, Soekarno 172 sentimeter sedangkan Tan Malaka 165 sentimeter). Soekarno memanifestasikan kekagumannya pada Tan Malaka dalam sebuah Testamen Politik yang isinya kemudian diperlemah oleh Hatta. Tetapi Tan Malaka tetap bergerak di bawah tanah dan ragu untuk tampil secara terbuka. Mungkin ini disebabkan pengalaman pribadinya yang lebih dari dua puluh tahun dikejar-kejar dan (hidup) dalam ilegalitas. Seperti dikatakan orang-orang dekatnya, Tan Malaka sulit kembali sebagai orang ”normal”. Tan Malaka baru muncul ke permukaan pada Januari 1946, ketika melihat diplomasi pemerintah sangat merugikan Indonesia. Gagasan Tan Malaka tetap relevan untuk menjawab ancaman dan tantangan zaman masa kini. ”Dari dalam kubur suara saya terdengar lebih keras daripada di atas bumi,” kata Tan Malaka ketika akan ditangkap polisi Hong Kong pada 1932. Tan Malaka tidak mewariskan partai, tetapi ia meninggalkan pemikiran brilian yang dapat diserap partai mana saja di Tanah Air.
TAN MALAKA PEJUANG DAN PEMIKIR Tan Malaka memang tidak sepopuler Bung Karno dan Bung Hatta, namun dia sangat berpengaruh dan ditakuti penguasa pada zaman kemerdekaan hingga Orde Baru. Tidak heran, ia hidup dari penjara ke penjara. Bahkan ketika sudah meninggal pun, namanya masih ketinggalan di penjara. Tan memang bukan Soekarno, Hatta, Soedirman, atau pahlawan nasional lain, tapi ide-ide briliannya tidak kalah gaung dengan diplomasi dan serangan senjata. Tan melawan dengan kata-kata. Tan membangkang kepada penguasa yang lalim terhadap rakyat kecil melalui tulisan. Lucunya, pada puluhan tahun setelah merdeka, bekas Presiden Soeharto masih juga takut kepada Tan. Orde Baru khawatir, Tan akan menjadi Che Guevera bagi pemuda dan mahasiswa di tanah air yang saat itu dibekap rapat otak dan mulutnya. Tan masuk peti mati dan tidak boleh dibuka. Sejarah Indonesia pun menghapus namanya. Kini, hapir sepuluh tahun setelah Soeharto jatuh. Bacaan dan foto Tan Malaka ada di banyak bilik, ruang belajar dan kamar tidur ribuan mahasiswa di tanah air. Gambarnya berjajar dengan poster Che. Di kota pelajar Yogyakarta pun banyak ditemukan kaos bergambar Tan yang ringkih tapi garang pikiran dan gerakannya itu. Siapakah dia? Bagaimana gerakannya? Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1896 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatra Barat. Tan Malaka adalah seorang aktivis pejuang nasionalis dan juga seorang pemimpin kaum sosialis yang militan, radikal dan revolusioner. Ia banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia Pendiri Partai Murba (dari Serekat Islam Semarang dan Jakarta) ini menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia juga dikenal sebagai pejuang dalam memerdekaan tanah air jauh mendahului Soekarno-Hatta. Otaknya berjalan menembus lintas negara kala itu. Sebelum Bung Hatta menulis brosur "Mencapai Indonesia Merdeka" pada 1930, atau sebelum Soekarno menulis brosur "Ke Arah Indonesia Merdeka" pada 1932, Tan Malaka telah menulis "Naar de Republik Indonesia" yang berarti "Menuju Republik Indonesia" delapan tahun sebelumnya.
Tapi perjuangan politik Tan Malaka lebih diwarnai pembangkangan terhadap penguasa dan kehidupannya bahkan lebih lama dari penjara ke penjara. Ketika zaman imperialisme Belanda, dia harus mendekam di penjara. Ketika Jepang berkuasa, dia harus dipenjara, bahkan ketika Indonesia telah merdeka pun Tan Malaka harus dipenjara. Ia memang pejuang sejati yang tidak gila jabatan. Tan tidak segera duduk dan menjabat setelah kemerdekaan. Meski banyak sejawatnya langsung menjadi menteri, Tan tetap berjung untuk kepentingan rakyat kecil, hingga meninggal secara misterius di Kediri pada 19 Pebruari 1949. Inilah hal luar biasa yang menjadi barang langka saat ini. TAN MALAKA SEORANG MARKIS YANG NASIONALISTuesday, 31 March 2009 06:31 Oleh: Ignas Kleden: Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi TAN Malaka meninggal pada usia 52 tahun. Setengah dari usia itu dilewatkannya di luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum dia menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang, dan kembali ke Indonesia. Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan masa pelarian yang paling lama di Tiongkok. Selama masa itu, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya tujuh nama samaran. Di Manila dia dikenal sebagai Elias Fuentes dan Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali. Di Shanghai dan Amoy dia adalah Ossario, wartawan Filipina. Ketika menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee, orang Cina kelahiran Hawaii. Di Singapura, ketika menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng. Setelah masuk kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten, dan menjadi Ilyas Hussein. Pelarian dan penyamaran itu dimungkinkan, salah satunya, karena dia menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik. Ketika dia ditangkap di Manila pada Agustus 1927, koran Amerika, Manila Bulletin, menulis, ”Tan Malaka, seorang Bolsyewik Jawa, ditangkap. Dia berbicara bermacam-macam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Tagalog, Tionghoa, dan Melayu.” Dalam pelarian itu, bermacam-macam pekerjaan sudah dilakukannya. Di Amsterdam dan Rotterdam dia berkampanye untuk partai komunis Belanda pada waktu diadakan pemilu legislatif dan ditempatkan pada urutan ketiga. Di Moskow dia menjadi pejabat
Komintern dengan tugas mengawasi perkembangan partai komunis di negara-negara Selatan, yang mencakup Burma, Siam, Annam, Filipina, dan Indonesia. Di Kanton dia menerbitkan majalah berbahasa Inggris, The Dawn. Di Manila dia menjadi kontributor untuk koran El Debate. Di Amoy dia mendirikan Foreign Languages School yang mendapat banyak peminat dan memberinya cukup uang. Di Singapura dia menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas walau tanpa ijazah. Sebelum dibuang ke luar negeri, dia dipenjarakan tiga kali oleh pemerintah kolonial, di Bandung, Semarang, dan Jakarta. Dalam pelariannya ke luar negeri, dia dipenjarakan di Manila dan Hong Kong. Setelah kembali ke Indonesia, dia dimasukkan ke penjara oleh pemerintah Indonesia di Mojokerto (1946-1947). Dia mengagumi secara khusus pejuang kemerdekaan Tiongkok, Dr Sun Yat-sen, yang di kalangan pengikut bawah tanah dipanggil Sun Man. Dia membaca buku San-Min-Chu-I dan berkesimpulan bahwa Dr Sun tidak sepaham dengan dia dalam teori dan metode. Menurut Tan Malaka, Dr Sun bukanlah seorang Marxis, melainkan sepenuh-penuhnya seorang nasionalis. Dalam metode, dia tidak berpikir dialektis, tapi logis. Namun kesanggupan analisisnya tinggi, kemampuan menulisnya baik sekali, dan dia seorang effective speaker. Kekuatan Dr Sun terdapat dalam dua hal lain, yaitu satunya kata dan tindakan serta tabah menghadapi kegagalan. Usahanya memerdekakan Tiongkok dari Kerajaan Manchu baru berhasil pada percobaan ke-17, setelah 16 kali gagal. Dr Jose Rizal menjadi pahlawan Filipina dan pahlawan Tan Malaka karena ketenangannya menghadapi maut. Beberapa saat sebelum dia ditembak mati, seorang dokter Spanyol rekan seprofesinya meminta izin kepada komandan agar diperbolehkan memeriksa kondisi kesehatannya. Dengan tercengang si dokter melaporkan bahwa denyut pada pergelangan tangan Dr Rizal tetap pada ketukan normal, tanpa perubahan apa pun. Ini hanya mungkin terjadi pada seseorang yang sanggup menggabungkan keyakinan penuh pada perjuangan, ketabahan dalam menderita, dan keteguhan jiwa menghadapi maut. Di sini terlihat bahwa Tan Malaka bukanlah seorang Marxis fundamentalis, karena dia dapat menghargai Dr Sun Yat-sen, nasionalis pengkritik Marxisme, dan mengagumi Dr Rizal, seorang sinyo borjuis dengan berbagai bakat tapi menunjukkan sikap satria sebagai pejuang kemerdekaan. Kritik Tan Malaka kepada Bung Karno tidaklah ada sangkut-pautnya dengan sikap Soekarno terhadap Madilog, tapi merupakan kritik yang wajar terhadap seseorang yang sangat dihormatinya. Dasar kritiknya adalah apa yang dilihatnya sebagai kebajikan Dr Sun Yat-sen, yaitu satunya kata dengan perbuatan. Menurut Tan Malaka, ketika memimpin PNI, Soekarno selalu mengajak penduduk Hindia Belanda yang berjumlah 70 juta jiwa itu untuk berjuang
mencapai Indonesia merdeka dengan menggunakan tiga pegangan, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan aksi massa yang tak mengenal kompromi. Dia memberikan apresiasi tinggi bahwa Soekarno telah banyak menderita dan dibuang ke pengasingan karena gagasan-gagasan politiknya. Maka dia kecewa melihat Soekarno berkolaborasi dengan Jepang selama pendudukan di Indonesia. Kekecewaan ini disebabkan oleh dua latar belakang. Pertama, Tan Malaka merasa dekat dengan Soekarno, yang menerapkan aksi massa dalam perjuangan politiknya hampir sepenuhnya menurut apa yang ditulisnya di Singapura pada 1926 dalam sebuah brosur tentang aksi massa. Kedua, dia sangat terpesona oleh perjuangan kemerdekaan Filipina dengan semboyan immediate, absolute and complete independence (kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan penuh). Kekecewaan ini sedikit terobati ketika Soekarno-Hatta atas desakan pemuda revolusioner membuat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Salah satu karya Tan Malaka yang boleh dianggap sebagai opus magnum-nya adalah buku Madilog, yang ditulis selama delapan bulan dengan rata-rata tiga jam penulisan setiap hari di persembunyiannya dekat Cililitan. Buku itu menguraikan tiga soal yang menjadi pokok pemikirannya selama tahun-tahun pembuangan, dengan bahan-bahan studi yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, tapi sebagian besar harus dibuang untuk menghindari pemeriksaan Jepang. Naskah buku ini praktis ditulis hanya berdasarkan ingatan setelah bacaan dihafal di luar kepala dengan teknik pons asinorum (jembatan keledai). Ketiga soal itu adalah materialisme, dialektika, dan logika. Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai dasar terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip logika berbunyi: A tidak mungkin sama dengan yang bukan A. Atau dalam rumusan lain: a thing is not its opposite. Sebaliknya, dialektika menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celsius. Madilog adalah penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama filsafat ini berbunyi: bukan ide yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide. Kalau kita mengamati hidup dan perjuangan Tan Malaka, jelas sekali bahwa sedari awal dia hidup untuk merevolusionerkan kaum Murba, agar menjadi kekuatan massa dalam merebut kemerdekaan politik. Dia bergabung dengan Komintern di Moskow dan Kanton karena setuju dengan tesis Komintern bahwa partai komunis di negara-negara jajahan harus mendukung gerakan nasionalis untuk menentang imperialisme.
Semenjak masa mudanya di Negeri Belanda, Tan Malaka sudah terpesona oleh Marxisme-Leninisme. Paham inilah yang menyebabkan dia dipenjarakan berkali-kali dan dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan penjara dan pembuangan itu yang menjadikan dia seorang Marxis, melainkan sikap dan pendiriannya yang Marxislah yang menyebabkan dia dipenjarakan dan dibuang. Selain itu, dia pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di seluruh dunia, tapi untuk kemerdekaan tanah airnya. Dengan demikian, hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikal terhadap gagasan Madilog yang dikembangkannya. Paradoksnya: dia seorang Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Kita ingat kata-katanya kepada pemerintah Belanda sebelum dibuang: Storm ahead (ada topan menanti di depan). Don’t lose your head! Ini sebuah language game yang punya arti ganda: jangan kehilangan akal dan jangan kehilangan kepala. Tragisnya, dia yang tak pernah kehabisan akal di berbagai negara tempatnya melarikan diri akhirnya kehilangan kepala di tanah air yang amat dicintainya. TAN Malaka meninggal pada usia 52 tahun. Setengah dari usia itu dilewatkannya di luar negeri: enam tahun belajar di Negeri Belanda dan 20 tahun mengembara dalam pelarian politik mengelilingi hampir separuh dunia. Pelarian politiknya dimulai di Amsterdam dan Rotterdam pada 1922, diteruskan ke Berlin, berlanjut ke Moskow, Kanton, Hong Kong, Manila, Shanghai, Amoy, dan beberapa desa di pedalaman Tiongkok, sebelum dia menyelundup ke Rangoon, Singapura, Penang, dan kembali ke Indonesia. Seluruhnya berlangsung antara 1922 dan 1942 dengan masa pelarian yang paling lama di Tiongkok. Selama masa itu, dia menggunakan 13 alamat rahasia dan sekurangnya tujuh nama samaran. Di Manila dia dikenal sebagai Elias Fuentes dan Estahislau Rivera, sedangkan di Filipina Selatan dia menjadi Hasan Gozali. Di Shanghai dan Amoy dia adalah Ossario, wartawan Filipina. Ketika menyelundup ke Burma, dia mengubah namanya menjadi Oong Soong Lee, orang Cina kelahiran Hawaii. Di Singapura, ketika menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas, dia bernama Tan Ho Seng. Setelah masuk kembali ke Indonesia, dia bekerja di pertambangan Bayah, Banten, dan menjadi Ilyas Hussein. Pelarian dan penyamaran itu dimungkinkan, salah satunya, karena dia menguasai bahasa-bahasa setempat dengan baik. Ketika dia ditangkap di Manila pada Agustus 1927, koran Amerika, Manila Bulletin, menulis, ”Tan Malaka, seorang Bolsyewik Jawa, ditangkap. Dia berbicara bermacam-macam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Tagalog, Tionghoa, dan Melayu.” Dalam pelarian itu, bermacam-macam pekerjaan sudah dilakukannya. Di Amsterdam dan Rotterdam dia berkampanye untuk partai komunis Belanda pada waktu diadakan pemilu legislatif dan ditempatkan pada urutan ketiga. Di Moskow dia menjadi pejabat
Komintern dengan tugas mengawasi perkembangan partai komunis di negara-negara Selatan, yang mencakup Burma, Siam, Annam, Filipina, dan Indonesia. Di Kanton dia menerbitkan majalah berbahasa Inggris, The Dawn. Di Manila dia menjadi kontributor untuk koran El Debate. Di Amoy dia mendirikan Foreign Languages School yang mendapat banyak peminat dan memberinya cukup uang. Di Singapura dia menjadi guru bahasa Inggris di sekolah menengah atas walau tanpa ijazah. Sebelum dibuang ke luar negeri, dia dipenjarakan tiga kali oleh pemerintah kolonial, di Bandung, Semarang, dan Jakarta. Dalam pelariannya ke luar negeri, dia dipenjarakan di Manila dan Hong Kong. Setelah kembali ke Indonesia, dia dimasukkan ke penjara oleh pemerintah Indonesia di Mojokerto (1946-1947). Dia mengagumi secara khusus pejuang kemerdekaan Tiongkok, Dr Sun Yat-sen, yang di kalangan pengikut bawah tanah dipanggil Sun Man. Dia membaca buku San-Min-Chu-I dan berkesimpulan bahwa Dr Sun tidak sepaham dengan dia dalam teori dan metode. Menurut Tan Malaka, Dr Sun bukanlah seorang Marxis, melainkan sepenuh-penuhnya seorang nasionalis. Dalam metode, dia tidak berpikir dialektis, tapi logis. Namun kesanggupan analisisnya tinggi, kemampuan menulisnya baik sekali, dan dia seorang effective speaker. Kekuatan Dr Sun terdapat dalam dua hal lain, yaitu satunya kata dan tindakan serta tabah menghadapi kegagalan. Usahanya memerdekakan Tiongkok dari Kerajaan Manchu baru berhasil pada percobaan ke-17, setelah 16 kali gagal. Dr Jose Rizal menjadi pahlawan Filipina dan pahlawan Tan Malaka karena ketenangannya menghadapi maut. Beberapa saat sebelum dia ditembak mati, seorang dokter Spanyol rekan seprofesinya meminta izin kepada komandan agar diperbolehkan memeriksa kondisi kesehatannya. Dengan tercengang si dokter melaporkan bahwa denyut pada pergelangan tangan Dr Rizal tetap pada ketukan normal, tanpa perubahan apa pun. Ini hanya mungkin terjadi pada seseorang yang sanggup menggabungkan keyakinan penuh pada perjuangan, ketabahan dalam menderita, dan keteguhan jiwa menghadapi maut. Di sini terlihat bahwa Tan Malaka bukanlah seorang Marxis fundamentalis, karena dia dapat menghargai Dr Sun Yat-sen, nasionalis pengkritik Marxisme, dan mengagumi Dr Rizal, seorang sinyo borjuis dengan berbagai bakat tapi menunjukkan sikap satria sebagai pejuang kemerdekaan. Kritik Tan Malaka kepada Bung Karno tidaklah ada sangkut-pautnya dengan sikap Soekarno terhadap Madilog, tapi merupakan kritik yang wajar terhadap seseorang yang sangat dihormatinya. Dasar kritiknya adalah apa yang dilihatnya sebagai kebajikan Dr Sun Yat-sen, yaitu satunya kata dengan perbuatan. Menurut Tan Malaka, ketika memimpin PNI, Soekarno selalu mengajak penduduk Hindia Belanda yang berjumlah 70 juta jiwa itu untuk berjuang
mencapai Indonesia merdeka dengan menggunakan tiga pegangan, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan aksi massa yang tak mengenal kompromi. Dia memberikan apresiasi tinggi bahwa Soekarno telah banyak menderita dan dibuang ke pengasingan karena gagasan-gagasan politiknya. Maka dia kecewa melihat Soekarno berkolaborasi dengan Jepang selama pendudukan di Indonesia. Kekecewaan ini disebabkan oleh dua latar belakang. Pertama, Tan Malaka merasa dekat dengan Soekarno, yang menerapkan aksi massa dalam perjuangan politiknya hampir sepenuhnya menurut apa yang ditulisnya di Singapura pada 1926 dalam sebuah brosur tentang aksi massa. Kedua, dia sangat terpesona oleh perjuangan kemerdekaan Filipina dengan semboyan immediate, absolute and complete independence (kemerdekaan segera, tanpa syarat, dan penuh). Kekecewaan ini sedikit terobati ketika Soekarno-Hatta atas desakan pemuda revolusioner membuat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Salah satu karya Tan Malaka yang boleh dianggap sebagai opus magnum-nya adalah buku Madilog, yang ditulis selama delapan bulan dengan rata-rata tiga jam penulisan setiap hari di persembunyiannya dekat Cililitan. Buku itu menguraikan tiga soal yang menjadi pokok pemikirannya selama tahun-tahun pembuangan, dengan bahan-bahan studi yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, tapi sebagian besar harus dibuang untuk menghindari pemeriksaan Jepang. Naskah buku ini praktis ditulis hanya berdasarkan ingatan setelah bacaan dihafal di luar kepala dengan teknik pons asinorum (jembatan keledai). Ketiga soal itu adalah materialisme, dialektika, dan logika. Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai dasar terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip logika berbunyi: A tidak mungkin sama dengan yang bukan A. Atau dalam rumusan lain: a thing is not its opposite. Sebaliknya, dialektika menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celsius. Madilog adalah penerapan filsafat Marxisme-Leninisme. Tesis utama filsafat ini berbunyi: bukan ide yang menentukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide. Kalau kita mengamati hidup dan perjuangan Tan Malaka, jelas sekali bahwa sedari awal dia hidup untuk merevolusionerkan kaum Murba, agar menjadi kekuatan massa dalam merebut kemerdekaan politik. Dia bergabung dengan Komintern di Moskow dan Kanton karena setuju dengan tesis Komintern bahwa partai komunis di negara-negara jajahan harus mendukung gerakan nasionalis untuk menentang imperialisme.
Semenjak masa mudanya di Negeri Belanda, Tan Malaka sudah terpesona oleh Marxisme-Leninisme. Paham inilah yang menyebabkan dia dipenjarakan berkali-kali dan dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan penjara dan pembuangan itu yang menjadikan dia seorang Marxis, melainkan sikap dan pendiriannya yang Marxislah yang menyebabkan dia dipenjarakan dan dibuang. Selain itu, dia pertama-tama tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di seluruh dunia, tapi untuk kemerdekaan tanah airnya. Dengan demikian, hidup Tan Malaka menjadi falsifikasi radikal terhadap gagasan Madilog yang dikembangkannya. Paradoksnya: dia seorang Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Kita ingat kata-katanya kepada pemerintah Belanda sebelum dibuang: Storm ahead (ada topan menanti di depan). Don’t lose your head! Ini sebuah language game yang punya arti ganda: jangan kehilangan akal dan jangan kehilangan kepala. Tragisnya, dia yang tak pernah kehabisan akal di berbagai negara tempatnya melarikan diri akhirnya kehilangan kepala di tanah air yang amat dicintainya. Profil MITRA FM REPUBLIK DALAM MIMPI TAN MALAKA Tuesday, 10 March 2009 04:33 Oleh Hasan Nasbi A: Program Manager Indonesian Research and Development Institute, penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka (LPPM Tan Malaka, 2004) Dr Alfian menyebut Tan Malaka sebagai revolusioner kesepian. Mungkin tidak berlebihan. Tan Malaka memang pejuang kesepian dalam arti sesungguhnya. Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup dalam pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina dan Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintah republik yang ia cita-citakan. Sebagai pelarian dan tahanan, Tan tak pernah berhenti memikirkan nasib Negeri Hindia Belanda. Banyak gagasan yang lahir selama masa pelarian itu. Namun Tan Malaka tak punya cukup kesempatan untuk mendialektikakan gagasannya dengan tokoh-tokoh pejuang lain. Ada perbedaan waktu dan pengalaman sejarah yang membuat Tan Malaka berjarak dengan pengikut-pengikutnya yang kemudian berada dalam barisan Partai Murba. Meski tetap dijadikan idola hingga saat ini, perangai dan prinsip perjuangan Tan sungguh tak bisa diikuti oleh siapa pun. Hatinya terlalu teguh untuk diajak berkompromi dan punggungnya terlalu lurus untuk diajak sedikit membungkuk. Kita bisa melihat beberapa contoh bahwa memang sulit mencari manusia yang bisa mengikuti kekerasan hatinya. Adam Malik, misalnya, adalah kader Partai Republik Indonesia yang sangat memuja Tan Malaka. Namun, di tangan Adam Malik, segala persoalan bisa menjadi superfleksibel. M. Yamin adalah pengikut Tan Malaka yang juga mendirikan Persatuan Perjuangan pada 1946. Persatuan Perjuangan adalah ikon diplomasi bambu runcing. Organisasi ini didirikan sebagai antitesis politik berunding yang dirintis oleh Kabinet Sjahrir I. Tapi, belakangan, Yamin juga menjadi anggota tim dalam Konferensi Meja Bundar pada 1949, sesuatu yang secara prinsip ditentang dalam ”Program Minimum” Persatuan Perjuangan Tan Malaka. Di tengah kesepian dan kesulitan memperoleh pengikut yang kukuh itulah ia melahirkan gagasan-gagasan yang jernih, asli, bahkan mengagetkan. Mungkin gagasan itu tak sepenuhnya bisa diikuti, tapi jelas penuh inspirasi. Soal pelaksanaannya bisa dicocokkan dengan keadaan yang berkembang. Gagasan Tan Malaka tentang Republik Indonesia tersebar di banyak buku. Ia tak punya kesempatan untuk menuliskannya secara tuntas. Gejolak revolusi mengharuskan revolusioner seperti Tan berada dalam kancah perjuangan fisik ketimbang di belakang meja. Namun, lewat antara lain buku Menuju Republik Indonesia (1926), Soviet atau Parlemen (1922), serta Madilog (1942), kita bisa menyatukan mozaik gagasan republik yang tercerai-berai itu. Tak sulit untuk menyatukan mozaik ini, karena Tan selalu menunjukkan pola pemikirannya. Tan memberikan perumpamaan tentang burung gelatik untuk menjelaskan republik yang ia angankan. Burung ini terlihat seperti makhluk yang lemah. Banyak yang mengancamnya. Di dahan yang rendah, dia harus waspada terhadap kucing yang siap menerkam. Tapi dahan yang lebih tinggi juga bukan merupakan tempat yang aman baginya. Ada elang yang siap menyambar sang gelatik sehingga hidupnya tak merdeka. Ia hidup penuh ketakutan dan dengan perasaan terancam. Serba tak bebas. Bagi Tan Malaka, Indonesia harus bebas dari ketakutan seperti ini. Bebas dari belenggu dan teror pemangsa. Tapi, jika burung gelatik berada dalam satu rombongan besar, ia akan bebas menjarah padi di saat sawah sedang menguning. Burung gelatik, yang sesaat lalu terlihat seperti makhluk yang lemah, bisa berubah drastis menjadi pasukan penjarah yang rakus tiada ampun. Keringat petani selama empat bulan terbuang sia-sia. Padinya habis disantap sekawanan gelatik. Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu dua arah: bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip Indonesia merdeka. Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus punya bentuk. Ketika para pejuang lain baru berpikir tentang persatuan, atau paling jauh berpikir tentang Indonesia Merdeka, Tan Malaka sudah maju beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia. Brosur Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) sudah ditulis di Kanton, Cina, pada 1925, tiga tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda. Tan Malaka tegas bahwa eks Hindia Belanda harus menjadi Republik Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tak menganut trias politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malaka adalah sebuah negara efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah organisasi. Tan Malaka sejatinya tak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif, legislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang
yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh (parlemen). Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual pemilihan sekali dalam 4, 5, atau 6 tahun. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah. Karena para anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat, seharusnya mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat. Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergoda untuk berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan. Kalau kita tarik ke zaman sekarang, mungkin Tan Malaka bisa menepuk dada. Dia akan menyuruh kita menyaksikan sebuah negara yang parlemennya dikuasai oleh wakil buruh, seperti Inggris, kemudian menyetujui penggunaan pajak hasil keringat buruh untuk berperang menginvasi negara lain. Akhirnya, parlemen di mata Tan Malaka tak lebih dari sekadar warung tempat orang-orang adu kuat ngobrol. Mereka adalah para jago berbicara dan berbual, bahkan kalau perlu sampai urat leher menonjol keluar. Tan Malaka menyebut anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya tinggi. Singkatnya, keberadaan parlemen dalam republik yang diimpikan Tan Malaka tak boleh ada. Buku Soviet atau Parlemen dengan tegas memperlihatkan pendirian Tan Malaka. Sampai usia kematangan berpikirnya, Tan tak banyak berubah, kecuali dalam soal ketundukan kepada Komintern Moskow. Karena pendirian ini pula Tan Malaka sangat keras menentang Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang pendirian partai-partai. Sebab, partai-partai pasti bermuara di parlemen. Lalu seperti apa wujud negara tanpa parlemen itu? Penjelasannya memang bisa memakan halaman yang sangat banyak. Sederhananya, negara dalam mimpi Tan Malaka dikelola oleh sebuah organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan sebagai pelaksana, sebagai pemeriksa atau pengawas, dan sebagai badan peradilan. Anda bisa membayangkan organisasi yang berskala nasional seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bangunan organisasinya dari tingkat terendah sampai tingkat nasional bisa diandaikan seperti itu. Tidak ada pemisahan antara si pembuat aturan dan si pelaksana aturan. Di dalam organisasi yang sama pasti ada semacam dewan pelaksana harian, dan ada sejenis badan kehormatan atau komisi pemeriksa. Begitulah kewenangan dibagi, tapi tidak dalam badan yang terpisah. Bagaimana mengontrol organisasi agar tak menjadi tirani kekuasaan? Di sinilah desain organisasi harus dimainkan. Ritual pemilihan pejabat organisasi tak boleh dalam selang waktu yang terlalu lama, agar kepercayaan tak berubah menjadi kekuasaan, agar amanah tidak berubah menjadi serakah. Kongres
organisasi, dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, harus dilakukan dalam jarak yang tak terlalu lama. Waktu dua tahun mungkin ideal untuk mengevaluasi kerja para pejabat organisasi. Jika kerja mereka tak memuaskan, kongres organisasi akan menjatuhkan mereka. Barangkali banyak pembaca yang mengatakan bangunan kenegaraan seperti di atas jauh dari demokratis. Hal itu sangat wajar. Sebab, sudah demikian lama otak kita dicekoki oleh trias politika ala Montesquieu. Jika bangunan organisasi tanpa badan legislatif dianggap tak demokratis, boleh juga kita mengatakan bahwa partai politik, organisasi kemasyarakatan, ASEAN, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan lembaga yang tak demokratis. Di luar itu, bisa jadi pula ada yang mengatakan gagasan Tan Malaka naif dan tak bisa diikuti. Pendapat itu pun wajar. Seperti pernyataan penulis di awal tulisan ini, tak ada yang bisa dengan total mengikuti Tan Malaka. Selain terlalu lurus, Tan Malaka pasti tak bisa lepas dari belenggu zamannya. Namun tak ada salahnya kita menulis ulang semangat dalam gagasan kenegaraan Tan Malaka. Dalam Thesis, Tan meminta rakyat Indonesia tak menghafalkan hasil berpikir seorang guru. Yang penting adalah cara dan semangat berpikirnya. Ibarat seorang guru matematika, Tan tak ingin menuntut muridnya menghafal hasil sebuah perhitungan, tapi menguasai cara berpikir untuk bisa memperoleh hasil hitungan yang benar. PEMBERONTAK DARI MINANGKABAU Tuesday, 10 March 2009 04:32 Oleh Zulhasril Nasir: Guru Besar Komunikasi UI dan penulis buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau (Ombak, 2007) BERDIRI di tempat tinggi, menadahkan kedua tangannya, Roger Tol, peneliti dari lembaga Belanda KITLV, berseru, ”Mengapa di tempat yang indah dan subur ini lahir seorang pemberontak?” Harry Poeze, sejarawan peneliti Tan Malaka yang tegak di sampingnya, hanya membisu. Adegan itu terjadi di Pandan Gadang, tempat lahir Ibrahim Datuk Tan Malaka, 32 kilometer dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Kedua peneliti itu baru usai meresmikan ”Rumah Tan Malaka: Museum dan Pustaka”, pada 22 Februari 2008. Nagari Pandan Gadang tersuruk di Bukit Barisan, di antara lempit bukit dan sawah hijau membentang, kicau burung berlompatan di buah-buah ranum. Nagari memberikan kemerdekaan kepada penduduknya untuk menjadi siapa saja. Tiada lapisan sosial. Yang ada hanya fungsi sosial. Pemimpin hanya didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Lelaki dan perempuan bicara dalam adat yang sama. Tan Malaka beruntung menjadi anak seorang pegawai pertanian Hindia Belanda, selangkah lebih maju dari warga lain. Kesempatan yang diperoleh di Sekolah Rajo, Bukittinggi, tidak lepas dari kecerdasan sebagaimana yang dikatakan guru Belandanya, Horensma, di sekolah guru (Kweekschool) itu, ”Rambutnya hitam-biru yang bagus sekali, bermata hitam kelam seolah-olah memancarkan sesuatu.” Berkat gurunya ini juga Tan Malaka kemudian sekolah ke Negeri Belanda, di usia 17 tahun. Di negeri penjajah itu, Tan Malaka
menyerap ideologi yang menjadi titik perjuangannya sampai akhir hayat. Nagari tidak tunduk kepada pemerintah pusat. Nagari diatur oleh tiga tungku sejarangan: kepala adat, ulama, dan cerdik pandai. Segala aspek pemerintahan Nagari, persoalan dan kemajuan masyarakat, diselesaikan melalui musyawarah oleh ketiga unsur tadi di balairung. Kedaulatan rakyat terwujud pada pemerintahan Nagari. Pemerintahan pusat (Raja) tidak memiliki kewenangan ikut campur. Masing-masing Nagari mempunyai kedaulatan yang sama, tanpa hubungan struktural. Ketika Tan Malaka kesulitan uang di Negeri Belanda, sanak-kaumnyalah yang berpatungan mengirimkan dana (Angkoefonds). Tan Malaka menganggapnya sebagai utang, bukan sumbangan. Tan Malaka mendahului sekolah ke Negeri Belanda daripada Hatta, Nazir Datuk Pamuncak, Sjahrir, Abdul Rivai, Asaat, Ibrahim Taher, Zaharin Zain, Abdul Muis, dan Abdul Rivai. Negeri Belandalah, sebenarnya, yang membentuk wataknya: membaca, belajar, dan menderita. Dia menutupi kekurangan uang dengan mengajar bahasa Melayu, sambil berusaha menyelesaikan sekolah, dan berjuang melawan sakit bronkitis, yang bermula hanya karena tidak memiliki baju hangat pada musim dingin. Alam Minangkabau yang subur permai dan bebas tidaklah lengkap membekali anak negerinya tanpa mengaji dan pencak silat. Mengaji dan silat adalah pembentuk kepribadian dan kepercayaan diri: tak kayu jenjang dikeping; musuh indak dicari bersua pantang dielakkan; induk cari dunsanak cari, induk semang cari dahulu. Suatu ketika Tan Malaka mencalonkan diri untuk Tweede Kamer (parlemen) Belanda mewakili negeri jajahan. Orang sekarang mungkin tidak dapat membayangkan, dalam keadaan serba terbatas Tan Malaka melanglang buana membentuk dan membangun ideologi dalam perjalanan panjang dari Negeri Belanda, Jerman, Rusia, kemudian naik kereta api Trans-Siberia melalui gurun es hingga Wladiwostok di Timur, terus bolak-balik ke Amoy, Shanghai, Manila, Kanton, Bangkok, Singapura, Semenanjung Malaya, dan Burma. Di kota-kota itu, sembari membangun kekuatan antipenjajahan, ia melahirkan percikan pemikiran melalui buku, brosur, di antara bayang-bayang intelijen Inggris, Amerika, dan Belanda. Sepuluh tahun pada akhir kehidupannya benar-benar dia sumbangkan untuk tanah air, membangun kekuatan perlawanan rakyat melawan Jepang dan Belanda, meskipun berakhir di ujung peluru bangsa yang diperjuangkannya. Bukankah itu suatu kedigdayaan yang tidak dimiliki oleh semua orang? Tan Malaka bukan seorang dogmatis sebagaimana Stalinis. Dia berpikir menurut dialektika. Ketika Stalin mendakwa kesatuan Islam (Pan-Islamisme) dan Khalifah sebagai bentuk kolonialisme, Tan Malaka membantahnya. Baginya, kesatuan Islam tidaklah harus berada di Asia Barat saja, Pan-Islamisme haruslah dibangun di setiap negeri muslim. Islam, kata Tan Malaka, telah mengajarkan sosialisme dan antipenjajahan dua belas abad sebelum Karl Marx lahir. Karena itulah Pan-Islamisme harus membebaskan rakyat muslim terjajah di mana pun. Pandangan semacam ini yang kemudian menarik kaum terdidik di Minangkabau pada awal abad ke-20.
Pusat kaum pelajar di Sumatera Barat pada masa itu berada di Padang Panjang (Diniyah dan Sumatera Thawalib), Bukittinggi (Parabek Sumatera Thawalib), Padang (Adabiyah Islamic School), dan sekolah sekuler Kweekschool di Ford de Kock (Bukittingggi). Penyebab utama tumbuhnya cikal-bakal pergerakan modern kaum muda di Minangkabau adalah dibangunnya Sekolah Guru di Bukittinggi, sebagai akibat politik etis Belanda pada awal abad ke-20. Penyebab lainnya ialah kembalinya pelajar-pelajar Minang berpendidikan Kairo dan Mekah, yang mendorong berdirinya lembaga pendidikan agama secara swadaya dan berakibat tumbuhnya pemikiran baru di kalangan generasi muda Islam. Pengaruhnya sangat terasa pada dua gelombang kedatangan alumni Kairo dan Mekah, seperti Syekh Ahmad Wahab, Syekh Ahmad Chatib, Syekh Taher Djalaluddin, Syekh Karim Amrullah, Syekh Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan generasi alumni Mekah yang lebih keras, Haji Datuk Batuah, Mukhtar Lufti, dan Ilyas Jacob. Gelombang pertama kedatangan alumni Timur Tengah sebenarnya terjadi hampir satu abad sebelumnya, yaitu pra-Perang Bonjol (1820-an). Mereka adalah Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Tuanku Piobang, Tuanku Pamasiangan—tokoh-tokoh pergerakan di belakang Tuanku Imam Bonjol. Modernisasi pemikiran Islam (ada yang menyebutnya sekularisme) yang dikemukakan Muhammad Abduh dan Kemal Ataturk lebih melekat pada generasi terakhir pada awal abad ke-20 itu. Pada masa yang bersamaan berkembang pula di Jawa dan Sumatera gagasan antipenjajahan. Kemajuan pendidikan di Minangkabau—yang disebut sebagai salah satu suku yang tertinggi tingkat pendidikannya di Hindia Belanda (Kahin 2005, Poeze 1988, dan Naim 1979)—sebagai faktor kuatnya gerakan antipenjajahan dibanding daerah lain. Kahin menulis, ”Orang Minangkabau sebagai orang-orang yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik yang dari Jawa maupun dari Eropa.” Kaum pergerakan kiri di Sumatera Barat selalu mengingatkan Perang Paderi (1820-1837) dan Perang Belasting 1908 (yang menentang pemberlakuan pajak langsung kepada rakyat), untuk menumbuhkan rasa tidak puas kepada pemerintah Hindia Belanda. Gerakan kiri—diterjemahkan sebagai perlawanan terhadap kuasa, perlawanan rakyat, radikalisme, antikemapanan, komunisme, antipenjajahan—bukan hanya milik Tan Malaka. Ia menjadi subur dan berkembang di Minangkabau karena masyarakatnya menganut paham kesetaraan, kesamaan derajat, hak dan tanggung jawab (egaliter) sebagai wujud demokrasi Nagari. Banyak tokoh nasional yang lahir dari alam Minangkabau, sejak prakemerdekaan sampai pascakemerdekaan, terutama hingga era demokrasi liberal (1959). Pada penelitian saya yang bertajuk Tan Malaka, Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura (Ombak, 2007), dapat dibuktikan bahwa pejuang kemerdekaan Malaya (Malaysia) sebagian besar (21 orang) adalah keturunan dan pendatang dari Minangkabau. Mereka pendiri dan pimpinan Partai Kesatuan Melayu Malaya dan Partai Komunis Malaya. Di antaranya
ialah Ibrahim Jaacob, Ahmad Boestaman, Abdullah C.D., Rashid Maidin, Shamsiah Fakeh, dan Khatijah Sidek. Mereka bukan berada di UMNO, partai kanan. Dari segala kepeloporan tersebut para pejuang kiri Minangkabau dapat dikategorikan beraliran: Islam-komunis, Islam-nasionalis, sosialis-demokrat, nasionalis kiri, dan komunis. Kecenderungan gerakan kiri kaum muda Minangkabau tidak lain karena pembekalan alam Minangkabau itu sendiri: demokrasi, egaliter, kemajuan pendidikan, dan aktualisasi merantau. Roger Tol atau Harry Poeze mungkin mendapat jawaban—negeri yang subur dan permai itu sebenarnya melahirkan pemimpin rakyat. Kolom IBRAHIM ISA - TAN MALAKA Oleh DR. HARRY POEZE (2) Oleh : Ibrahim Isa Alias Bramijn 11-Jun-2007, 09:50:40 WIB - [www.kabarindonesia.com] KabarIndonesia – Aku harus berterus terang: Tak terduga sama sekali bahwa ruangan LAK-theater (140 kursi), Universitas Leiden, pada hari Jumát, tanggal 08 Juni, 2007, penuh dengan hadirin pada peluncuran buku DR Harry Poeze, dalam bahasa Belanda, berjudul: (dalam bahasa Indonesianya): -- "TAN MALAKA DIHUJAT DAN DILUPAKAN" --, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949. Selain Pengurus dan anggota KITLV, yang pada hari yang sama mengadakan rapat tahunan KITLV, para sahabat (termasuk orang-orang Indonesia) dan rekan-rekan Harry Poeze, -- tampak pula banyak mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh (umumnya) post-graduate studies mereka, atau sedang mempersiapkan desertasi untuk PhD mereka masiang-masing. Aku sengaja menanyakan kesan sahabat-sahabat baik yang Belanda maupun yang orang Indonesia, bagaimana kesan mereka mengenai peluncuran buku Harry Poeze itu. Umumnya punya kesan baik. Yang kutanyakan itu semua menganggap bahwa baik pengantar yang diberikan oleh Harry Poeze maupun suasana keseluruhannya adalah baik. Bukan saja karena pada pertunjukkan foto-foto di layar yang dipasang diruangan, dimulai dengan ditayangkannya teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangi oleh Sukarno dan Hatta, tetapi, ini yang paling mengesankan bagiku, adalah diperdengarkannya suara Bung Karno membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Suasana Indonesia jadinya menguasai seluruh pertemuan siang dan sore itu. Dengan diterbitkannya buku Harry Poeze, tidak mungkin orang akan berpendapat lain: Harry Poeze menunjukkan kesungguhan, ketekunan serta dedikasinya yang telah menghabiskan waktu total jendral 30 tahun, termasuk tinggal di Indonesia selama 3 bulan terus menerus (1980), dan beberapa kali mengunjungi Indonesia, untuk meriset dan meneliti tentang tokoh pejuang
kemerdekaan Indonesia Tan Malaka, serta Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia. Poeze menjelaskan bahwa ia juga meneliti arsip-arsip Komintern di Moskow, yang telah memberikan kepadanya pandangan-pandangan baru. * * * Hasil riset dan studi sejarah dan biografi Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, ditulis dalam 3 jilid, semuanya setebal 2200 halaman. Disertai pula dengan foto-foto mengenai Bung Karno, Hatta, Syahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka dll tokoh pejuang kemerdekaan yang baru pertama kali ini aku melihatnya. Sayang, ada satu salah muat. Yaitu mengenai sebuah foto Ir Setiadi, mantan Menteri Listrik Negara Kabinet 100 Menteri Presiden Sukarno. Ir Setiadi, ditangkap oleh Jendral Suharto (1966) dengan alasan 'diamankan'. Di salahnya: Di bawah foto Ir Setiadi, ditulis nama S e t i a d j i t . Jelas teks dan foto tidak cocok. Maksud Poeze adalah memasang foto Setiadjit, tapi yang dipasang foto Ir Setiadi. * * * Betapa tidak senang hati menyaksikan begitu banyak perhatian hadirin terhadap masalah sejarah Indonesia, khususnya sejarah gerakan Kiri Indonesia dan salah satu tokoh utamanya, Tan Malaka. Terlepas apakah orang setuju atau tidak setuju dengan hasil penelitian dan studi Dr Poeze itu, tiga jilid karya Poeze itu merupakan sumbangan terhadap khazanah literatur mengenai sejarah Indonesia. Perhatian terhadap masalah sejarah Indonesia, seperti yang terlihat dari kehadiran orang-orang Indonesia dan para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, melegakan hati dan menggembirakan. Setelah kutulis mengenai akan diluncurkannya buku Harry Poeze, kontan ada reaksi dari Indonesia. Mereka menyambut terbitnya buku studi biografi dan sejarah seperti yang ditulis oleh Harry Poeze. Seorang kawan dekat bahkan sudah tidak sabar lagi menunggu, ingin cepat membacanya. Buku itu begitu tebal, tiga jilid dan kalau dibawa dengan tangan terasa sekali beratnya yang 3,5 kg itu. Entah kapan buku Harry Poeze itu akan sampai ke tangan pembaca Indonesia di Indonesia, belum ada yang tahu. Belum lagi harganya yang tidak murah. Ketika kusampaikan kepada Poeze pada peluncuran itu, bahwa ada teman-teman di Indonesia yang sudah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu dalam penerbitan edisi bahasa Indonesia, dengan riang dan cerah Poeze menyatakan: 'Itu sudah pasti, itu sudah pasti'. Poeze menjelaskan bahwa dana untuk itu sudah tersedia. Dikatakannya selanjutnya bahwa menurut pikirannya, sebaiknya edisi bahasa Indonesia dari bukunya itu, tidak terbit sekaligus tiga jilid. Berangsur-angsur, dari jilid pertama, kemudian sesudah beberapa saat lamanya, jilid kedua. Baru beberapa saat kemudian lagi diterbitkan jilid ke-3. Tidak diragukan penerbitan edisi bahasa Indonesia akan disambut oleh masyarkat,
teristimwa masyarakat pencinta sejarah dan para pakar dan siswa yang menggeluti masalah sejarah Indonesia. * * * Tulisan ini pasti bukan suatu resensi tentang buku Harry Poeze tsb. Sekadar sedikit memperkenalkan tentang adanya buku yang dengan teliti telah disusun oleh seorang pakar Belanda. Meskipun fokus utama buku Poeze adalah pada tokoh Tan Malaka, namun, dengan cukup detail Poeze mengungkap situasi kongkrit menjelang dan sekitar Proklamasi Kemerdekaan oleh Sukarno dan Hatta, dan setelah itu. Mengapa misalnya pada saat-saat gawat dan genting, Tan Malaka, yang seumur hidupnya telah melakukan kegiatan politik untuk saat-saat menentukan seperti itu, justru tidak tampak permunculannya. Baik kiranya, kusampaikan sekelumit saja, apa yang disampaikan oleh Hary Poeze tentang situasi menjelang proklmasi dan mengapa pada saat-saat yang genting dan gawat di Indonesia, menjelang kekalahan Jepang dan persiapan di kalangan pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia lepas dari kegiatan persiapan yang dilakukan pada waktu pendudukan Jepang atas persetujuan tentara pendudukan Jepang, agar jangan timbul tuduhan bahwa RI yang diproklamsikan adalah boneka Jepang semata. Antara lain Poeze menulis: . . . Dimana Tan Malaka ketika ini semua terjadi, dan Republik Indonesia diproklamasikan, suatu realisasi dari cita-cita yang selama puluhan tahun diperjuangkannya? Dari Rengasdengklok, pada tanggal 9 Agustus ia (Tan Malaka) ke Jakarta. Kepastian tentang keberadaannya baru pada sore tanggal 14 Agustus diperoleh ketika ia melapor kepada Sukarni. Apa yang dikerjakannya (Tan Malaka) pada har-hari sebelumnya untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibawanya atas nama Pemuda Banten? Apakah ia menyampaikannya kepada Chairul Saleh? Tampaknya tidak. Barangkali paling dapat dipahami oleh karena Tan Malaka waspada, oleh karena itu telah gagal mencari kontak. Disebabkan oleh masa lampaunya yang begitu lama sebagai orang buangan, yang terus menerus ada di bawah ancaman penahanan, ke-hati-hatiannya menjadi obsesi dan ia hampir-hampir tidak berani mempercayai siapapun. Ia belum begitu kenal hubungan-hubungan di Jakarta untuk mengetahui dengan siapa ia dapat dengan aman melakukan hubungan, tulis Poeze. Kemudian ditambahkannya: Bisalah dimengeri bahwa ia tidak bisa ambil risiko untuk mengungkap identitasnya yang sebenarnya. Lalu ditambahkan Poeze bahwa, . . . . demikianlah pada saat-saat historis ini, Tan Malaka dengan pengikut-pengikutnya saling tidak ketemu. Dengan demikian Tan Malaka tidak langsung terlibat dalam merealisasi idam-idaman dan cita-citanya, sesuatu yang tanpa henti-hentinya diperjuangkannya. Demikian antara lain Poeze. Dengan sedikit saja mengkuakkan yang ditulis oleh Poeze dalam bukunya itu, bisa diketahui, bahwa memang buku Poeze tentang biografi Tan Malaka, bukan hanya
menyinggung, tapi, mendalami dan bahkan menganlisis situasi perjuangan kemerdekaan Indonesia, dengan mengemukakan fakta-fakta hasil risetnya, yang sebegitu jauh jarang atau bahkan tidak pernah kita dengar atau baca sebelumnya. Menyinggumg masalah dua konsep mengenai perjuangan kemerdekaan: Satu konsep yang dilaksanakan oleh empat serangkai, Sukarno - Hatta - Syahrir - Amir Syarifddin, yang (menurut Poeze) mengutamakan d i p l o m a s i , dan konsep Tan Malaka yang (lagi menurut Poze) mengutamakan p e r j u a n g a n , ternyata pada saat-saat yang menentukan ia (Tan Malaka) kalah. Ditambahkan Poeze bahwa kiri, gerakan komunis dimana Tan Malaka tergabung, ternyata amat berkeping-keping. Lanjut Poeze a.l., ---- Aspirasi Tan Malaka untuk mengambil alih kekuasaan dengan suatu alternatif yang radikal, berakhir pada bulan Maret 1946. Federasi politik PERSATUAN PERJUANGAN-nya Tan Malaka, yang tampaknya tak terkalahkan itu, ternyata hanyalah raksasa yang berkaki lumpur belaka. Demikian antara lain Harry Poeze dalam bukunya. * * * Mengakhiri tulisan ini, menarik kiranya untuk mengutip lagi apa yang a.l. dikemukakan oleh Poeze tentang Tan Malaka, sbb: Dari halaman-halaman buku ini ternyata, Tan Malaka selain sebagai pelaku dalam percaturan politik juga kemudian menjadi lambang - suatu lambang yang oleh pengikut-pengiutnya dimulyakan dan oleh orang-orang yang untuk sementara bersamanya, digunakan sebagai lambang berguna dan oleh penentang-penentangnya sebagai lambang yang dihujat. Pemahaman dan penilaian terhadap hasil studi Harry Poeze yang tak terbatas pada hanya satu tokoh TAN MALAKA, kiranya akan mengundang diskusi baru lagi, penelitian baru lagi, dan studi baru lagi, mengenai Tan Malaka, tentang banyak tokoh pejuang kemerdekaan lainnya dan mengenai REVOLUSI INDONESIA. Situasi demikian itu, merupakan dorongan bagi pemikiran baru, mengenai pelurusan sejarah atau klarifikasi sejarah bangsa kita Dalam hal ini, seperti yang dikatakannya sendiri, sebagai 'orang luar yang unik', telah memberikan sumbangannya yang berarti. * * * TAN MALAKA ; PEJUANG REVOLUSIONER YANG KESEPIAN (1)
Suasana politik, di situ termasuk sikap yang diambil serta tingkah laku yang diperlihatkan oleh mereka yang berkuasa, sering memberi kerumitan yang luar biasa dalam mendudukan seorang tokoh, (apalagi kalau dia kontroversial) secara wajar, objektif dan jujur. Kecendrungan dari sebagian penting anggota masyarakat untuk berperangai ekstri, meyangjung tokoh yang disenangi secara berlebihan sampai kadang seolah-olah, mendewakannya dan sebaliknya memperlakukan secara buruk atau dengki sekali tokoh yang dimusuhi, tambah mempersulit lagi usaha buat mencari apalagi menegakkan sesuatu secara objektif benar. Tan Malaka, (lengkapnya Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka) yang menurut salah suatu sumber lahir 2 Juni 1896 di Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Suliki, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat dan meninggal (tepatnya mati terbunuh (dibunuh?) secara tragis pada 19 Februari 1949 tepi Kali Branstas, Desa Mojo Kediri, Jawa Timur) adalah salah seorang tokoh yang rumit itu. Bertambah rumit lagi karena tokoh ini tak banyak yang mengenalnya dari dekat atau bertemu muka secara fisik. Dulu, sebagian orang mungkin banyak mendengar tentang dia dari mulut ke mulut dalam berbagai versi, atau membaca riwayat hidupnya yang dramatis --Dari Penjara ke Penjara--- serta karya-karya tulisnya yang lain. Itu semua, cenderung untuk menjadikannya seorang tokoh legendaris, manusia yang penuh misteri, yang rakyat banyak tak pernah melihat rupa dan batang tubuhnya secara riil. Tidaklah mengherankan kalau sewaktu dia muncul di rumah Ahmad Soebarjo, di Jakarta pada permulaan revolusi (25 Agustus 1945) si tuan rumah amat terperanjat, karena dia mengira bahwa tamu dan teman yang pernah dikenalnya di Negeri Belanda di permulaan tahun 1920-an itu sudah lama mati. Sewaktu Ahmad Subardjo membawa dan memperkenalkan dengan elit politik Jakarta, seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir, pada hari-hari berikutnya, tokoh ini walau pun sudah lama mereka dengar, barangkali baru pada waktu itulkah bertemu buat pertamakalinya. Bagi mereka pun, Tan Malaka tampaknya lebih banyak merupakan seorang tokoh legendaris, dan karena baru kenal masih merupakan orang asing. Suasana seperti itu, tentu mempunyai pengaruh dalam pergaulan dan hubungan politik mereka kemudian. Sebagai orang yang belum begitu kenal, sulit bagi mereka untuk menerka siapa sebenarnya Tan Malaka ini dalam arti peta bumi politik di permulaan revolusi itu. Sebaliknya, Tan Malaka yang lebih mengenal tokoh-tokoh yang lebih tua seperti Semaun dan Cokroaminoto, tentu menemui kerumitan pula dalam
memahami tokoh-tokoh yang lebih muda ini, walau pun perbedaan umurnya dengan mereka tidaklah seberapa. Suasana revolusi yang tegang dan kacau serta komunikasi yang sulit menambah mereka mengenal masing-masing secara lebih dekat dan intim. Demikianlah, pada saat kemunculannya kembali secara terbuka dalam dunia politik Indonesia, Tan Malaka menemukan dirinya sebagai seorang tokoh yang mengundang banyak tandatanya bagi mereka yang memegang kekuasaan pada waktu itu. Apalagi kalau dia sampai dianggap pula sebagai saingan berat bagi mereka yang berambisi dan ingin memonopoli kekuasaan dan ketenaran. Walau pun bagaimana, usaha buat memahami grafik perjuangan si revolusioner tua yang kesepian ini, terutama pada pemunculannya yang terakhir, barangkali dapat dimulai dengan gambaran suasana itu. II Suasana legendaris dan misteri yang dibawa Tan Malaka kadang-kadang mengagumkan dan mengharumkan namanya, kadang-kadang dieksploatir orang, kadang-kadang mengundang kecurigaan yang bisa menodai reputasi atau mencelakan dirinya. Salahsatu hal yang menjadikannya legendaris ialah karena seringnya dia muncul dengan mekakai nama samara atau alias, yang menurut pengakuannya adalah karena keperluan menghilangkan jejak sebagai buronan politik yang selalu diincer oleh spion atau intel pengusaha kolonial. Nama samarannya biasanya dipakai buat keperluan memasuki negara baru yang akan dijadikannya sebagai tenpat bersembunyi atau bergerak , seperti ia memakai nama Elias Fuentes sewaktu memasuki Manila dari Hongkong (1925-1927), Ong Song Lee sewaktu memasuki Hongkong dari Shanghai (1932, Ramli Husein sewaktu kembali dari Singapura ke Indonesia melalui Penang terus ke Medan, Padang dan Jakarta (1942) . Sewaktu bekerja di pertambangan Jepang di Bayah Banten sampai permulaan revolusi dia memakai nama samarannya yang lain adalah Cheng Kun Tat, Flisio Rivera dan Howard Law . Kerjasama yang erat antara intel pengusaha-pengusaha kolonial (Belanda, Inggris dan AS) berhasil menjaring Tan Malaka sewaktu ia memasuki Manila dari Hongkong sebagai mahasiswa Pilipina dengan nama samaran Elias Fuentes tanggal 12 Agustus 1927. Penangkapan itu dan proses pemeriksaannya menjadi berita hangat koran-koran setempat. Kaum nasionalis Pilipina dan beberapa surat kabar terkemuka jelas menunjukan simpati mereka pada nasibnya antara lain karena lengenda dan misteri perjuangannya.
Salahsatu koran “The Tribune” dalam terbitannya 16 Agustus 1927 memuji perjuangan Tan Malaka. “Tan Malaka”, tulisnya, “muncul hari ini di setiap kepala orang Pilipina sebagai patriot sejati, dan suatu ketika, kalau nasib buruk menimpannya, sebagai martir yang sahid dalam perjuangan kemerdekaan tanah airnya”. Tan Malaka disejajarkan namanya dengan patriot Pilipina angkatan Jose Rizal, dan oleh karena itu merupakan simbol dari “pergerakan nasionalis Jawa” . Akan tetapi penguasaha kolonialis akhirnya memutuskan untuk mendeportasikannya dengan dalih bahwa ia memasuki Pilipina secara tidak sah. Keputusan itu memberi angin kepada pihak yang tidak senang dengan perjuangannya buat mencemarkan nama Tan Malaka secara berlebihan pula. Sebuah mingguan “ Phlipiness Free Press” memuat tiga artikel berturut-turut yang bertolak belakang dengan sanjungan yang diberikan “The Tribune” di atas. Dia ditelanjangi habisan-habisan karena memakai nama samaran untuk masuk Pilipina secara misterius. Oleh karena dia memakai nama samaran, maka dianggap tidak pantaslah dia disamakan dengan Jose Rizal, karena bapak nasionalis Pilipina ini (berbeda dengan Tan Malaka) tidak pernah memakai nama samaran atau berjuangan secara terselubung. (BERSAMBUNG) TAN MALAKA; PEJUANG REVOLUSIONER YANG KESEPIAN (2) SUNGGUHPUN begitu, simpati yang cukup jelas diperlihatkan oleh kaum nasionalis Pilipina tampak berpengaruh terhadap yang relatif lunak, mendeportasikan sang revolusioner yang kesepian ini. Sebenarnya dalam pandangan pengusaha kolonial Tan Malaka adalah orang yang amat berbahaya . Untuk membuktikan itu, mereka tidak mengalami kesulitan melalui kerjasama yang erat buat mencari kegiatan-kegiatannya di masa lampau sebagai tokoh PKI dan agen Komintren (Moskow). Suasana anti komunis yang keras waktu itu (kini juga?) sudah cukup dipakai sebagai alasan bahwa dia berbahaya bagi keamanan dan stablitas politik (kaum kolonial/imperialisme). Dari sinopsis tadi dapat dilihat bahwa suasana legendaris dan misteri yang dibawa Tan Malaka menyulitkan orang buat menilainya secara wajar dan objektif. Di satu fihak ciri itu mudah mengundang rasa kagum, sedang
di pihak lain pada waktu yang sama ia juga merupakan sumber yang mudah dieksploatir buat mengembangkan rasa curiga dan dengki . Dari semakin jelas nya bagaimana dia muncul sebagai seorang tokoh konroversial , amat sukar untuk diterka, ditelaah dan dipahami. Tan Malaka bukan saja tampak berhasil menjadikan dirinya sebagai sumber konflik yang kontroversi, bahkan seluruh kehidupannya, termasuk kehidupan mentalnya merupakan pertarungan yang tak habis-habisnya dengan konflik . Riwayat hidupnya, bagaikan cerita detektif yang penuh ketegangan dan oleh karena itu mengasikan kalau dibaca, penuh berisi periantainnya dengan bahaya dan malapetaka. Pada saat-saat yang amat kritis ia berhasil lolos, lepas, tetapi bahaya dan malapetaka baru menghadangnya pula di depan. Yang menarik ialah justru pada saat-saat yang menegangkan itu kelihaian dan kehebatannya muncul, pemikiran-pemikirannya yang berbobot lahir. Karya-karya tulisnya yang bernilai tercipta sewaktu organ tubuhnya bertarung dengan kuman-kuman penyakit (dia mengidap tbc), atau sewaktu fisiknya meringkuk dalam penjara, atau sewaktu dia harus menanggung dan menahan kemiskinan yang menyengsarakan. Konflik memberikan tantangan dan sekaligus rangsangan baginya dan oleh karena itu dia tampak menghadapinya dengan penuh gairah. Dia menemukan vitalitasnya yang tunggu justru dalam suasana konflik. Itulah rupanya yang menjadikannya seorang revolusioner yang tak kenal lelah, seorang pemikir yang aktif, seorang idealis yang tak kenal putus asa. Sejalan dengan itu, kunci penting lain yang dapat dipakai untuk memahami tokoh ini ialah berusaha melihatnya dalam suasana seperti ini. Dalam suasan konflik kita mungkin akan dapat mengerti siapa Tan Malaka sebenarnya. III Rudolf Mrazek dalam artikelnya (1972) tentang tokoh ini mencoba mempelajari Tan Malaka melalui pendekatan “struktur pengalaman seorang personalitas politik”. Dengan “struktur pengalaman” kira-kira dimaksud totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul dalam diri seseorang melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Struktur pengalaman memberikan visi tertemtu bagi seseorang tentang bagaimana melihat dan mengartikan apa-apa yang berlaku. Seorang personalitas politik mengonsepsuilkan dirinya dan masyarakat melalui konsepsi yang sama sesuai dengan visi (atau nilai-nilai ) struktur pengalamnya, atau apa yang telah membudaya dalam dirinya. Struktur penglamana Tan Malaka , menurut Mrazek, adalah typis masyarakat Minangkabau pada akhir abad yang lalu atau permulaan abad ini yang mempunyai “dinamisme” dan “anti-parokhialisme” sebagai ciri khasnya. Melalui struktur pengalaman itu, masyarakat Minangkabau mempunyai persfektif, yang sampai sekarang nampak masih kuat dipegang, bahwa adat dan falsafah Minangkabau memandang konflik sebagai esensil buat mencapai dan mempertahankan perpaduan/integrasi masyarakat. Alam Minangkabau diliaht melalui kacamata “dialektika” yang selalu mampu menemukan keserasian dalam suasana kontradiksi . Kemampuan adat bertahan melawan perubahan zaman terletak pada keluwesannya mengembangkan diri dalam menerima proses pembaharuan. Dari segi bentuk adat dipertahankan agar tetap tidak berubah, tetapi unsur-unsur baru dari luar yang baik diterima dan dimasukan kedalamnya. Dalam hal ini kaitan yang erat antara adat dan agama (Islam)., umpamanya, dapat dilihat melalui perspektif itu. Perspektif itu juga dipegang, atau dipakai sebagai alasan yang rasional, dalam memberikan respon terhadap kekuasaan kolonial dan kebudayaan Barat. Demikianlah analisa Mrazek tentang masyarakat Minangkabau yang umumnya didasarkan atas karya-karya ilmiah Taufik Abdullah. Yang menarik perhatian ialah karena masyarakat Minangkabau berhasil mengidealisasikan adat dan falsafah hidup mereka melalui perspektif dinamisme dan anti parokhialisme itu, sehingga bukan saja tampak relevan dengan tetapi juga mendorong proses kemajuan atau modernisasi . Tidaklah mengherankan kalau kaum cendikiawan Minangkabau berpendidikan barat pada pertukaran abad ini terundang untuk memegang dan menerima visi itu, terutama karena mereka melihat bahwa alam Minangkabau membuka diri terhadap perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi pada waktu yang sama pula mempu mempertahakan karakter dan bentuknya yang asli. Oleh sebab itu, pemasukan unsur-unsur baru dari luar (yang dianggap baik tentunya tentunya) ke dalam alam atau masyarakat mereka tidaklah berarti merusak atau memperlemahnya, melainkan justru memperkuat dan memperkayanya. Pada waktu yang sama proses dinamis itu dengan sendirinya pula menyingkirkan elemen-elemen yang terbukti lapuk atau usang dari alam itu sendiri. Logikanya, alam atau adat Minangkabau mempunyai dinamika sendiri untuk mengambil baik dari luar dan menyisihkan yang buruk dari dalam. Dalam dinamika itulah kekuatannya terletak sehingga menjadikan dirinya tetap relevan dari zaman ke zaman. Menurut Mrazek, Tan Malaka termasuk salah seorang cendekiawan Minangkabau yang menerima visi atau idealisasi adat dan falsafah hidup masyarakat Minangkabau yang begitu. Itulah landasan atau struktur pengalamannya. Sikap, tingkah laku politik serta jalan pemikarannya amat diwarnai itu. Proses pemasukan unsur-unsur luar atau baru terutama dimungkinkan oleh konsep “rantau” . Pergi merantau menurut visi falsafah Minangkabau itu, membuka mata warganya buat mengenal dunia luar yang luas di mana mereka akan menemui hal-hal baru yang nanti akan dibawanya pulang. Pada waktu yang sama karena berada di luar alam Minangkabau, si perantau akan mampu
melihat diri dan peranannya secara lebih jelas dalam konteks kepulangannya tadi. Dengan lain perkataan, si perantau betapa jauh pun pergi, pada suatu waktu akan kembali ke alamnya dengan segala bawaanya --harta atau pun ilmu. Dia, karena sudah luas pengetuannya, diharapkan akan memainkan peranan sebagai juru penerang atau guru atau ulama sehingga masyarakatnya bisa ikut menerima apa yang baik dari rantau dan melihat, lalu membuang, apa yang buruk dalam alam mereka sendiri. Di sini jelas terlihat bahwa pengertian rantau bukan semata mencari uang atau harta, melainkan juga menuntut ilmu atau mengaji. Ditarik lebih jauh, di samping merantau secara fisik , secara mental (pemirian) seorang (dalam hal ini cendekiawan) juga bisa merantau. Berdasarkan batasan ini, Tan Malaka adalah seorang perantau, baik secara fisik mau pun secara mental. Kedudukan perantau yang begitu mulia dalam masyarakatnya dan juga karena landasannya truktur pengalamannya sendiri memperkuat atau membenarkan itu, maka Tan Malaka melihat dirinya sebagai guru atau pembaharu masyarakatnya. Tingkah laku politik serta pemikiran-pemikirannya juga tampak diwarnai oleh pemahaman pernanan itu dalam dirinya. Rantau pertama yang dialami Tan Malaka ialah ketika dia meninggalkan desa tempat lahirnya pergi menuntut ilmu ke “Sekolah Raja” di Bukitinggi. Walau pun berada di alam Minangkabau, tapi alam asalnya adalah nagari Pandam Gadang. Sewaktu dia tamat belajar di Bukittinggi, ia diberi gelar Datuk Tan Malaka oleh kaum atau sukunya sebagai kepala adat mereka. Baginya yang masih berusia remaja itu pemberian gelar begitu tinggi tentu berkaitan erat dengan ilmu yang diperolehnya di rantau, dan itu sekaligus membenarkan serta memperkuat visi struktur pengalamannya di atas. Ia menjadi orang terpandang bukanlah karena kebetulan malainkan karena dinamika adat dan falsafah Minangkabau itu sendiri. Si perantau yang sukses pulang kampung halaman buat menerima elusan kaumnya. Tidak lama setelah itu, ia pergi lagi melanjutkan studinya. Kali ini ke negeri Belanda, perantauan yang amat jauh bagi seorang anak muda yang baru berumur 16 tahun. Walau pun landasan struktur pengalamannya relatif sam, namun ruang lingkup alamnya lambat laut berubah dari Nagari Pandam Gadang yang kecil meluas menjadi alam Minangkabau dan kemudian Indonesia. Dengan lain perkataan lain visi adat dan falsafah Minangkabau yang dimilikinya dikembangkannya untuk memahami dan menginterpretasikan permasalahan-permasalahan masyarakat Indonesia. Titik tolak dari pemikiran-pemikirannya adalah visi atau perspektif yang berasal dari kebuadayaan Minangkabau seperti dijelaskan tadi. Hal
ini jelas membekas dalam karya-karya tulisnya, terutama dalam karya terbaiknya MADILOG. IV Visi adat dan falsafah Minangkabau di atas menuntut kepada warganya, terutama si perantau, untuk mengontraskan atau membandingkan dunia rantaunya dengan realita alam asalnya, karena hanya engan jalan begitulah dia akan mampu melihat mana yang baik mana yang buruk dari keduanya. Hal itu mengundang orang untuk berpikir kritis dan itu bisa terjadi dengan tajam kalau ada referensi yang bisa dipakai sebagai pembanding. Alam tempat asal adalah referensi itu. Dari situ dapat pula dilihat bahwa visi itu sebenarnya menekankan cara berfikir dialektis, dan oleh karena itu kontradiksi atau konflik dianggap wajar, terutama karena dipahami bahwa susana kontradiksi atau konflik itu akan selalu dapat diintergrasikan atau diselesaikan secara memuaskan atau harmonis melalui pemilihan mana yang baik dan mana yang buruk. Keberhasilan dari pemilihan itu tergantung pada akal, yaitu kemampuan berpikir secara rasionil. Kalau begitu visi ini mendorong orang untuk berpikir secara kritis, dinamis atau dialektis. Cara berpikir demikian dengan sendirinya menolak dogmatis atau parokhialisme. Karena menolak dogmatis, maka dengan sendirinya menghendaki kebebasan berpikir . Cara berpikir yang dikembangkan Tan Malaka, yang dalam kamusnya dikenal dengan “thesis-antithesis-syinthesis” tampak sesuai sekali dengan visi di atas. Rantau bagi Tan Malaka adalah antithesis yang berkonflik dengan thesis (alam sebagai referensi asal), dan dari situ lahirlah synthesis --hasil pemikiran atau idealisme baru-- yang mendorong manusia untuk mengadakan perubahan-perubahan buat perbaikan nasibanya. Dia mengembangkan cara berfikir begini secara luas dalam bukunya MADILOG, kependekan dari Materialisme, Dialektika dan Logika, yang ditulisnya dalam tahun 1942-1948. Pada esensinya MADILOG dimaksudkan sebagai suatu “cara berpikir” baru yang dapat dipakai untuk memerangi cara berpikir lama yang amat dipengaruhi oleh dunia mistik atau tahyul yang menyebabkan orang menyerah kepada alam. Walau pun Tan Malaka mengakui cara berpikir baru yang diperkenalkannya ini banyak berasal dari dunia Barat yang rasional logis dan marxist-leninist, Mrazek justru menunjukan bahwa pada dasarbya itu berasal dari visi lahir dan struktur pengalamannya yang sudah lama terbentuk oleh adat dan falsafah Minangkabau. Memang Tan Malaka doyan sekali memakai terminologi marxist dan leninis dalam karya-karyanya. Tetapi, hal yang selalu ditekannya berulangkali adalah kekuatan ide (the power of ideas) sebagai perangsang perubahan sosial, bukan kekuatan dinamis dari pertentangan kelas.
Di samping itu, konsep-konsep yang dilontarkannya mempunyai pengertian sendiri yang biasanya berlaku di Barat. Bagi Tan Malaka, materilisme adalah “cara berpikir” yang realistis, pragmatis dan fleksibel. Orang yang berpikir dengan cara materalisme ini terutama memusatkan perhatiannya pada apa yang dekat dengannya, apa yang mempengaruhi kehidupannya secara langsung . Orang yang begitu melandaskan kegiatan atau hasil karyanya berdasarkan serangkaian bukti yang nyata, yang sudah dialami dan dapat dicek. Barangkali secara kasar pengertian materilisme Tan Malaka adalah cara berpikir yang terpusat pada masalah bagaimana memperbaiki atau mengubah kehidupan duniawi secara realistis dan pragmatis. Etat berkaitan dengan itu ialah konsep dialektika, yang dimaksudkannya untuk memerangi cara berpikir yang pasif atau dogmatis. Cara berpikir pasif dan dogmatis ini bertalian dengan kepercayaan masyarakat yang masih dalam terhadap kekuatan-kekuatan gaib (mistik), dan itu menyebabkan mereka tidak percaya kepada kemampuan intelektuil dan kekuatan mereka sendiri untuk mengubah dunia materi. Dia mengecam habis cara berpikir dogmatis sebagai menjerumuskan masyarakat ke dalam penipuan diri sendiri, kepasifan, mentalitas budak, dan itulah yang mengakibatkan takluknya dunia Timur kepada Barat. Sebalinya, dia menyanjung cara berpikir dialektis karena itu memungkinkan orang mengembangkan pemikiran atau intelektualnya secara terus menerus. Jadi, kunci dari pengertian dialektika Tan Malaka adalah cara berfikir aktif dan terus menerus , atau berfikir dinamis. Tetapi berfikir dinamis itu harus berlandaskan akal atau logika. Di sini kita kembali melihat pertemuan antara visi adat dan falsafah Minangkabau dengan cara berpikir yang ingin dikembangkan Tan Malaka. Akan tetapi untuk menyatakan bahwa hasil-hasil pemikiran Tan Malaka hanya membersit dari visi atau idealisasinya tentang adat dan falsafah Minangkabau mungkin terasa amat berlebihan keterlaluan. Ia sendiri mengakui bahwa dia juga melihat pada modernisme Islam (yang juga mulai berkembang di Minangkabau atau tempat lain sewaktu mudanya) sebagai pendorong cara berpikir dinamis dan anti dogmatis. Dari dunia Barat yang banyak diketahuinya dalam perantauan dia juga melihat begitu, bukan saja dari aliran Marx dan Lenin, tetapi juga dari dinamika yang diperlihatkan oleh masyarakat Amerika dan Jerman. Sungguh pun begitu, visi dan falsafah Minangkabau seperti di atas, mungkin membelaki dia dengan suatu persfektif dasar yang tajam sehingga memungkinkannya untuk selalu tetap kritis terhadap sesuatu hal baru yang ia temui di dunia luar. Pertemuannya dengan cara berpikir dialektis di Barat mungkin telah memperkuat atau bahkan memperluas persfektif tadi. Yang amat penting mungkin ialah bahwa struktur pengalaman Minangkabau yang dibawanya itu tidak menjadikannya rendah
diri terhadap pemikir-pemikir besar di Barat. Dia tentu belajar dari karya-karya mereka, tetapi sebagai seorang intelektuil yang kritis, bukan sebagai murid yang “nrimo” aja. Oleh sebab itu, dia tidak pernah menjadi pengikut pemikiran seseorang apakah itu Marx atau yang lain secara dogmatis. Bahkan kalau kita ikuti cara berfikir dialektis, yang biasanya dikaitkan dengan Marx, Marx sendiri tentunya juga menentang dogmatis, tidak peduli apakah yang dijadikan dogma itu adalah hasil-hasil pemikirannya sendiri. Marx yang sejati, menurut salah seorang yang mempelajarinya secara tekun dan kritis, Michael Harrington, menginginkan kebebasan berfikir dan oleh karena itu mengutuk dogmatis. Segi lain dari adat dan falsafah Minangkabau yang tampak berpengaruh pula pada Tan Malaka ialah tuntutan untuk selalu melihat pada realita yang ada di alam tempat asalnya sebagai referensi pembanding. Sebagaimana telah dikemukakan, pengertian alam di sini tentu bisa berubah dan meluas sifatnya. Dalam pemikiran-pemikirannya, Tan Malaka boleh dikatakan tidak pernah lupa pada referensi pembanding itu. Pengatahuannya yang cukup dalam tentang masyarakatnya, sebagai referensi menjadikan dia semakin bertambah kritis terhadap dunia luar. Itu memberi kekuatan padanya untuk tidak mudah terpukau dengan ide dan pemikiran orang lain. Ia tetap mempunyai kemampuan untuk mengembangkan, mengemukakan pemikirannya sendiri. Oleh sebab itu, Tan Malaka dapat dikatakan bertuan kepada dirinya sendiri, baik dalam tindakan politik maupun dalam berfikir. Hubungannya dengan kaum komunis dapat dipakai sebagai salahsatu ilustrasi tentang itu. V Pada tahun-tahun pertama Tan Malaka di negeri Belanda , ia nampak tertarik dengan gairah kemajuan Amerika Serikat dan Jerman. Tetapi, sukses Revolusi Bolsyewik tahun 1918 di Rusia semakin mendorongnya ke kiri. Literatur-literatur beraliran ini semakin banyak dipelajarinya. Pada tahun 1919 dia kembali ke Indonesia sebagai guru (dengan gaji besar yang disamakan dengan gaji orang Eropa) di perkebunan Senembah My, Deli. Kontras kehidupan yang amat tajam antara tuan-tuan kolonial yang mewah dengan kuli-kuli inlander yang sengsara sangat memuakkannya. Pengaruh revolusi Bolsyewik semakin tertanam dalam dirinya, dan dari situ idenya tentang revolusi sebagai solusi buat menyelamatkan bangsa Indonesia dari cengkraman kaum kapitalis-kolonialis berkembang cepat. Ia menjadi semakin revolusioner. Senembah May, dengan gaji besar ditinggalkannya . Ia berlayar ke Jawa (1912). Pertemuannya dengan tokoh komunis kenamaan, Semaun membawanya ke sarang PKI di Semarang, di mana ia diberi tugas buat memimpin sebuah sekolah yang diselenggarakan oleh partai itu. Suksesnya dalam menjalankan sekolah itu dan oleh karena itu kemudian terkenal dengan sebuat “Sekolah
Tan Malaka” mengobitkan namanya dalam PKI. Dalam waktu relatif pendek ia berhasil menjadi ketuanya, tetapi hanya buat beberapa bulan. Sewaktu ia terlibat dalam kegiatan pemogokan buruh di permulaan 1922 dia ditangkap pengusaha kolonial dan dibuang ke luar negeri. Pengangkapan dan pembuangan ini memastikan dirinya sebagai pejuang revolusioner. Partai komunis Belanda menjadikan ia “martir” atau pahlawan dan dipasang sebagai calon nomor tiganya dalam pemilihan umum. Kepopuleran Tan Malaka jelas terlihat ketika ia berhasil mendapatkan suara terbanyak kedua di partai itu. Walau pun suara itu memungkinkannya duduk dalam parlemen Belanda, tetapi hal itu tak mungkin terjadi karena ia hanya calon resmi nomor tiga (Partai Komunis Belanda hanya memenangkan dua kursi) dan juga karena umurnya belum cukup. Sementara itu dia sudah berada di Berlin dalam perjalanannya ke Moskow buat memainkan peranan lain. (BERSAMBUNG) TAN MALAKA; PEJUANG REVOLUSIONER YANG KESEPIAN (3) SEWAKTU di Semarang, dia sudah menunjukan sikap bebasnya dalam pemikiran atau ide yang dikemukakannya, kadang-kadang bahkan mengambil posisi yang berlawan dengan tokoh-tokoh PKI lainnya. Visi revolusi Tan Malaka dari semula adalah menentang kolonialis-imperialis Belanda. Masyarakat Indonesia versus kekuasaan kolonial sebagai titik tolaknya. Tidaklah mengherankan kalau dia kemudian menetang sikap garis keras yang diperlihatkan oleh sebagian tokoh penting PKI dalam percekcokan mereka dengan Sarekat Islam. Perpecahan seperti ini menurut Tan Malaka hanya melemahkan kekuatan bangsa Indonesia secara keseluruhan dalam menentang penjajah, dan oleh karena itu perlu dihindari. Sikap keras yang ditunjukan tokoh-tokoh PKI rupanya sebagian dipengaruhi oleh kebijaksanaan politik Komintern di Moskow yang menentang PAN Islamisme (Modernisme Islam) sebagai corak baru dari imperialisme. Tan Malaka tidak bisa menerima sikap Komunis Internasional itu, antara lain karena menurut dia Pan Islamisme justru bangkit menentang imperialisme Barat yang menjajah kaum Muslimin di berbagai negara di dunia ini. Ciri Pan Imperialisme juga anti imperialisme. Di samping itu, Tan Malaka rupanya juga memahami juga bahwa jiwa mordernis yang dibawa Pan Islamisme sesuai dengan sikap anti dogmatisnya. Tambahan lagi, Islam secara realistis merupakan kekuatan politik yang besar di Indnesia.
Itu menyebabkan Tan Malaka menilai bahwa sikap anti PAN Islamisme Moskow tidaklah mencerminkan realita suasana perkembangan dunia pada waktu itu, dan sejalan dengan itu sikap anti Sarekat Islam dari PKI tidak pula sesuai dengan keadaan sebenarnya dari masyarakat Indonesia. Setia kepada pandangan politknya yang berasal dari hasil pemikirannya sendiri, Tan Malaka meneruskan sikap bebasnya itu sewaktu dia berkesempatan berbicara di muka Kongres Komintren sebagai wakil PKI, tidak lama sesudah dia dibuang ke Belanda. Tan Malaka tetap mengemukakan kekeliruan kebijakasanaan Komintern terhadap Pan-Islamisme dan menghendaki agar sikap itu diubah. Namun, Komintern tidak menghiraukan apa yang dikatakan Tan Malaka. Dari uraian di atas jelas kelihatan bahwa Tan Malaka mengembangkan dan berani mengemukakan pemikirannya sendiri, walau pun dia berbeda atau bertentangan dengan garis politik yang ada. Salahsatu kasus lagi ialah pertentangannya dengan tokoh-tokoh PKI mengenai pemberotankan tahun 1926/1927. Sewaktu Tan Malaka mengetahui bahwa tokoh-tokoh PKI akan mencetuskan pemberontakan (Putusan Prambanan 1925), Tan Malaka berusaha mencegahnya karena menganggap saatnya belum tiba. PKI masih kecil, belum berkuku tak mungkin mampu menggerakkan massa rakyat. Lagi pula gerak-geriknya selalu diawasi secara ketat oleh pengusaha kolonial. Tan Malaka menganalisa, kalau pemberontakan itu jadi dilakukan akan mengalami kegagalan. Usahanya untuk mecegah memang tidak berhasil. Pemberontakan meletus di Sumatera Barat dan Banten, tetapi dalam waktu pendek berhasil dilumpuhkan pengusaha pengusaha kolonial. Analisa Tan Malaka terbukti benar. Dilhat dari kacamatanya, tokoh-tokoh PKI yang mencetuskan pemberontakan itu tampak berfikir atau mengikuti ideologi secara dogmatis dan oleh karena itu nekad. Sikap bebas yang diperlihatkan Tan Malaka, baik dalam tingkah laku politik mau pun pemikirannya merupakan sumber penting dalam perselisihannya dengan kaum komunis di belakang hari, apalagi kalau mereka dianggapnya terlalu dogmatis terhadap ideologi. Sebagaimana diketahui kemudian, Tan Malaka berpisah dengan orang-orang komunis, karenanya kaum komunis memperlihatkan sikap tak senangnya terhadap Tan Malaka dengan berbagai macam cara antara lain dengan jalan menuduh Tan Malaka sebagai beraliran atau menjadi pengikut Trotsky, seorang tokoh yang dibenci dalam dunia komunis, karena dianggap menyeleweng.
Bahkan Tan Malaka kemudian dituduh penghianat yang menyebabkan gagalnya pemberontakan 1926/1927. Orang yang amat mengharagai kebebasan berfikir seperti Tan Malaka tak mungkin mampu menyesuaikan diri dengan organisasi yang dikendalikan oleh sikap dogmatis terhadap idelogi secara ketat. Orang seperti Tan Malaka akan mampu melihat dan mengemukakan apa yang dianggapnya baik (atau buruk) di mana pun letaknya. Dalam hal ini pendangan Tan Malaka tentang Barat merupakan contoh terbaik dari hasil kebebasan berfikirnya. Sungguh pun dia secara politik dan ekonomis menantang kapitalis dan imperialisme Barat. Namun, ia masih bisa melihat segi-segi positif dari sana dan menganjurkan agar itu diambil tanpa malu-malu. "Akuilah dengan putih bersih," tulisnya. "Bahwa kamu (orang Indonesia) sanggup dan mesti belajar dari Barat. Tapi kamu jangan peniru Barat, melainkan seorang murid dari timur yang cerdas.....Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia , bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri.....Seseorang yang ingin menjadi murid Barat atau manusia, hendaknya ingin merdeka dengan memakai senjata Barat yang orisinil..." Pada waktu yang sama hasil pemikirannya juga mengemukakan secara berani dari segi-segi kelemahan masyarakat Indonesia yang ingin dikikisnya, terutama sikap yang sangat menghargai kebudayaan kuno yang dianggap Tan Malaka penuh berisi kesesatan, kefasifan dan tahayul yang menyebabkan mereka bersemangat budak. Dalam MADILOG, kebudayaan kuno yang dianggapnya menghalangi orang berpikir bebas, kritis dan dinamis ialah kebudayaan Hindu-Jawa. Kebudayaan Hindu yang datang dari India ke Indonesia, dan terutama berpengaruh di Pulau Jawa, menurut Tan Malaka telah melahirkan mentalitas budak sebagaimana terlihat dari sisa-sisa feodalisme. Di sini dia, apakah untuk keperluan pengontrasan, memang terasa memperlakukan kebudayaan Hindu-Jawa secara kurang simpatik. Sebagian dari itu mungkin disebabkan oleh pengetahuannya yang relatif terbatas, atau juga mungkin karena dia menganggap bahwa visi kebudayaan Minangkabau yang asli jauh lebih unggul, sehingga mendorongnya untuk mengambil generalisasi yang tampak sulit untuk dipertahankan. Kalau seandainya Tan Malaka membaca pemikiran-pemikiran Soekarn, seperti yang terbit antara tahun 1926 dan 1933, dia akan menemui bagaimana seorang yang sedikit banyaknya terpengaruh oleh sisa-sisa kebudayaan Hindu-Jawa yang dikutuknya itu berhasil melahirkan ide-ide yang berbobot dan berani. Dalam suasananya sendiri, yaitu secara pribadi membaca literatur-literatur Barat, Soekarno sebenarnya secara mental melakukan perantauan. Dia melakukan cara berfikir aktif dan
dinamis, darimana lahir pula konsep-konsepnya yang orisinil dan tajam seperti "Marhanenisme". Secara garis besarnya, cara berfikir Soekarno tidak jauh berbeda, kalaulah tidak identik, dengan Tan Malaka, di mana ciri-ciri dimanis atau dialektisme jelas terlihat sebagaimana Tan Malaka, Soekarno secara kritis mempelajari pemikiran-pemikiran Barat, terutama yang berasal dari kaum sosialis, yang sering dipakainya sebagai alat buat memperjelas hasil-hasil pemikirannya sendiri. Barangkali, setiap masyarakat dalam pertemuan dengan dunia dan kebudayaan luar, seperti Barat, akan terpaksa membuka dirinya buat menerima kemungkinan lahirnya orang-orang yang berani berfikir dinamis dan kritis sebagai akibat langsung dari pertemuan dua kebudayaan itu. Orang-orang inilah yang melahirkan syinthesis berupa pemikiran-pemikiran baru yang dianggapnya relevan dan oleh karena itu bisa dipakai buat suasana baru yang sedang atau akan muncul. Kalau di Minangkabau salah seorang dari mereka itu adalah Tan Makaka, maka di Jawa salah seorang dari mereka adalah Soekarno. VI Sebagaimana dapat dilihat tadi, Tan Malaka hampir selalu menemukan dirinya dalam suasana konflik, yaitu melihat hal atau ide yang tak sesuai dengan yang diharapkan atau dipunyainya. Dia hampir selalu berhadapan dengan kondisi thesis-antithesis yang menuntut kepadanya untuk melahirkan Synthesis. Suasana yang tegang itu, sebagaimana antara lain terlihat dalam otobiografinya, merupakan tantangan yang diterimanya dengan sepenuh hati, dan itu telah menjadikannya seorang intelektuil yang amat produktif. Sesuai dengan dinamika jalan pikirannya, ia tak pernah menyerah pada suatu tantangan, karena yakin bahwa pada akhirnya kekuatan intelektuilmenya akan berhasil mengatasinya dan keluar sebagai pemenang. Konflik, kontadiksi atau tantangan baginya adalah wajar dan lumrah. Pada esensinya pemikiran-pemikiran dan perjuangan Tan Malaka terpusat pada tujuan untuk memerdekakan bangsanya dan sekaligus merombaknya secara total dan dratis dalam segala bidang-- politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sewaktu di pembuangan dan menjadi salah seorang agen Komintern di Canton, dia menerbitkan buku (1925) "Menuju Republik Indonesia" (titel aslinya; Naar de Republik Indonesia). Dalam karyanya ini ia mengemukakan program-program untuk mencapai atau menuju berdirinya Republik Indonesia yang menyangkut berbagai macam bidang seperti politik, ekonomi, sosial,
pendidikan bahkan militer. Program-program ini sebenarnya dimaksud Tan Malaka sebagai pegangan partainya (PKI) yang diinginkannya untuk mengambil atau memainkan peranan pimpinan revolusioner ke arah yang dicita-citakannya. Akan tetapi, hubungannya dengan tokoh-tokoh PKI, sebagaimana yang telah diungkapkan tadi, kemudian memburuk dan akhirnya rusak sama sekali setelah terjadi pemberontakan 1926/1927. Pemberontakan yang dikecam Tan Malaka sebagai perbuatan konyol itu praktis melumpuhkan PKI sebagai kekuatan politik waktu itu. Kritik Tan Malaka terhadap kegagalan pemberontakan itu melahirkan karyanya "Massa Aksi", di mana ia menekankan bahwa suatu revolusi Indonesia hanya mungkin terjadi dengan berhasil kalau didukung oleh massa rakyat yang tersusun/teroganisir. Di sini kembali tampak denhan jelas bahwa dia menginginkan agar kaum proletar memegang pimpinan revolusioner, tetapi syarat untuk sukesnya revolusi itu baginya tetap dukungan massa yang kuat. Bahkan, kalau sudah berhasil, yaitu kemerdekaan Indonesia tercapai, dia masih melihat bahwa kerjasama dan persauan antara berbagai golongan, terutama antara proletar dengan yang bukan proletar, tetap meupakan syarat mutlak dan perlu dipertahankan. Bilamana kerjasam itu, kata Tan Malaka, sampai terputus, ia memperkirakan kemungkinan lahirnya suasana yang menuju kepada perbudaan nasional, atau kasarnya penjajahan oleh bangsa sendiri, oleh satu golongan yang berkuasa. (Lihat dalam buku "Menuju Republik Indonesia"-1925) Tetapi mengapa revolusi? Di samping pengamatannya yang melihat bahwa itu lah yang terbaik untuk mengeyahkan kaum kolonialis-imperialis dari bumi Indonesia, dia juga mempunyai alasan atau argumentasi lain. Menurut Tan Malaka, bangsa Indonesia belum mempunyai riwayat sendiri selain dari perbudakan, baik perbudakan dalam bentuk feodalisme (oleh bangsa sendiri) mau pun dalam bentuk penjajahan (oleh bangsa asing). Implikasinya, bangsa Indonesia baru akan mempunyai sejarah sendiri yang tidak bersifat perbudakan kalau berhasil mengadakan revolusi total, yakni mengeyahkan penjajah ke luar dan sekaligus membersihkan diri ke dalam. Revolusi Indonesia, kata dia, mempunyai dua tombak , yaitu mengusir imperialis Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Revolusi semacam itulah, bilamana berhasil dilaksanakan akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politi, ekonomi, sosial dan bahkan mental, dan itu berarti lahirnya masyarakat baru yang tidak lagi diwarnai oleh perbudakan. Masyarakat Indonesia
baru yang diinginkan Tan Malaka dan sekaligus menjadi tujuan revolusinya adalah masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialis. Masyarakat semacam itu hanya bisa lahir kalau dilandasi oleh dasar kerakyatan. Kerakyatan itulah, dalam terminologi politiknya "murbaisme, yang menjadi tujuan akhir dari revolusi Tan Malaka. Setelah PKI praktis dihancurkan oleh pengusaha kolonial, dalam bulan Juli 1927 Tan Malaka bersama-sama dengan Subakat dan Djamaludin Tamim mendirikan "Partai Republik Indonesia" atau PARI di Bangkok. Pendirian PARI ini menarik perhatian, terutama dalam hubungan Tan Malaka sebagai tokoh komunis di pembuangan pada waktu itu dari segi kelanjutan usahanya merealisir cita-cita revolusinya. Inisiatifnya mendirikan PARI sebagian berasal dari percekcokannya dengan kaum komunis Indonesia (peristiwa pemberontakan 1926/1927 dan ketidaksesuaiannya dengan sikap politik Komintern (terutama yang menyangkut PAN Islamisme). Sementara itu, Moskow juga tampak lebih banyak memakai Komintern buat kepentingan "hegemony" internasional Rusia daripada kepentingan perjuangan kaum nasionalis di daerah-daerah jajahan. Di sini, kalau analisa di atas betul, jelas kelihatan bahwa warna nasionalime dalam diri Tan Malaka jauh lebih tajam daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Itulah salahsatu faktor yang telah memungkinkannya mendirikan sebuah partai baru (PARI) tanpa merasa terikat untuk memasukan kata komunis di dalamnya. Hal ini tentu juga berkaitan erat dengan sistim pemikirannya yang mengutamakan kebebasan dan dinamika. (BERSAMBUNG) TAN MALAKA; PEJUANG REVOLUSIONER YANG KESEPIAN (4) Sungguhpun begitu, Tan Malaka tidak pula mungkin dapat melepaskan sama sekali dari kaitan pengaruh Marx yang telah mengilhami revolusi Rusia. Sukses revolusi Rusia, sangat berkesan bagi Tan Malaka dan oleh sebab itu, tak mungkin hapus begitu saja. Secara idealis dan teoritis Tan Malaka mungkin masih mengganggap dirinya seorang bolsyewik yang lebih mengerti dan mengutamakan realita bangsanya. "Marxisme", katanya, bukan kaji hafalan (dogma) melainkan suatu petunjuk untuk revolusi. Oleh karena itu, sikap marxis perlu bersikap kritis terhadap petunjuk itu. Sikap kritis itu antara lain sangat ditekankan pada kemampuan untuk melihat perbedaan dalam kondisi atau faktor sosial dari suatu
masyarakat dibanding masyarakat-masyarakat lain. Dari situ akan diperoleh kesimpulan oleh ahli revolusi di Indonesia atau pun di Hindustan (yang) tentulah berlainan sekali denhan yang diperoleh di Rusia. Yang sama cuma cara berpikir dialektika materalistis. Setelah sebulan PARI berdiri dia pergi ke Manila (melalui Hongkong) dan tertangkap. Sewaktu yang memeriksanya menanyakan apakah dia mengerti apa yang dimaksudkan dengan bolsyewikisme. Ia jawab: "Ya". Apa itu? "Itu adalah doktrin melalui apa kelas buruh di dunia dapat mencapai emansipasi sosial dan politik dengan jalan mempersatukan diri mereka buat mengubah sistim yang berlaku sekarang dengan jalan apapun. "Apakah anda mengikuti doktrin itu? (pertanyaan). "Secara teoritis, ya. Terapi tujuannya tergantung pada batasan -batasan (kondisi) yang terdapat di masing-masing negeri." Sewaktu Tan Malaka ditanya apakah ia percaya pada pemakaian kekerasan senjata untuk mencapai kemerdekaan. Dijawab: "Saya percaya pada aksi massa untuk mencapai kemerdekaan kami dengan cara apapun, apakah fisik atau cara yang lain, politik, ekonomi dan kalalu perlu dengan kekerasan fisik dan senjata." Pada bagian lain, Tan Malaka mencoba memisahkan dirinya dengan PKI (dengan mengaku sebagai bekas ketua Sarekat Rakyat, bukan ketua PKI) dan komintern (dengan menyangkal bahwa ia bukan agitator merah atau agen bolsyewik). "Saya bukan seorang bolsyewik," katanya menyangkal tuduhan. "Kalau seseorang mencintai tanah airnya memperlihatkan memperlihatkan bolsyewikisme maka panggilah saya bolsyewik." Penguaha kolonial di Pilipina (Amerika Sertikat) karena bekerja sama erat sekali dengan pengusaha kolonial Belanda tentu mempunyai data lengkap tentang kegiatan-kegiatan Tan Malaka di masa lampau yang isinya paling kurang sebagian berlainan dengan keterangan Tan Malaka di atas. Sikap anti komunis yang keras dari penguasa-penguasa kolonial, dan terjadilah malapetaka pemberontakan PKI 1926/1927 yang berakibat buruk bagi aktivis-aktivis PKI, barangkali merupakan penyebab kuat mengapa perlu untuk agak membohong tentang kegiatan politik masa lampaunya. Sungguhpun begitu, pengakuannya bahwa ia menerima bolsyewik secara teoritis dan tidak menolak kemungkinan untuk memakai kekuatan fisik buat mencapai kemerdekaan mungkin dapat dianggap sebagai suatu sikap konsisten dan konsekwen, paling kurang dalam kaitan pandangannya
terhadap Marxisme sebagai petunjuk untuk berevolusi, bukan dogma atau kaji hafalan. Kalau boleh disimpulkan, Tan Malaka dalam arti kata yang sesungguhnya teyap konsisten dan konsekwen sebagai seorang revolusioner. Seorang revolusioner yang antara lain menerima Marxisme sebagai petunjuk, tetapi jauh di lubuk hatinya lebih meresapkan nasionalisme. PARI, yang dimaksudkannya sebagai kendaraan untuk menuju revolusi Indonesia yang diinginkannya, tidak sempat berakar untuk menjalar luas di Indonesia. Dua orang pendiri lainnya, Subakat dan Djamaluddin Tamim, tertangkap. Subakat memilih bunuh diri dalam penjara di Jakarta. Sisa-sisa terakhir dari PARI di Jakarta dan Surabaya digulung habis oleh Belanda dalam tahun 1935. Sementara itu, Tan Malaka yang praktis terputus hubungannya dengan teman-temannya boleh dikatakan bergerak sendiri. Dalam tahun 1928 dia diangkat kembali oleh Komintern sebagai salah seorang agennya untuk Asia Tenggara. Rupanya pada waktu itu, Moskow belum mengetahui tentang kegiatan Tan Malaka dengan PARI-nya. Sewaktu ia memasuki Hongkong dari Shanghai (1932), dalam perjalannnya menuju pos barunya di Birma sebagai agen Komintern, Tan Malaka ditangkap Inggris dan ditahan selama beberapa minggu. Sesudah dilepas, ia kembali ke Cina (Amoy), di mana ia menghidupi dirinya dengan mendirikan sekolah bahasa asing yang cukup berhasil sampai tahun 1937, ketika dia terpaksa lari lagi sewaktu Jepang menyerang kota itu. Ia menyingkir ke Singapura, menyamar sebagai guru Cina di sekolah-sekolah di sana sampai 1942. Sewaktu ia sampai di Indonesia kembali, Jepang sudah mendarat dan berkuasa. Jadi, semenjak meninggalkan Bangkok (1927), kecuali hubungan surat-menyurat yang terbatas dan kemudian juga terputus, Tan Malaka lebih banyak bergerak sendiri. Dalam arti kata yang mendekati sesungguhnya dia menjadi seorang pejuang revolusioner yang kesepia, tetapi juga setia pada cita-cita revolusinya. Sementara itu, Komintern dan orang-orang komunis Indonesia mengetahui tentang PARI dan itu dengan sendirinya mengungkapkan kepada mereka siapa Tan Malaka yang sebenarnya. Dia dikecam habis-habisan, antara lain oleh tokoh PKI Muso, yang berhasil masuk Indonesia dari Moskow tanpa diketahui Beland, yang menulis pamflet menentang tokoh ini dengan PARI-nya. Tan Malaka yang dulunya pernah menjadi ketua PKI dan agen Komintern, kini menjadi musuh utama mereka (PKI). Dari uraian di atas dapat dilihat bagaimana kontroversialnya tokoh ini. Sikap, tingkah laku politik serta ide atau pemikirannya menempatkannya
dalam suasan konflik dengan berbagai kekuatan. Sebagai pejuang nasionalis atau buronan politik dia berkonflik dengan penguasa-penguasa kolonial di Asia waktu itu. Sebagai politisi-intelektual yang berpikir dinamis dan menerima Marxisme secara kritis dia berani mengritik tokoh-tokoh separtainya (PKI) dan kemudian mendirikan partai baru tanpa katab komunis di dalamnya, dan itu semua menempatkan dia berkonflik dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia dan Komintern. Tetapi, adakah jalan lain dari menyusuri liku-liku berbagai konflik itu untuk dapat memahami siapa tokoh ini sebenarnya? VII. Dua siklus pertama dari perantauannya ditandai dengan titik puncak sewaktu dia kembali pulang. Titik puncak pertama ianalah pada waktu ia diangkat sebagai datuk sewaktu ia pulang ke kampungnya sehabis menamatkan sekolah di Bukittinggi. Titik puncak dari perantauan kedua ialah ketika ia berhasil memainkan peranan yang amat penting dalam pergerakan nasional Indonesia, sebagai tokoh dan ketua PKI, tak lama sesudah ia kembali dari Negeri Belanda. Dengan begitu, arti rantau bagi dirinya memang penting. Rantau telah menjadikannya manusia yang semakin berarti dan berguna bagi perjuangan bangsanya. Siklus ketiga perantauannya berjalan lama sekali, 20 tahun sebagai buangan politi. Pengalamannya dalam perantauan ketiga ini jauh lebih banyak, penderitaan jauh lebih mendalam, kecemasan jauh lebih sering datang. Itu semua semakin mematangkan dan mendewasakan dirinya, baik sebagai intelektua-pemikir, politisi-idealis, mau pun pejuang revolusioner yang kesepian. Ia pun sudah semakin berumur. Dapatlah dimengerti kalau dia melihak kepulangannya kali ini sebagai sesuatu yang amat berarti. Ia melihat bahwa siklus-siklus hidupnya sejajar dengan siklus-siklus perjuangan bangsanya, dan itu diidentikannya pula dengan perkembangan organis tubuhnya yang telah sampai pada siklus terakhir. Dia memperkirakan dan mengantisipasi kepulangannya dari perantauannya yang ketiga dan terkahir kalinya ini akan bertautan dengan terjadinya revolusi Indonesi, dan ia ingin hadir dan ikut aktif sebagai peserta di dalamnya. Bagi dia, inilah kesempatan terakhir untuk merealisir revolusi totalnya, dan oleh karena itu tak ingin melepaskan kesempatan itu berlalu dengan sia-sia. Seluruh kehidupannya selama ini, tercurah ke sana, dan dapatlah dimengerti kalau ia ingin memberikan sesuatu yang amat berarti bagi bangsanya pada saat yang amat bersejarah itu. Bermakna untuk penghabisan kalinya.
Tetapi menarik pula untuk diketahui bahwa sewaktu pulang dari perantauan ketiga ini, Tan Malaka segera menggabungkan diri dalam barisan perjuangan atau mengambil peranan aktif dalam percaturan politik. Salahsatu faktor mungkin karena merasa dia membutuhkan waktu buat mempelajari suasana masyarakat yang sudah lama ditinggalkannya. Ia ingin masuk sekolah sosial dulu. Alasan lain yang diberikan Tan Malaka ialah karena ingin menulis sesuatu yang berarti yang bisa dipakai sebagai pegangan oleh bangsanya nanti dalam hidup bernegara sebagai bangsa merdeka yang sosialistis. Dia memang menulis apa yang dianggapnya sebagai karya terbaiknya yang ingin ditinggalkannya sebagai "pusaka" bertuah". Itulah MADILOG, yang ditulisnya dalam suasana kemiskinan yang luar biasa di sebuah gubuk bambu di pinggir Jakarta. Pada waktu ia dia masih belum keluar dengan memamai nama aslinya. Faktor lain yang menyebabkannya merasa masih perlu menyembunyikan identitasnya barangkali pengaruh pengalaman pahitnya sebagai buronan politik di luar negeri yang tentu selalu menghantuinya, walau pun suasana romantis dan misteri yang lahir bersamaan dengan itu tampak pula disenanginya. Dia mungkin masih perlu menyembunyikan diri di bawah kekuasaan Jepang yang tak kalah kejamnya itu. Kekejaman fasis Jepang tambah memuakan hatinya ketika ia menyaksikan sendiri di pertambangan Bayah, Banten. Di sini sebagai krani yang cukup baik kedudukannya, dengan memakai nama samaran Ilyas Husein dia kembali menyaksikan, sebagaimana pernah dialaminya di perkebunan Senembah dulu, pengeksploatasian bangsanya oleh kekuasaan imperialis baru. Ia melihat sendiri kondisi yang amat menyengsarakan --antara hidup dan mati-- kaum romusha yang dipekerjakan Jepang secara paksa. Hal ini tentunya tambah memperkuat keyakinannya tentang keperluan adanya aksa massa buat melahirkan revolusi. Suasana politik Indonesia selama pendudukan Jepang secara garis besarnya diwarnai oleh Soekarno, Hatta dan sejumlah pemimpin lain yang memilih bekerjasama atau berkolaborasi dengan Jepang. Mereka senang ataukah tidak, ikut serta dalam sistem kekuasaan, sesuatu hal yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Sebagai pejuang nasionalis mereka tentu mempunyai alasan-alasan sendiri buat memilih jalan itu. Di fihak lain, sejumlah tokoh yang relatif muda seperti Sutan Sjahrir memilh bergerak di bawah tanah melawan rezim fasis Jepang. Antara kedua kelompok ini yang dipermukaan dan yang di bawah tanah, barangkali terdapat kontak atau kerjasama pula. Kecenderungan ke arah asumsi iini dikuatkan oleh relatif mudahnya kedua kelompok ini yang disimbolkan oleh Soekarno-Hatta dan Sjahrir , bekerjasama kemudian dalam revolusi kemerdekaan.
Tan Mala juga melihat adanya dua kekuatan, tetapi dengan pemahaman yang agak lain. Sukarno dan Hatta dianggapnya sebagai simbol dari golongan tua yang berkalaborasi dengan kekuasan Jepang, dan oleh karena itu ia mengganggap mereka, terutama Soekarno sebagai oportunis. Sikap sinis Tan Malaka terhadap Sukarno antara berkaitan dengan pandangan negatifnya terhadap kebudayaan Hindu-Jawa. Strategi Sukarno (dan Hatta) untuk mencapai kemerdekaan melalui kerjasama dengan kaum penjajah baginya menunjukan masih adanya sisa-sisa mentalitas budak yang berasal dari kebudayaan Hindu-Jawa itu. Ini jelas sangat kontras dengan ide revolusi Tan Malaka sendiri yang antara lain ingin menghancurkan sisa-sisa kebudayaan lama yang bernilai buruk, terutama ciri-ciri feodalismenya. Kekuatan kedua yang dilihatnya ialah pemuda yang dinilainya sebagai tombak revolusi. baginya, di sinilah terletak kekuatan revolusi yang sebenarnya, dan oleh karena itu ia menaruh perhatian yang sangat besar kepada mereka. Dia berusaha mengidentifikasikan dirinya dengan semangat revolusioner pemuda, melalui mana dia melambungkan harapan bahwa merekalah yang akan berhasil merealisir revolusi yang dicita-citakannya. Pengontrasan yang tajam antara golongan tua (Sukarno-Hatta) yang dinilainya oportunis dengan pemuda revolusioner berasal dari cara berfikir Tan Malaka yang dialektis. Akan tetapi, ia rupanya kurang memahami realita sebenarnya dari masyarakat Indonesia pada waktu itu. Sukarno-Hatta, terutama Sukarno (apakah itu sebagai akibat dari pengaruh sisa-sisa kebudayaan Hindu-Jawa dalam masyarakat ataukah tidak) sudah lama mempunyai kekuatan kharisma politik yang menjalar jauh ke dalam masyarakat. Dwitunggal itu telah berhasdil menjadikan diri mereka sebagai simbul persatuan dan perjuangan nasional. Cara berfikir Tan Malaka yang amat dialektis ternyata tidak begitu tepat, kalaulah tidak sama sekali salah. Melalui ini barangkali dapat dimengerti sebagian dari penyebab mengapa riwayat Tan Malaka dalam revolusi Indonesia berakhir secara tragis. VIII Beberapa minggu menjelang proklamasi, Tan Malaka masih memakai nama samaran Ilyas Husein, mulai mengadakan kontak dengan sejumlah kecil pemuda revolusioner. Akan tetapi, ia tidak hadir sewaktu peristiwa bersejarah, proklamasi, terjadi, dan kemudian disesalinya. Ia baru muncul dengan di arena politik, langsung dengan nama aslinya, beberapa hari kemudian di rumah Acmad Subarjo yang selanjutnya mempertkenalkannya dengan elit politik Jakarta yang lain pada hari-hari berikutnya. Sewaktu dia sempat berbicara dengan Soekarno, yang sudah menjadi presiden, Tan Malaka berhasil mengemukakan ide-ide tentang revolusi, antara lain mengenai bagaimana revolusi harus dilanjutkan
kalau seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (mati atau ditangkap) atas diri Sukarno dan Hatta. (BERSAMBUNG) ejarah tan malaka Menguak Tabir Sejarah Tan Malaka PADANG - Di tanah air, tidak banyak yang tahu siapa Tan Malaka. Wajar, sebab meski telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah seorang pahlawan nasional pada tahun 1963, rezim Orde Baru berusaha mencoret namanya dari sejarah. Di berbagai buku bacaan dan pelajaran sejarah, namanya selalu dihilangkan. Sejumlah karyanya yang diterbitkan dalam bentuk buku pun berusaha diberangus, dengan alasan memicu jiwa pemberontak dalam diri pembacanya. Salah satu buku yang berisi buah pikirannya yang sempat dilarang beredar dalah Madilog. Di kalangan mahasiswa berbagai perguruan tinggi, selama bertahun-tahun, karena kesalahan sejarah, Tan Malaka bahkan dikenal sebagai tokoh beraliran “sesat” yang tak layak disimak keberadaan dan sumbangsihnya pada tanah air. Bahkan, sangat sulit menemukan nama Tan Malaka pada jalan-jalan yang ada di seluruh wilayah di tanah air, seperti nama-nama tokoh pejuang nasional yang diabadikan sebagai nama jalan atau gedung hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Padahal, menurut ahli sejarah Belanda Harry Poeze, jika ditinjau dari perspektif kekinian, pemikiran Tan Malaka yang radikal itu sebenarnya bernuansa sosialisme, sesuai dengan pola kehidupan masyarakat Indonesia pada masa kini. Namun memang bertolak belakang dengan arus pemikiran kapitalisme yang meraja di Indonesia sebelum kemerdekaan. Yang lebih mengejutkan, berbeda dengan keberadaannya di Indonesia yang menjadi kontroversi, menurut Harry, Tan Malaka adalah seorang pemikir radikal nasionalis sosialis. Dimana pemikirannya telah membawa pengaruh yang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Gagasan pembentukan Indonesia sebagai negara Republik, sesungguhnya adalah gagasan Tan Malaka, yang pada saat itu dipandang layak menerima gelar sebagai Bapak Republik oleh M.Yamin. Namun sebutan itu membuat risih dwi tunggal Soekarno-Hatta. Dan akhirnya gelar tersebut dipakai Soekarno untuk dirinya sendiri. Kenyataan ini menjadi ironis. Padahal Tan Malaka pula yang merupakan pencetus perlawanan terhadap kolonialisme, berbeda dengan apa yang dipahami oleh pemimpin Indonesia yang ada pada masa itu, yang lebih memilih jalan damai dan mengikuti apa yang dimaui oleh pemerintah penjajah, dengan harapan diberikan kemerdekaan. Meluruskan Sejarah Meski di pentas nasional Tan Malaka adalah adalah sebuah heroisme yang dipandang gagal, ia adalah sosok yang sangat dikagumi di daerah kelahirannya, Sumatra Barat. Pejuang kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Kabupaten 50 Kota, Sumbar ini, dianggap sebagai tokoh yang telah memberi inspirasi dan penyeimbang bagi pemikiran para pemimpin dan tokoh nasional pada masanya. Ia dianggap mampu mempengaruhi sejarah dengan pemikirannya yang radikal dan cenderung lurus dan revolusioner. Untuk meluruskan sejarah dan meluruskan reputasi Tan Malaka yang selama ini berada dalam ruang yang kontroversial, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Tan Malaka, bekerjasama dengan Yayasan Perduli Perjuangan (YPP) PDRI
Sumbar, pada Senin (3/1) lalu, mengadakan seminar bertajuk “Ibrahim Datuk Tan Malaka, Putra Bangsa dari Minangkabau yang Terlupakan. Menguak Tabir Sejarah dan Sisi Kepahlawanannya”. Dalam acara ini, hadir beberapa tokoh saksi mata perjuangan dan sejarawan di Sumatra Barat, bahkan Indonesia. Dalam seminar tersebut, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, mengungkapkan sekaligus memprotes dihilangkannya nama Tan Malaka dalam buku-buku pelajaran sekolah. Di dalam buku “Album Pahlawan Bangsa”, tidak terdapat nama Tan Malaka, padahal buku ini diterbitkan tahun 1999, serta diberi kata sambutan oleh Direktur Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, Departemen Sosial dan Direktur Sarana Pendidikan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menegah Depdikbud. Dengan kata lain, menurut Asvi, pencekalan ini memang setahu, bahkan mungkin, atas anjuran kedua departemen tersebut. Namun, sayangnya, Menteri Sosial, Bachtiar ... ...Chamsyah, tidak dapat hadir dalam acara ini. Pada masanya, menurut Asvi, Tan Malaka adalah sosok misterius yang cukup populer. Ia selalu konsisten dengan apa yang ditulis dan dipikirkannya. Menolak berunding dengan pemerintahan imperialisme Belanda, hanya dengan satu alasan: Indonesia adalah milik bangsa Indonesia, kenapa harus berunding meminta kemerdekaan pada bangsa lain? Meski untuk itu, seumur hidupnya ia harus berkelana hidup dari penjara ke penjara, seperti tajuk buku yang ditulisnya. Pemikiran inilah yang akhirnya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Bukan saja pihak penjajah yang akhirnya memusuhi Tan Malaka, tapi juga tokoh-tokoh pejuang seperjuangan dengannya. Beberapa orang diantaranya, bahkan berusaha menikamnya dari belakang. Sikap dan pemikiran radikal inilah, yang akhirnya membuat banyak pihak di masanya, merasa terusik dan berkeinginan menghapus keberadaan Tan Malaka dari pentas perjuangan nasional, karena dianggap sebagai nasionalis beraliran kiri dan pemikir revolusioner yang dapat membahayakan kesatuan dan kelangsungan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Alhasil, ia harus terbuang dari tanah air karena dianggap pecundang karena pemikirannya yang dipandang melawan arus. (SH/sri rahayu ningsih) TAN MALAKA (1897-1949) - GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS Tan Malaka –lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka—menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang –Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-
pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya. Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar. Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh. Seperti dikatakan Tan Malaka pad apidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”. Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun. Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….” Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner. Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”. Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya. Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu. Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. (Bek) BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP ! (TAN MALAKA) Diketik ulang dari Brainwashed, Jakarta Extreme Fanzine, June’99, Issue #7. devildriver 4th January 2008, 10:16 Sumber dari kompas tentang kematian Tan Malaka ....mungkin informasi ini berguna di awal buat jadi bahan diskusi .... ----------------------------- Misteri Kematian Tan Malaka Terungkap JAKARTA, KOMPAS - Misteri kematian Pahlawan Nasional Tan Malaka akhirnya
terungkap setelah setengah abad lebih. Sejarawan Belanda Harry A. Poeze yang ditemui di Jakarta, Jumat (27/7) menjelaskan, Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949. "Dia ditembak atas perintah Letnan Dua Sukotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya yang terakhir berpangkat Brigadir Jenderal dan pernah menjadi Walikota Surabaya. Data tersebut diperoleh dari kesaksian pelbagai pihak seperti rekan gerilya Tan Malaka, anggota Batalyon Sikatan, keterangan warga desa dan tokoh-tokoh angkatan 1945," kata Poeze yang memulai riset Tan Malaka sejak tahun 1980. Harry Poeze yang juga Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda Untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) menambahkan, Tan Malaka ditembak di Desa Selo Panggung di kaki Gunung Wilis di Jawa Timur. Eksekusi yang terjadi selepas Agresi Militer Belanda ke-2 itu didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade-nya Soerahmat. Petinggi militer di Jawa Timur menilai seruan Tan Malaka yang menilai penahanan Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan serta enggannya elite militer bergerilya dianggap membahayakan stabilitas. Mereka pun memerintahkan penangkapan Tan Malaka yang sempat ditahan di Desa Patje. Tan Malaka yang pada tahun 1945 pernah disiapkan Bung Karno untuk memimpin Indonesia jika Proklamator mengalami bahaya sehingga tidak mampu bertugas, sempat lolos dari tahanan bersama 50 gerilya anti-Belanda yang dipimpinnya. Namun, Tan Malaka yang berpisah dan bergerak dalam rombongan kecil enam orang ditangkap Letnan Dua Soekotjo di Desa Selo Panggung yang berakhir dengan eksekusi. Menurut Harry Poeze, Menteri Sosial Republik Indonesia sudah setuju untuk mengerahkan tim forensik mencari sisa jenazah Tan Malaka. Tan Malaka sempat dijuluki "Bapak Repoebliek Indonesia" selepas medio 1920-an karena menerbitkan buku "Naar Repoebliek Indonesia" (Menuju Repoebliek Indonesia) dalam Bahasa Belada dan Melayu tahun 1924 di Kanton (sekarang Guang Zhou) Republik China. Diketahui ratusan jilid buku tersebut diselundupkan ke Hindia Belanda dan diterima para tokoh pergerakan termasuk pemuda Soekarno. Walhasil Tan Malaka pun dikenal sebagai Bapak Repoebliek Indonesia jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945. Fakta tersebut ditampilkan dalam tiga jilid buku berjudul Tan Malaka Verguisd en Vergeten (Tan Malaka Dihujat dan Dilupakan). Edisi Bahasa Indonesia buku tersebut akan diterbitkan enam jilid selama enam tahun yang akan dimulai Senin pekan depan (30/7). Link : kompas (http://www.kompas.co.id/ver1/Dikbud/0707/27/133928.htm)
[Biografi] Tan Malaka, Posted 27-07-08, 17:52 #1Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897 - wafat Jawa Timur, 21 Februari 1949 [1]) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963. Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat. Tokoh ini juga adalah orang yang mendalangi terjadinya pergolakan sosial di wilayah Surakarta setelah pengumuman Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang berakibat hilangnya status Daerah Istimewa bagi bekas wilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunagaran. Perjuangan Tan Malaka Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya. Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama:
memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar. Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh. Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”. Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI. Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun. Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia
(PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925. Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…." MADILOG Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia. Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya. Buku2 TAN MALAKA : * Menuju Republik Indonesia * Dari Pendjara ke Pendjara, autobiografi * Madilog * Gerpolek Other about Tan malaka oleh ranz Magnis-Suseno SJ, rohaniwan, guru besar filsafat sosial di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta.
DI antara para Pahlawan Kemerdekaan Nasional (SK Presiden RI No 53/ 1963) Tan Malaka tetap diliputi suasana angker. Hanya sedikit orang yang betul-betul mengenalnya. Selama 20 tahun ia terpaksa merantau di luar negeri dan selama hampir tiga tahun menghuni pelbagai rumah tahanan RI. Ia banyak didesas-desuskan. Hanya sekali-sekali ia muncul ke depan, seperti di kongres Purwokerto Januari 1946 di mana dibentuk Persatuan Perjuangan. Partai Murba yang didirikan oleh kawan-kawan mudanya yang paling akrab tidak dimasukinya. Namun, ada yang menganggapnya sebagai satu-satunya sosok sepadan bobotnya dengan Soekarno. Tan Malaka lahir 1897 di Suliki, Sumatera Barat, sekolah selama enam tahun di Belanda, 1921 di Semarang masuk dalam pimpinan Partai Komunis Indonesia, dan hanya setahun kemudian diusir Belanda. Semula ia menjadi wakil Komintern (Asosiasi Komunis Internasional) di Asia Timur. Tahun 1926 Tan Malaka ke luar dari PKI karena mereka mempersalahkannya atas kegagalan revolusi 1926 yang memang ditentangnya sebagai avonturisme. Dengan Komintern pun hubungannya putus, dan sejak itu ia betul-betul berjalan sendiri. Tahun 1942 teman-temannya menyelundupkannya kembali ke Tanah Air. Semula ia tinggal, selalu dengan nama samaran dan tidak diketahui oleh siapa pun, di Cililitan, tempat ia menulis buku klasiknya Madilog. Tahun 1943, ia menjadi buruh di Banten. Sesudah Proklamasi Subarjo memperkenalkannya kembali ke Jakarta. Pada bulan September 1945 terjadi pertemuan misterius Tan Malaka dengan Soekarno di mana Soekarno dilaporkan mengatakan bahwa "apabila terjadi sesuatu denganku, kamu yang mengambil alih pimpinan revolusi." Dengan semboyan "merdeka 100 persen" dan "massa aksi" Tan Malaka semakin keras menentang usaha diplomasi pemerintah Sjahrir. Aksi itu memuncak dalam pembentukan Persatuan Perjuangan yang dimasuki oleh 141 organisasi politik dan sosial. Namun ternyata dukungan terhadap Tan Malaka tidak tangguh. Sejak akhir Maret 1946 ia ditahan. Ia kemudian dituduh mendalangi penculikan PM Sjahrir tanggal 3 Juli di Solo. Namun pemerintah tak pernah berani menghadapkannya ke pengadilan. Baru pada puncak peristiwa Madiun, bulan September 1948, pemerintah Hatta melepaskannya. Sesudah Pemerintahan RI ditangkap Belanda (9 Desember 1948), Tan Malaka mempermaklumkan perlawanan total terhadap Belanda. Hal mana tidak berkenan di pimpinan TNI. Akhir Maret 1949 ia ditangkap dan tanggal 16 April ia begitu saja dieksekusi. "Madilog" Di antara sekian banyak buku Tan Malaka, Madilog pantas mendapat perhatian khusus. Dalam Madilog ia memaparkan cita-citanya bagi Indonesia. Meskipun isi Madilog sebagian besar mengikuti materialisme dialektik Friedrich Engels (sahabat karib Karl Marx yang memperlengkap filsafat sosial Marx dengan filsafat alam dan ontologi materialis yang kemudian akan menjadi dasar filosofis Marxisme-Leninisme), Madilog
bukan semacam "ajaran partai" atau "ideologi proletariat", melainkan cita-cita dan keyakinan Tan Malaka sendiri. Malahan sangat mencolok bahwa Madilog bebas sama sekali dari nada tidak sedap buku-buku Marxisme-Leninisme yang senantiasa menuntut ketaatan mutlak pembaca terhadap Partai Komunis, alias pimpinannya. Madilog bebas dari segala bau ideologis, bebas dari jargon ortodoksi partai yang tahu segala-galanya. Madilog adalah imbauan seorang nasionalis sejati pada bangsanya untuk ke luar dari keterbelakangan dan ketertinggalan. Tan Malaka melihat bangsa Indonesia terbelenggu dalam keterbelakangan oleh "logika mistika". "Logika mistika" adalah logika gaib, di mana orang percaya bahwa apa yang terjadi di dunia adalah kerjaan kekuatan-kekuatan keramat di alam gaib. Logika gaib melumpuhkan orang karena, daripada menangani sendiri tantangan yang dihadapinya, ia mengharapkannya dari kekuatan-kekuatan gaib itu. Daripada berbuat dan berusaha, ia mengadakan mantra, sesajen dan doa-doa. Selama bangsa Indonesia masih terkungkung oleh logika gaib itu, tak mungkin ia menjadi bangsa yang merdeka dan maju. Jalan ke luar dari logika gaib adalah "madilog", materialisme, dialektik dan logika. Mirip dengan August Comte, sang bapak positivisme seratus tahun sebelumnya, Tan Malaka melihat kemajuan umat manusia melalui tiga tahap: Dari "logika mistika" lewat "filsafat" ke "ilmu pengetahuan" atau "sains". Materialisme Hal materialisme dan dialektika bukan pemikiran asli Tan Malaka, melainkan diambil alih dari Engels, Lenin dan tokoh-tokoh lain Marxisme-Leninisme. Tan Malaka amat meyakini mereka. Hanya tekanan pada logika adalah khas Tan Malaka. Namun kita jangan salah paham terhadap Tan Malaka. Yang dimaksud dengan materialisme, bukan pertama-tama pandangan filosofis bahwa segala yang ada itu materi atau berasal dari materia (meskipun ini juga pandangan materialisme dialektik), melainkan keterarahan perhatian manusia pada kenyataan, daripada pada khayalan dan takhayul. Daripada mencari penyebab segala kejadian di alam gaib, carilah di kenyataan bendawi sendiri. Selidikilah realitas material dan itu berarti: pakailah ilmu pengetahuan! Materialisme berarti: mempelajari realitas bendawi dengan mempergunakan pendekatan ilmiah. Namun, materialisme maupun ilmu pengetahuan baru dapat menghasilkan pengertian sebesar-besarnya apabila disertai oleh dialektika. Dialektika- yang sepenuhnya diambil alih dari Engels dan kawan-kawan berarti bahwa realitas tidak dilihat sebagai sejumlah unsur terisolasi yang sekali jadi lalu tak pernah berubah. Dialektika mengatakan bahwa segala sesuatu bergerak maju melalui langkah-langkah yang saling bertentangan. Khususnya ia menyebutkan dua "hukum" dialektika: "hukum penyangkalan dari penyangkalan" dan "hukum peralihan dari pertambahan kuantitatif ke perubahan kualitatif" (mengapa Tan Malaka mendiamkan hukum yang ketiga, "kesatuan antara yang bertentangan", tidak jelas).
Secara khusus Tan malaka menegaskan bahwa logika tidak dibatalkan oleh dialektika, melainkan tetap berlaku dalam dimensi mikro. Tan Malaka justru menunjukkan bahwa pemikiran logis, dengan paham dasar dialektis, membebaskan ilmu pengetahuan untuk mencapai potensialitas yang sebenarnya. Logika gaib dilawan dengan logika yang sebenarnya. Selama lebih dari 100 halaman Tan Malaka menunjukkan betapa lebih mampu Madilog daripada logika gaib dalam menjelaskan segala kenyataan penting yang kita hadapi: perkembangan alam raya, evolusi organisme, sejarah manusia. Orisinalitas Tan Malaka kelihatan dengan penerapan kreatif Madilog yang sebenarnya ajaran Marxisme-Leninisme dalam segala macam bidang. Dan pada akhir bukunya Tan Malaka mengajak kita mengelilingi sebuah "taman raya" utopis di mana semua tokoh nasional dan internasional mendapat patungnya. Semua tokoh besar, apakah dari Majapahit atau pergerakan nasional, dari Plato sampai "guru Kung" dan Lenin, ditempatkan tinggi rendahnya menurut sumbangan mereka terhadap cara berpikir Madilog. Guru Bangsa Ada yang mengejutkan dalam Madilog, tanpa reserve Tan Malaka mendukung pemikiran Barat. Madilog adalah "pusaka yang saya terima dari Barat". Dengan penegasannya bahwa pemikiran "Timur" harus ditinggalkan Tan Malaka sangat mirip dengan seorang putra Sumatera Barat lain, Sutan Takdir Alisyahbana. Ada yang mengherankan, kedekatan konsepsi Tan Malaka dengan hukum tiga tahap August Comte tadi. Menurut Comte manusia menjadi dewasa melalui tiga tahap: dari tahap mitos dan agama (kejadian di dunia dijelaskan dengan kekuatan-kekuatan gaib), melalui tahap metafisika (realitas dijelaskan secara filosofis), ke tahap positif di mana manusia langsung mempelajari kenyataan inderawi dengan memakai ilmu pengetahuan. Pandangan Comte itu sendiri sekarang dianggap mitos abad ke-19. Orang sudah lama tidak lagi percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat menyelamatkan umat manusia. Dalam hal ini pemikiran Tan Malaka masih khas optimisme abad ke-19 dulu. Itulah masalah Madilog. Kerangka pikiran adalah kepercayaan polos abad ke-19 pada ilmu pengetahuan. Dan konsepsi Madilog sendiri diambil alih dari materialisme dialektis Engels, Lenin dan kawan-kawan, yang dalam filsafat kontemporer dianggap tidak mutu (lain daripada materialisme historis Marx!). Terasa sekali bahwa Tan Malaka seorang otodidak yang rupa-rupanya tak pernah sempat untuk mendiskusikan pandangan-pandangannya dengan seorang pengkritik. Namun sebaiknya kita tidak terlalu terpikat pada yang tersurat itu. Nilai Madilog yang tersirat di dalamnya, yaitu dalam keprihatinan mendalam Tan Malaka atas keadaan bangsanya yang belum berpikir rasional. Seluruh Madilog merupakan imbauan agar bangsa Indonesia mau ke luar dari cara berpikir tidak rasional supaya ia dapat mengambil
tempatnya di antara bangsa-bangsa besar. Sampai Tan Malaka dalam Madilog dengan panjang lebar menguraikan metode-metode pendekatan ilmiah dan dalil-dalil logika seakan-akan ia mau sekaligus menulis buku teks "pengantar logika" atau "ilmu alamiah dasar". Sulit untuk melihat apa yang sekarang, di permulaan abad ke-21, masih dapat dipelajari dari Madilog. Sebagai penunjuk jalan Madilog waktu ditulis pun sudah jauh ketinggalan. Bukan sebagai buku pelajaran, melainkan sebagai saksi semangat berkobar-kobar pembebasan dari keterbelakangan Madilog tetap masih membesarkan hati. Tetapi barangkali arti paling penting buku itu terletak dalam kenyataan bahwa kita ditantang olehnya untuk memikirkan kembali apa itu rasionalitas, dan rasionalitas macam apa yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Dan kalau betul bahwa mitos harus dibuang (dan memang betul!), lalu apa tempat agama dalam kerohanian bangsa yang mau membangun kehidupan bersama yang maju, berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar